Kali kedua menjadi asisten dosen di mata kuliah kesayangan,
diawali dengan sejuta harapan yang melambung tinggi...
Yah, namanya harapan mah... siapa juga boleh punya ya...
Pertemuan pertama,
ditakuti dengan jumlah mahasiswa yang hampir dua kali lipat dari jumlah sebelumnya...
Takut? IYA!!!!
Ga kenal dosennya pula...sementara dosen seksi lain malah lebih dulu kenal sama saya.... Saya ga kenal sama sekali sama dosen saya.
Pertemuan kedua, ketiga, keempat, sampai pertemuan siang tadi,
begitu banyak waktu terlewatkan...
Menghabiskan setiap Kamis dengan berjibaku melawan rasa malas dan enggan belajar.
Kalo saya saja malas, apalagi anak-anak? Maka saya rajin mengerjakan printilan dengan niat dan harapan bahwa semua akan membantu anak-anak, jauuuuh jauhhhh hari sebelum Kamis datang lagi.
Deg-degan setiap jam 9 dan anak-anak belum lengkap.
Sebel kalo alat tes berantakan...
Kesel kalo perform ga bagus...tugas ga dikumpul...
Kadang saya bertanya dalam diri, apakah cara saya dan tim salah? Atau materi yang terlalu berat? Atau apa yang sebenarnya menghambat pembelajaran di kelas?
Semua kekesalan itu kadang terhapus oleh tingkah konyol dan bodoh yang masuk akal (bawa ular itu GA MASUK AKAL SIH!) atau dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang..duuhhh...ini loh yang saya mau... kelas yang aktif bertanya, belajar, ingin tahu... :') atau dengan membaiknya performa di minggu depan.
Hal-hal yang mungkin menurut mereka tidak terlalu berarti, tapi sungguh berarti buat saya. Entah menggores sakit hati atau mengukir senyum
Tiga perempat jalan sudah dilewati...
susah, senang, ketawa, sebel, nangis, gondok, ngomel, udah bosen dikeluarin selama hampir satu semester berjalan.
Ga ada maksud membandingkan dengan kelas lalu...
tapi namanya orang punya pengalaman, bawaannya pasti membandingkan... apalagi sama masa lalu...
namanya manusia...kadang susah move on...
Semoga di akhir perjalanan nanti, saya punya kesempatan untuk menulis lebih banyak tentang kelas yang istimewa ini.
Semoga ^^
Ini adalah cerita saya, tentang dunia tempat saya berdiri dan berpijak, tentang keluarga saya, tentang sahabat saya, tentang cinta dan benci, tentang masa lalu dan masa kini. Saya tidak meminta anda untuk protes... Semua ini cerita saya dan mari berbagi tulisan :)
Kamis, 13 November 2014
Jumat, 12 September 2014
Day 22: Ayah Kelinci dan Ulang Tahun Putra-Putranya
“Jadi, apa yang kalian inginkan untuk hadiah ulang tahun kalian? Kelereng, permen, atau bola?” tanya Ayah Kelinci pada ketiga putranya. Ketiganya menggeleng serempak. “Pedang kayu atau baju bajak laut atau layang-layang?” Ketiga anak kelinci itu masih menggelengkan kepalanya, lalu menjawab serentak, “Kami ingin makan daging gajah atau ikan paus”
“Apa?” ayah kelinci membelalakkan matanya terkejut. Ketiga kelinci itu tertawa lebar, “Iya! Ayah tidak salah dengar! Satu-satunya hadiah yang kami inginkan adalah makan gajah atau ikan paus. Menurut Ayah, apakah Ayah bisa mendapatkannya?”
Ayah kelinci diam sejenak. “Tentu saja!” jawabnya tergagap. “Ti..tidak ada yang tidak mungkin bagi Ayah! Kalian tentu tahu itu bukan?”
Ayah kelinci lalu keluar rumah sambil menggerutu. Huh! Gajah atau ikan paus! Keduanya adalah binatang paling besar di dunia. Bagaimana mungkin ia bisa menangkapnya. Dia tidak sekuat itu. Ayah kelinci memutar otaknya dan akhirnya ia hanya menemukan satu cara untuk mendapatkan hadiah untuk anak-anaknya. Dengan tipu muslihat! Dengan membawa rantai panjang yang sangat kuat, ia pergi menemui Gajah.
“Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Ikan Paus membual kepada semua orang yang mau mendengarnya bahwa ia lebih kuat dari padamu,” bisik Ayah Kelinci dengan hati-hati. Mendengar bisikan itu, marahlah Gajah, “Benarkah? Kalau begitu, usahakanlah agar kami berdua bisa membandingkan kekuatan kami. Biar nanti kelihatan siapa di antara kami yang lebih kuat!”
“Justru itu, aku akan memberi kepada kalian masing-masing salah satu ujung rantai yang kuat ini. Begitu aku memberi tanda, kalian akan mulai saling menarik sekuat tenaga dan kita akan melihat siapa di antara kalian yang lebih kuat!” lanjut Kelinci.
Gajah pun menerima tantangan itu dan meraih rantai itu dengan belalainya. Kelinci cerdik itu segera berlari ke tepian laut dan berkata kepada Ikan Paus dengan nada marah, “Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Gajah membual kepada semua orang yang mau mendengarkannya bahwa ia lebih kuat darimu.”
“Benarkah? Biarlah dia datang beradu denganku! Aku akan melawannya dengan sungguh-sungguh!” Ikan Paus meludah sambil tersinggung.
“Saat ini ia bahkan sudah memegang ujung rantai ini dan menunggumu untuk melakukan hal yang sama untuk melihat siapa yang lebih kuat,” lanjut Kelinci memanas-manasi. Dengan segera Ikan Paus merebut rantai itu dari tangan Kelinci dan mengikatkannya di sekeliling ekornya.
Ayah kelinci memberikan tanda bahwa pertandingan akan segera dimulai. Setelah itu, ia duduk dengan tenang di rumput sambil menunggu keberhasilan tipu muslihatnya. Kedua binatang itu tarik-menarik sekuat tenaga.
Setelah satu jam berlalu, ternyata Gajah lebih kuat. Ia berhasil mengeluarkan Ikan Paus dari air dan menariknya sampai ke hutan kecil dekat laut. Ikan Paus pun mati karena tidak ada air dan tidak dapat bernafas. Ayah kelinci yang mengetahui hal ini langsung berlari menghampiri Gajah, “Bravo Gajah! Kamu memang binatang terkuat di dunia! Kamu pantas menang melawan Ikan Paus!” Lalu dengan cekatan, Ayah Kelinci segera membuka ikatan rantai dan memanggil ketiga putranya. “Anak-anak! Selamat ulang tahun! Hadiah kalian sudah datang! Hari ini kita makan daging ikan paus!”
Tentu saja daging ikan Paus terlalu besar untuk mereka sekeluarga. Akhirnya mereka mengundang semua binatang di hutan dan bersantap bersama merayakan ulang tahun tiga anak kelinci itu.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Kamis, 11 September 2014
Day 21: Tiga Puluh Ribu Malam
Dahulu kala di Jepang, tinggalah seorang laki-laki tua dan seorang perempuan tua bernama Kino dan Kaede. Keduanya telah menikah puluhan tahun dan tetap saling mencintai dengan penuh kasih sayang.
Setiap malam tiba, mereka duduk bersama dan mengingat kembali kenangan-kenangan masa lalu yang dipenuhi gelak tawa dan belaian. Hanya satu hal yang mereka hindari, yaitu membicarakan hilangnya anak mereka, Bulan Mei, yang hidupnya berakhir dua minggu setelah kelahirannya. Sejak kehilangan itu, Kaede hanya hidup untuk Kino dan Kino hanya hidup untuk Kaede
Suatu malam, ketika sedang memandang bulan purnama, sebuah bintang jatuh di kaki mereka. Karena silau, mereka menutup mata dan ketika mereka membukanya kembali, mereka melihat seorang perempuan mungil yang berkilauan.
“Saya adalah peri cinta,” katanya, “Sudah tiga puluh ribu malam saya mengamati kalian berdua. Cinta kalian tak pernah sirna sedikitpun. Itulah sebabnya saya ingin memberikan penghargaan kepada kalian. Ucapkanlah sebuah permintaan dan saya akan mengabulkannya”
Kedua insan tua itu saling memandang dengan ekspresi terkejut. “Kamu pasti punya ide yang sama denganku,” gumam Kino kepada Kaede dengan mesra. “Tentu saja,” sahut Kaede. Mereka membuka mulut dengan serentak. Namun ternyata permintaan mereka sangat berbeda.
“Saya ingin kembali menjadi muda,” kata Kino dengan tegas.
“Saya ingin menemukan kembali Bulan Mei kecilku,” kata Kaede.
Mereka tercengang dengan permintaan mereka yang tidak sama. “Menemukan Bulan Mei adalah hal yang mustahil! Kita sudah terlalu tua untuk mengurus bayi,” Kino berseru.
“Biarkan saja! Aku ingin memeluknya!” kata Kaede antusias.
“Coba pikir, jika kita muda kembali, kita bisa mendapatkan bayi-bayi lainnya!”ucap Kino mulai naik darah.
“Tidak mau! Aku hanya mau Bulan Mei!” teriak Kaede balas membentak.
Itulah pertama kalinya mereka bertengkar. Sang peri cinta akhirnya tak tahan dan menegur mereka. Mendengar teguran sang Peri, mereka menghentikan perdebatan mereka. “Maafkan aku, Kaede. Tidak semestinya aku naik darah. Biarlah keinginanmu yang terkabulkan,” kata Kino memohon dengan malu.
“Tidak. Akulah yang harus meminta maaf. Ayo kita pilih keinginanmu,” jawab Kaede. Akhirnya sang peri mengundi dan keinginan Kinolah yang menang. “Kalian masing-masing pergilah ke tepi danau yang berada di bawah gunung. Setiap teguk yang kalian minum akan membuat kalian bertambah muda sepuluh tahun,” kata peri itu menjelaskan. Tak lama kemudian, peri itu menghilang.
Ketika pagi tiba, Kino dan Kaede bangun dan segera berjalan menuju danau dengan bertumpu dengan tongkat mereka. Mereka saling membantu selama perjalanan itu. Beberapa jam sesudahnya, mereka berpisah di tepi danau yang terpisahkan oleh ilalang.
Kaede melihat sebuah siluet mendekatinya sambil menari-nari. Ia tertawa. Itulah pemuda tampan yang telah membuatnya jatuh cinta sejak bertahun-tahun yang lalu. Kaede lalu segera meminum air danau itu, karena ia tahu bahwa Kino pasti menantinya.
Namun sampai malam tiba, Kaede tidak kembali. Kino mencarinya. Ia berlari mengitari danau dan mencari Kaede. Tak ada orang. Yang ada hanya teriakan lirih dari balik alang-alang. Dia menyibakkannya dan terlihat seorang bayi cantik dan masih merah menangis.
“Bulan Mei! Tapi bukan! Itu bukan kamu… Kamu pasti… Kaede!” seru Kino dengan terheran-heran. Ternyata Kaede telah minum dua teguk lebih banyak daripada Kino dan menjadi bayi. Kino menggendongnya.
“Yang kugendong saat ini adalah Kaede, namun aku merasa seakan-akan menemukan kembali Bulan Mei kecilku. Jadi Kaede, kamu berhasil: kedua keinginan kita terwujud sekaligus. Itu kan, yang kau inginkan, Gadis Kecilku?”
Ajaib. Seakan mengerti, bayi kecil itu tersenyum sambil berceloteh dengan riang.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Rabu, 10 September 2014
Day 20: Luisa dan Serigala Perak
Luisa tinggal di rumah kecil di tepi hutan bersama dengan kakeknya. Pada hari ulang tahunnya yang -keenam, Luisa mengundang teman-teman sekolahnya untuk bermain bersamanya. Setelah berkumpul semuanya, mereka sepakat untuk bermain lempar kaleng tiga putaran, kucing jongkok dua putaran, dan akhirnya mereka akan bermain petak umpet.
Luisa lari bersembunyi. Ia meringkuk di bawah sebuah pohon ek tua yang sangat besar. Tiba-tiba ia merasa sebuah belaian lembut dan hangat di dekat kakinya. Ia menunduk dan melihat kakinya berada di dekat benda berbulu abu-abu. Ternyata itu adalah ekor serigala. Dengan ketakutan ia melompat ke belakang.
Badan binatang itu tersembunyi di belakang semak-semak. Luisa menyentuhnya dengan tongkat perlahan-lahan. Hatinya berdebar. Namun, tak ada reaksi. Luisa memberanikan diri untuk mendekat dan mengangkat sebuah dahan pohon. Seekor serigala besar yang tampak kurang sehat berbaring di sisinya. Matanya yang tajam, tetapi redup itu bergerak mengikuti Luisa. Kakinya terjebak dalam perangkap pemburu. Nampaknya sudah berhari-hari ia terjebak di situ. Ia nampak lemas karena kekurangan air dan makanan. Luisa mengulurkan tangannya dan perlahan-lahan membelainya.
“Luisa? Luisa? Tunjukkan dirimu, kamu sudah menang!” Teman-temannya memanggil Luisa dan ia pergi menemui mereka, namun Luisa tak menceritakan serigala itu.
Sore harinya, Luisa kembali lagi ke pohon ek tua itu. Serigala itu masih di sana. Ia menuangkan air ke dalam mangkuk dan memberinya minum. Luisa juga membuka perangkap pemburu, membersihkan kakinya, dan membebatnya. Setelah Luisa membelai serigala itu, ia pulang ke rumahnya. Hampir setiap hari Luisa datang menjenguk serigala itu dan setiap ia datang, mata serigala itu menyorotkan sinar yang hampir seperti manusia.
Luisa sering bercerita tentang kehidupannya kepada serigala itu. Serigala itu seakan mengerti cerita Luisa. Ketika Luisa menceritakan perbuatan jahat yang menimpa dirinya, serigala itu menyeringai dan menggeram, namun ketika Luisa menceritakan hadiah yang diterimanya, mata serigala itu menjadi lembut dan ceria.
Sedikit demi sedikit serigala itu sembuh. Suatu hari, Luisa menemukan serigala itu berdiri di dekat pohon ek. Luisa sangat gembira dan memeluk serigala itu. Namun hatinya tiba-tiba merasa tercekam: setelah binatang itu bisa berjalan lagi, persahabatan mereka akan berakhir. Serigala itu akan pergi dan Luisa tidak akan melihatnya lagi.
Luisa pergi sambil menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah yang mengikutinya. Ia menoleh ke belakang, dan ternyata serigala itu mengikutinya sambil terpincang-pincang. Ia pun tidak ingin meninggalkan Luisa. Pada malam hari, Luisa meninggalkannya di depan pintu dan keesokan paginya, Luisa tetap menemukannya di tempata yang sama. Tentu saja kakek Luisa marah. Ia melarang Luisa untuk bermain bersama serigala itu. Serigala itu diusirnya. Luisa sangat sedih. Ia menangis berhari-hari lamanya.
Kehidupan pun kembali seperti dulu. Namun pada suatu hari, rumah kecil itu kedatangan pencuri. Kakek Luisa mendengar suara yang aneh. Bukan suara yang dikenalnya seperti jatuhnya batang pohon yang mati atau jeritan burung malam. Laki-laki tua itu bangkit dari tempat tidurnya dengan gemetar. Usianya sudah tak lagi muda untuk melawan pencuri.
Tiba-tiba ia mendengar raungan ketakutan diikuti teriakan dan derap kuda. Akhirnya semuanya hening lagi. Setelah menunggu beberapa saat, kakek Luisa turun dan mengambil pelitanya. Di depan rumah, sosok abu-abu cukup besar terlihat: ternyata si serigalalah yang telah menyerang para pencuri dan membuat mereka lari tunggang langgang.
Akhirnya kakek Luisa paham bahwa binatang itu sama sekali tidak berbahaya, baik bagi cucunya maupun dirinya. Sebaliknya, serigala itu adalah penjaga yang hebat. Sejak saat itu, kakek menerima serigala tinggal di rumah itu dan segera saja mereka bertiga menjadi sahabat baik.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Selasa, 09 September 2014
Day 19: Gunung Emas dan Perak
Dahulu kala, di suatu tempat terpencil di daratan Cina, tinggallah dua kakak beradik. Yang sulung begitu kaya dan begitu kikir. Ia sampai tidur seperti anjing penjaga di pintu rumahnya agar tidak ada pencuri yang masuk. Sementara itu, si bungsu Tang, begitu miskin namun sangat pemurah. Saku-sakunya selalu kosong, walaupun baru saja diisi.
Suatu hari, Tang menemui kakaknya dan berkata kepadanya, “Kakakku, hari ini ulang tahunku. Aku tidak punya sebutir beras pun di mangkukku. Selain itu, aku tidak punya mangkuk lagi untuk diletakkan di atas meja, juga tidak punya meja untuk menghias rumahku. Bahkan aku tidak punya rumah. Dapatkah kamu membantuku?”
Si kakak mengulurkan segenggam beras. “Tanamlah beras ini. Ini akan menjadi awal keberuntunganmu,” katanya kepada Tang. Tang tidak menyadari lelucon itu. Ia justru mengucapkan terima kasih kepada kakaknya dan pergi ke ladang untuk menyebar beras itu. Ia menunggu, dan menunggu, dan hanya sebatang kecil berwarna hijau muncul secara ajaib dari tanah. Tang senang sekali. Ia merawat tanaman itu dengan sukacita. Ia menjaganya, menyingkirkan rumput-rumput liar, dan mengusir ulat-ulat.
Batang kecil itu tumbuh dengan cepat dan akhirnya berkembang menjadi pohon yang cabang-cabangnya begitu besar dan panjang sehingga mampu menaungi seluruh ladang Tang. Butir-butir padi sebesar bulir jagung menggantung di cabang-cabangnya. Ketika waktu panen tiba, pemuda itu mengambil kapak dan merobohkan pohon ajaib itu. Tepat ketika pohon tersebut menyentuh tanah, seekor burung raksasa berbulu warna-warni keluar dari antara pepohonan.
Burung itu mencengkeram batang pohon itu dengan cakar-cakarnya dan terbang. Tang yang marah karena hasil tuaiannya diambil, meraih sebuah cabang terdekat dan mendapati dirinya bergantung antara langit dan bumi. Ketika si burung melihat bahwa Tang bergelayut di sana dan tidak mau menlepaskannya, ia segera mendarat di atas pasir pantai dan berkata, “Berikanlah pohon ini kepadaku, aku akan membawamu ke gunung yang batu-batunya terbuat dari emas dan perak.”
“Baiklah, ayo kita pergi,” jawab Tang. Burung itu mengantarnya ke sebuah pulau bergunung yang berkilauan. “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati,” pesan si burung.
Tang memandang sekelilingnya, mengambil segumpal emas dan berkata, “Aku sudah selesai. Ayo kita pergi.” Burung itu heran melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tamak. Tanpa berkata apa-apa, ia mengantarkan Tang ke rumahnya.
Pada hari-hari berikutnya, Tang membeli sebuah rumah yang kokoh, menempatkan meja di dalamnya, meletakkan mangkuk-mangkuk baru di atas meja tersebut, mengisi lumbung padinya, dan ia mengundang kakaknya untuk makan malam. Ia menceritakan pengalamannya yang ajaib.
Penuh dengan rasa iri, sang kakak memutuskan untuk berbuat sama seperti yang dilakukan Tang. Ia menyebarkan beras yang sudah ia masak, menjaga satu-satu batangnya, merobohkan pohon, dan membiarkan dirinya dibawa oleh burung ke gunung emas dan perak itu. Burung itu memberi pesan yang sama, “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati.”
Ketika burung itu kembali mengingatkan waktu, si sulung menjawab, “Kita masih punya waktu.” Ia masih sibuk mengisi kantung-kantungnya dengan bongkahan emas yang besar. “Ayo pergi sekarang! Aku melihat matahari kembali!” seru si burung.
“Aku hampir selesai. Sebentar lagi,” kata si Sulung sambil mengisi bajunya. Namun, ia telah menjadi begitu berat sehingga tidak bisa berjalan lagi. Sebelum ia sempat menyusul burung itu, Matahari muncul dan membakar dirinya menjadi abu. Kekayaan si sulung jatuh ke tangan si bungsu. Ia, tentu saja, membagikan kekayaan itu kepada orang-orang miskin di desanya dan tak seorang pun menyesali kematian si sulung.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Senin, 08 September 2014
Day 18: Ulang Tahun Raja yang Jahat
Alkisah, di Tibet yang jauh, tinggallah seorang raja yang sangat egois. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia telah mencabuti semua bunga di padang dan menangkap semua burung di langit hanya untuk menghiasi istananya. Karena ulahnya ini, anak-anak di Tibet tidak pernah melihat bunga ataupun burung. Bahkan yang paling kecil sekalipun. Raja tetap tidak peduli. Yang penting ia bahagia.
Pagi itu, Raja ingin merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh enam. Seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya, ia mewajibkan rakyatnya berkumpul sejak fajar di depan istananya dan membawa persembahan untuk menyenangkan hatinya. Pada saat matahari terbit, perempuan=perempuan, anak-anak, orang-orang lanjut usia, dan semua rakyatnya berkumpul di sana sambil menggigil kedinginan.
“Raja memerintahkan kita untuk datang sejak fajar, padahal ia sendiri bangun siang!” gumam seorang laki-laki tua berjanggut putih.
“Setiap tahun selalu begini. Selama berjam-jam, gigi kita bergemeletuk karena kedinginan,” seorang perempuan tua menambahkan.
Gemuruh kemarahan rakyat terdengar seperti gemuruh ombak di laut. TIba-tiba terdengar suara Zangpo, si Bengal. “Dengarkan aku. Aku hendak bertaruh dengan kalian.” Orang-orang tertawa berderai-derai, Mereka tahu benar siapa Zangpo dan reputasi leluconnya di daerah itu. “Tentang apa?” Tanya sebuah suara.
“Aku bertaruh, kalau Raja berdiri di atas balkon nanti, dia akan menggonggong.” Semua mulai tertawa karena ide ini terasa sangat menggelikan dan dapat mengalihkan kebosanan mereka. “Kalau kata-kataku benar, kalian harus memberiku seguci bir. Setuju?” Zangpo melanjutkan. “Setuju!” teriak beberapa suara.
Tepat pada saat itu, pintu balkon dibuka dan Raja dipersilakan untuk lewat. Dengan segera, Zangpo yang tahun bahwa Raja diam-diam sangat menggemari anjing, bergegas ke arahnya dan berseru, “Baginda. Saat ini di depan istana ada orang yang ingin menjual anjingnya. Anjing ini berasal dari spesies yang sangat langka. Saya pikir Raja akan menyukainya.”
“Coba kamu lihat bagaimana rupanya dan apakah dia dapat menggonggong dengan baik,” perintah sang Raja. Zangpo segera mencari jalan dengan menguak kerumunan orang dan pergi ke pintu istana dimana, tentu saja, tidak ada orang yang menunggu. Lalu dia kembali ke bawah balkon dan berteriak, “Baginda, anjingnya sangat bagus. Tingginya sedang, bulunya putih seperti salju, dan dia menyalak seperti anjing kecil!”
“Bodoh! Aku tidak akan pernah membeli anjing yang menyalak seperti anjing kecil!” seru raja.
“Benarkah? Lalu bagaimanakah anjing yang menggonggong dengan bagus? Barangkali di lain kesempatan, saya dapat mencarikannya untuk Baginda.” Kata Zangpo dengan nada kecewa.
“Dengarlah,” kata Raja kemudian. Raja meletakkan kedua tangannya di tepi balkon, mengangkat kepalanya, dan berteriak dengan kuat, “Guk, guk.”
Rakyat yang sudah begitu lama menunggu merasa sangat terhibur. Zangpo menang. Ia mendapatkan seguci bir yang layak diperoleh karena kecerdikannya.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Rumah itu...
“Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan ku buat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu…”
Lagu ini tiba-tiba terngiang di telingaku. Berputar terus tanpa henti sebelum aku tertidur. Aku menunda rencana kencanku dengan kasur dan bantal. Takut semuanya menghilang dalam mimpi. Aku bangkit berdiri dan menyalakan lampu meja belajarku. Pandanganku tertambat pada kertas kecil berwarna yang menunjukkan sebuah bangunan dan seulas senyum beberapa wajah yang ikut terlihat di situ. Samar-samar terngiang suara tawa dan canda di rumah itu. Betapa aku rindu rumah itu.
Pikiranku melayang terbang. Jauh ke masa-masa dimana aku tinggal bersama mereka. Masa-masa dimana aku tidak merasa sepi sendiri di perantauan ini. Ingatanku berjalan bersama foto-foto di album biru yang hampir kumal dimakan usia. Rumahku. Masuk ke dalamnya, tak pernah ada pagar besi ataupun kawat yang menghalangi orang-orang untuk datang ke situ. Pun tak ada satpam ataupun gerbang pendeteksi logam. Penghuni lama, penghuni baru, calon penghuni, tamu-tamu yang diundang maupun tak diundang, bahkan pencuri bebas keluar masuk ke rumahku. Ya, rumahku memang tak pernah terkunci.
Kami tak punya lahan besar untuk dijadikan taman yang indah seperti orang-orang kaya. Pelataran rumah kami, alih-alih penuh tanaman cantik, malah penuh dengan berbagai meja, kursi, atau apa saja yang tak muat diletakkan di dalam rumah. Rumah kami kecil. Terlalu sempit dan tidak menerima banyak perabotan. Pelataran itu jadi saksi bisu obrolan kami yang tak kunjung habis. Mulai dari gosip murahan di rumah kami, keluhan-keluhan tugas yang tidak ada habisnya, informasi seputar dunia luar. Semuanya. Lahan kecil rumahku indah dengan caranya sendiri. Ia indah dengan tawa, tangisan, dan cerita dari penghuninya. Bahkan mawar-mawar di kebun sebelahpun kalah cantik dengan lahan kecil kami ini.
Rumahku tak besar, namun selalu cukup untuk kami semua. Bukan rumah ideal untuk beberapa orang. Ruang tamu kami yang kecil terkadang jadi ruang tidur apabila kami lelah. Tidak peduli anggota keluarga lain, aku pun sering menyabotase satu kursi untuk tertidur ketika lelah belajar. Ruang tamu kami yang mungil bisa disulap menjadi ruang keluarga, dimana kami semua menikmati kebersamaan yang tak pernah bisa tergantikan di situ. Menonton film di layar yang besar, belajar bersama, mengerjakan tugas, latihan menyanyi atau bermain musik, bahkan makan dan minum. Ruang tamuku memang sempit, namun rasa cinta dan selalu ingin bersama membuatnya selebar lapangan sepak bola.
Banyak air mata tertumpah di rumah kami. Banyak perselisihan terekam di dinding-dinding rumah kami. Namun selalu ada pintu maaf terbuka lebar, selebar pintu rumah kami yang terbuka. Selalu ada rasa hangat yang mencairkan kekakuan yang muncul, bahkan ketika menyambut para penghuni baru. Ada rangkulan mesra dan ciuman kasih yang menyambut mereka, apapun kelebihan dan kekurangannya. Yang muda menghargai yang tua, yang tua mengasihi yang muda. Rasa gengsi dan dengki hanya bisa mampir di rumah kami sesaat. Mereka terusir keinginan untuk berjalan bersama dan menghabiskan waktu di rumah itu bersama-sama sampai nafas terakhir. Rumah itu sempurna di mataku.
Langkahku begitu berat ketika meninggalkan rumah itu. Sekian miliar kenangan terendap di memoriku. Memaksa mataku untuk mengalirkan sungai hampir di setiap malamku dulu. Pucuk demi pucuk surat terkirim untuk mengikis rasa rindu. Banyak cerita yang tercetak di setiap balasannya. Ada yang menggembirakan, banyak pula yang membuat hati pilu.
Kata mereka, pintunya kini tak terbuka lebar lagi. Terkunci hampir setiap waktu. Bukan. Rumahku tak menambah gembok di pintu pagarnya. Hati penghuninya yang terkunci. Tatapan serius ada di wajah mereka. Entah kemana tawa-tawa yang dulu selalu hadir di setiap pagi dan sore kami… Entah kemana canda dan gelak yang selalu bermain di siang dan malam kami. Ada perasaan aneh yang tak bisa diungkapkan penghuni rumah itu. Entah apa.
Pelataran yang dulu penuh dengan cerita, sekarang dipenuhi ilalang yang tinggi. Setinggi ego para penghuni yang ingin semua keinginannya terwujud. Entah mengapa.
Ruang tamu yang sempit terasa semakin menghimpit sesak dengan kekosongan di sana. Ada rasa sakit yang menghujam. Ada perasaan yang tak pernah bisa diungkapkan. Ada dendam yang tak tersalurkan. Ada cinta yang hanya bisa terukir di batang pohon. Ada topeng-topeng yang berserakan. Ya. Rumahku kini semakin mirip dengan panggung teater. Kebaikan dan ketulusan yang kau temukan tidak boleh dicerna bulat-bulat. Ruang tamu terasa kosong walaupun para penghuni selalu duduk bersama di situ sepanjang hari. Terasa aneh memang. Namun, begitulah yang dirasakan mereka.
Setiap surat yang sampai terasa ditulis dengan darah. Semakin banyak kata-kata terungkap, semakin perih luka tersayat. Semakin banyak kicauan yang mampir, menumbuhkan rasa rindu yang dikalahkan dengan rasa terlupakan dan tersisihkan.
Kata mereka, banyak cendekiawan yang kini merapikan rumah kami. Orang-orang pintar menggantikan kami yang bodoh di sana. Entah apa maksudnya. Aku tak pernah mengerti sampai detik ini.
Tidak ada lagi yang menungguku pulang. Tidak ada rasa cinta yang menuntunku untuk pulang ke rumah itu. Bahkan tidak ada lagi suara di mimpi-mimpiku. Semua terlalu sibuk dengan berbagai catatan pribadi yang tidak boleh dibagikan. Bahkan untuk sekedar duduk bersama dan bercerita tentang hidup masing-masing. Ini rahasia, katanya. Tak boleh ada yang tahu tentang cerita masing-masing jiwa yang bersemayam di sana.
Rumah itu.
Aku rindu rumah itu.
Tempat aku bisa pulang ke rumah,
karena rumah itu adalah rumahku.
Rumah kami.
Rumah kita.
Ps: ini bukan dongeng... ini tulisan saya pribadi... yang tidak bisa terungkapkan kepada banyak orang karena satu dan lain hal. Saya muak dengan keadaan 'rumah' sekarang. Banyak hal yang belum saya pahami, atau memang tidak perlu saya pahami lebih dalam daripada makin menyakitkan hati, tentang rumah ini. Semoga suatu saat, rumah ini kembali jadi rumah saya. Rumah semua orang yang pernah hadir, walaupun sempat pergi di dalamnya.
PPs: lagunya saya pinjam dari "Pulang Ke Hatimu, ost. film 9 naga" dan fotonya saya pinjam dari kotastar.blogspot.com
Minggu, 07 September 2014
Day 17: Ulang Tahun Pak Isidorus
Di hari ulang tahunnya yang kedelapan puluh, Isidorus tua menerima hadiah-hadiah dari orang-orang baik di sekelilingnya: seekor keledai untuk membantunya berpergian, seekor kambing muda yang menghasilkan susu segar, dan sebuah arloji emas yang menggantikan arloji lamanya yang rusak.
Namun suatu pagi, ketika laki-laki tua itu meraba-raba mejanya untuk mengambil arlojinya, dia menyadari bahwa arloji itu telah lenyap. Dengan jengkel, ia bergerak ke kandang untuk memeras susu sapinya. Apa yang ditemukannya? Daun pintu kandang tersebut terempas angin dan bangunan itu kosong melompong. “Ada pencuri yang datang ke sini,” ratapnya sambil menjatuhkan diri ke tanah.
Memang benar. Beberapa kilometer dari sana, seorang laki-laki sedang menempuh perjalanan perlahan-lahan di atas seekor keledai. Seekor kambing muda berjalan di belakangnya dan di pergelangan tangan kirinya, ia menggunakan arloji yang berkilau seperti baru. Iring-iringan itu tentu saja mencengangkan tiga anak yang bersembunyi di semak-semak dekat situ.
“Bukankah itu kambing Pak Isidorus?” Tanya anak yang pertama.
“Betul! Itu juga keledai Pak Isidorus!” seru yang kedua.
“Aku berani bertaruh dengan kalian kalau arloji itu juga milik Pak Isidorus,” kata yang ketiga menambahkan.
“Kalau begitu, aku akan mengembalikan anak kambing itu kepada Pak Isidorus!” anak yang pertama segera berlari menuruni bukit. Dengan pelan-pelan, ia menyelinap di belakang rombongan itu dan membuka tali yang diikat pada kambing dan membawa kambing itu kepada teman-temannya. Keduanya mengagumi keterampilan anak itu dan tergugah untuk menirunya.
“Giliranku! Aku akan membawa kembali keledai itu!” kata anak kedua. Dengan berlari secepat-cepatnya, ia menghambur ke belakang iring-iringan dan berteriak, “Pak! Pak! Berhentilah dulu!” Laki-laki pencuri itu menghentikan keledainya. “Kambing anda melarikan diri ke jalan setapak! Saya melihatnya tadi!” Si pencuri memandang ke belakang dan melihat ujung tali yang menjuntai kosong. “Biarkan saya yang menjaga keledai Anda selama Anda mencari kambing itu”
Tanpa ragu, si pencuri menyerahkan keledai itu dan secepat mungkin berlari ke tempat yang ditunjukkan anak itu. Sementara itu, anak kedua menarik hewan tersebut dan berlari ke arah teman-temannya. Anak yang ketiga merasa takjub pada keberanian teman-temannya. Ia pun turun bukit dan menunjukkan keberaniannya.
Ia berlari mendahului laki-laki itu sekitar seratus meter jauhnya dan menunggunya di atas jembatan kecil yang merentang di atas sungai. Si pencuri, yang merasa kesal karena kehilangan kambing dan keledai segera menyusulnya. Anak ketiga ini mulai meremas-remas tangannya dan dengan putus asa, ia meratap, “Alangkah malangnya aku! Uangku! Aku kehilangan seluruh uangku!” Ketika mendengar kata-kata anak ketiga itu, laki-laki itu berhenti. “Ada apa?” tanyanya.
“Waktu aku menyeberangi jembatan ini, aku membungkukkan badan untuk melihat ikan. Namun, semua uangku terjatuh dari saku dan menggelinding ke air. Karena tidak bisa berenang, aku tidak bisa mencarinya.”
“Apakah uangmu banyak?” Tanya pencuri itu.
Anak ini mengangguk dengan sangat keras. “Iya, Pak. Banyak dan besar-besar”
Tanpa menunggu lama, si pencuri langsung membuka sepatu, pakaian, dan arlojinya lalu terjun ke air. Dengan lincah seperti monyet, anak itu mengambil arlojinya dan juga pakaiannya-karena pencuri itu harus mendapat pelajaran yang setimpal. Ia segera bergabung dengan teman-temannya dan ketiganya berlari ke rumah Isidorus tua. Isidorus begitu terkejut sampai terjatuh dari kursi.
“Terima kasih anak-anak! Aku seperti mendapat dua hadiah ulang tahun pada saat yang sama!” serunya sambil tersenyum.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Sabtu, 06 September 2014
Day 16: Kejutan Ulang Tahun Bajak Laut
Keluarga Hamster punya banyak sekali anak. Ada Velvet, Pattu, Bichon, Chubby, Plush, Fluffy, Greedy, Mossy, Ninette, Plump, dan Pillow. Setiap kali Mama Hamster duduk dan semua datang mendekapnya, ia tampak seperti pohon yang merunduk karena penuh dengan buah. Sepanjang hari di rumah keluarga Hamster penuh dengan tawa anak-anak. Mereka bermain, berlari, bertengkar, dan bercanda tanpa henti. Mama dan Papa Hamster sebenarnya bukan keluarga yang kaya. Mereka tidak punya banyak uang. Setiap menjelang akhir bulan, mereka sering berdesah melihat dompet mereka yang kian tipis.
Menjelang ulang tahunnya. Pattu mengundang beberapa temannya untuk menikmati hidangan sore dengan tema bajak laut. Papa Hamster tiba-tiba datang dan menyuruh semua anak dan tamu undangan duduk di sekelilingnya dan memandang dengan wajah serius. “Tadi pagi, tukang pos membawa surat yang sangat aneh untuk Papa. Begini katanya: Dengan hormat, saya sudah lama sekali menyembunyikan harta karun di rumah anda. Terlampir petunjuk pertama untuk menemukannya. Salam. Kaki hitam.”
“KAKI HITAM!” seru tamu kecil, “Dia kan bajak laut yang sangat terkenal itu!”
“Cepat, cepat! Apakah petunjuk pertama itu?” teriak semua anak ribut.
“Tenang dulu. Duduk dan dengarkan baik-baik.” Jawab Papa Hamster. Aku selalu dingin, tetapi tidak menggigil. Di dalam perutku, kamu akan menemukan petunjuk. Siapakah aku?
“Itu gua! Di dalam gua, hawanya selalu dingin!” kata Ninette. Pattu menggeleng, “Rumah kita tidak punya gua, Ninette”
“Mungkin itu adalah lemari es,” kata Plump. Dengan segera, mereka menuju ke dapur dan membuka lemari es. Di dalamnya ada sebuah kertas putih kecil yang dilipat empat. Masuk ke rumahku dengan kotor, namun keluarlah dengan kaki bersih. Siapa aku?
Anak-anak itu berpikir dan dengan segera lari ke kamar mandi. Di sana mereka menemukan petunjuk ketiga. Demikianlah mereka melanjutkan, lari kesana kemari, dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke kamar tidur. Suasana rumah hamster yang tidak terlalu besar itu sangat riuh dengan tawa dan langkah anak-anak. Setelah satu jam, mereka menemukan potongan kertas kecil terakhir: Aku tidak punya pabrik ataupun pekerja, tapi aku mampu membuat makanan pencuci mulut dari buah. Dengan sekop, galilah kakiku dan kalian akan menemukan harta yang manis itu”
“Itu pohon apel! Ayo cepat gali!” seru Pattu. Papa dan Mama Hamster memandang mereka menyerbu taman. “Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan di bawah pohon apel, Pa?” Tanya Mama Hamster.
“Sekotak permen. Tetapi mereka keliru, kotak itu ada di bawah pohon ceri,” jawab Papa Hamster. Mama Hamster tertawa kecil, “Tidak apa-apa. Biarkan anak-anak itu menggali”
Papa dan Mama Hamster beristirahat di sofa, sementara anak-anak itu berlari dan menggali pohon dengan semangat. Hampir saja mereka tertidur, tiba-tiba Pattu berteriak “Ini dia harta karunnya! Papa bangunlah! Kami sudah menemukannya”
Mereka membuka mata dan melihat sebuah peti cokelat berisi kepingan emas diletakkan di depan mereka. “Apa itu?” Tanya Papa Hamster. “Dimana kalian menemukannya?” lanjut Mama Hamster.
“Di sana! Di bawah pohon apel! Sesuai dengan petunjuk Kaki Hitam, bukan?” teriak Greedy. “Tapi kami tidak pernah melihat peti itu!” seru Papa dan Mama Hamster. Semua saling memandang dengan heran.
Keesokan harinya, Papa dan Mama Hamster pergi ke toko emas untuk memastikan keaslian emasnya. Dan tahukah kalian? Mungkin benar-benar ada bajak laut yang menyembunyikan emas-emas itu di sana! Sejak hari itu, dompet keluarga Hamster selalu penuh. Tidak hanya di awal bulan, tapi juga di akhir bulan.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Jumat, 05 September 2014
Day 15: Mengapa Anjing Bermusuhan dengan Kucing?
Pada zaman dahulu kala, jauh di masa lampau, sehingga orang sudah melupakannya, hiduplah seorang China tua bernama Yen-Lu. Dia tinggal bersama istrinya, anjingnya, dan kucingnya. Semua penghuni rumahnya selalu gembira dan tak pernah hidup susah. Mereka selalu makan ikan segar, meminum anggur yang enak, dan menyanyikan lagu-lagu riang. Ternyata Yen-Lu memiliki rahasia. Pada hari ulang tahunnya yang keenam belas, majikan tuanya memberinya sebuah cincin yang menjauhkannya dari malapetaka dan kemalangan.
Suatu hari, ketika Yen-Lu berjalan-jalan di pantai, cincin itu terlepas dari jarinya. Laki-laki tua itu baru menyadari keesokan harinya. Ia dan istrinya mencari-cari cincin itu sepanjang pantai, namun hasilnya nihil. Setelah seminggu mereka mencari, mereka akhirnya pulang ke rumah dengan wajah tertunduk lesu. Sejak hari itu, semua tidak lagi seperti dulu. Kedua orang lanjut usia itu mengeluhkan nyeri di punggung mereka. Tak ada lagi nyanyian riang dan ikan segar di atas meja.
“Aku lapar! Situasi ini tak tertahankan lagi” seru kucing di depan kalengnya yang kosong.
“Mungkin kita bisa membantu majikan kita. Ayo kita temukan cincin itu!” gonggong si anjing.
“Tapi untuk sampai ke pantai, kita harus menyeberangi sungai. Padahal aku tidak bisa berenang dan takut air,” si kucing berkeluh kesah.
“Jangan khawatir, aku akan menggendongmu di atas punggungku”
Tak berapa lama kemudian, kedua sahabat itu sudah berada di pantai. Dengan segera, anjing menempelkan moncongnya di tanah dan mulai mengendus-endus. “Aku sungguh ingin membantumu, namun apa daya aku tidak memiliki indra penciuman sebagus engkau!” si kucing kembali mengeluh. Setelah mengatakan itu, si kucing meringkuk dan tertidur. Setelah beberapa jam, si anjing menyalak dan membangunkan si kucing, “Ayo kita pergi dari sini! Aku sudah menemukannya! Aku mencium bau majikan kita dan aku sudah menggali.” Anjing terengah-engah, wajahnya tertutup pasir dan keringat, namun dengan penuh kemenangan ia menggigit cincin itu di moncongnya. Kedua binatang itu pun berjalan pulang.
“Biarkan aku yang membawa cincin itu. Kalau kamu kehabisan nafas, bisa-bisa cincin itu jatuh dalam air,” si kucing mengeong. Si anjing menyerahkan cincin itu dan membiarkan kucing naik ke atas punggungnya.
Tak seperti tadi, ia mengalami banyak kesulitan ketika menyeberangi sungai. Ia begitu lelah sampai-sampai harus berhenti beberapa kali. Begitu sampai di tepi sungai, si kucing dengan gesit melompat ke tanah dan melompati atap demi atap. Dia pulang ke rumah dengan gerakan yang sangat cepat. Sesampainya di rumah, ia menggesek-gesekkan badannya ke kaki majikan perempuannya dan menjatuhkan cincin itu di depan kaki majikannya.
“Yen Lu!”, seru majikan perempuannya, “Lihatlah kucing kita yang baik ini menemukan cincinmu. Kita selamat!”. Dengan sangat senang, mereka membelai-belai kepala kucing itu dan memberinya seekor ikan besar yang berkilat-kilat.
Tak lama, si anjing pulang dengan basah kuyup. Badannya kotor terkena pasir pantai, terengah-engah, dan menggigil. Ia duduk di depan majikannya sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Namun apa yang terjadi? Yen-Lu dan istrinya mengusir anjing itu. “Bagaimana kamu bisa begitu kotor? Keluarlah dari rumah kami!” Si anjing diusir dari rumah itu. Sementara si kucing memandang kejadian itu dari depan perapian yang hangat sambil menikmati ikannya sedikit demi sedikit dengan tatapan geli. Sejak itu, menurut orang-orang China, anjing menerkam kucing begitu mereka melihat ekornya.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Kamis, 04 September 2014
Day 14: Gergasi dan Bocah-Bocah Kaleng
Masih ingatkah kalian dengan Gergasi? Raksasa bertubuh besar namun pikirannya kosong seperti tong. Setelah ia terusir dari desa sebelumnya, ia pergi ke desa sebelah dan melanjutkan kebiasaannya memakan anak kecil.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan dia tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Dengan alis tertekuk dan muka yang cemberut, ia berjalan lurus sambil mencari-cari anak kecil. “Tidak ada anak. Tidak ada bayi. Aku lapar!” gumamnya sambil menendang pohon ek tua sampai tumbang di tengah jalan. Segera terdengar bunyi berderit dari roda sebuah bus. Teriakan tiba-tiba bergema.
Dengan penasaran, Gergasi memandang ke kendaraan itu. Ia mengangkatnya, “Apa ini?” Dia mengambil bis itu dan mengangkatnya setinggi mata. Ternyata itu adalah bis sekolah yang penuh dengan anak-anak, kurang lebih lima puluh jumlahnya. Semua berteriak ketakutan ketika melihat muka jelek Gergasi yang menyeringai dari jendela.
“Bocah-bocah dalam kaleng! Hore!” seru Gergasi yang belum pernah melihat bis. Dia merobek bagian depan mobil seperti membuka kaleng, melemparkan pengemudinya seperti serangga, lalu seperti orang mengosongkan sekantong permen, ia menuangkan isi bis itu ke dalam tas yang dipakainya. Beberapa anak berusaha memegang kursi bis erat-erat, namun karena Gergasi mengocoknya begitu keras, semua anak terjatuh k etas Gergasi. Dengan senyum puas, Gergasi melangkah pergi ke rumahnya.
Sesampainya di dapur, Gergasi mengambil baskom sebesar perahu dan memnuhinya dengan potongan-potongan cokelat. “Sekarang, aku hanya perlu mengupas mereka!” Gergasi bernyanyi sambil mengeluarkan anak-anak itu dari tas dan membuka pakaian mereka. Lalu, dia meletakkan mereka satu per satu de dalam baskom cokelat. Sementara memasak, ia bernyanyi keras-keras dengan suara sumbangnya, “Selamat ulang tahuuuunn, Gergasi! Se-la-mat u-lang ta-hun!”
Gergasi bahagia sekali. Belum pernah ia menangkap anak-anak sebanyak itu sekaligus. Ketika selesai memasak, Gergasi mencari korek api dan sendok panjang seperti dayung untuk mengaduk. Ia membungkuk ke dalam baskom. Alangkah herannya dia! Tak ada cokelat lagi! Bahkan secuil pun!
“Kemana cokelat itu? “, serunya
“Anda tentu lupa menambahkannya,” kata anak kecil dengan kumis aneh berwarna cokelat tua.
“Ya pasti begitu,” gumam Gergasi kesal
“Pergilah mengambilnya. Kami akan menunggu anda di sini” saran seorang anak gadis kecil yang giginya juga berwarna cokelat.
“Benarkah kalian akan menungguku?” Tanya raksasa menyeramkan itu dengan ragu-ragu.
“Tentu! Kami akan menunggu baik-baik di sini sampai anda datang dan memakan kami,” kata seorang anak disambut anak-anak lain yang menunjukkan senyuman berwarna cokelat tua.
“Baiklah kalau begitu! Aku akan bergegas!”
Gergasi cepat-cepat keluar dan berlari ke toko bahan makanan yang terdekat dan kembali dengan mendekap banyak sekali cokelat. Menurut kalian, apakah anak-anak itu masih ada di dalam baskom? Tentu saja tidak! Mereka sudah berlarian entah kemana meninggalkan rumah Gergasi si raksasa bodoh.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Rabu, 03 September 2014
Day 13: Badra dan Bakhir
Putri Badra terlahir dengan kekuatan magis. Ia dapat memberikan perintah kepada matahari dan matahari akan menurutinya. Ayahnya, sang Raja, sangat kagum pada kekuatan itu, sehingga ia menganggap tak seorang laki-laki pun layak menikahi putrinya. Setiap kali ada pangeran kerajaan yang datang dan melamar putrinya, Sang Raja selalu mengusir mereka.
Suatu hari, di hari ulang tahun Putri Badra yang keduapuluh, seorang pangeran muda bernama Bakhir melamar Badra. Ia sangat tampan. Rambutnya berkilau seperti emas, pandangannya sangat lembut, dan bibirnya merah seperti mawar. Putri Badra jatuh cinta kepadanya dan memutuskan akan menikah dengannya. Tanpa menunggu restu dari ayahnya, ia melarikan diri dengan Bakhir.
Mendengar putrinya melarikan diri, Raja melakukan pengejaran. Saat hampir tertangkap, Badra berpaling dan berkata kepada matahari, “Matahari, ubahlah aku menjadi gurun dan kekasihku menjadi unta.” Dengan segera, matahari menuruti kemauan sang Putri. Ketika ayahnya tiba, ia melihat unta dan bertanya kepadanya, “Unta, apakah kamu melihat sepasang anak muda yang melarikan diri?”
“Tidak. Tidak pernah ada orang yang datang ke gurun ini” jawab unta.
Ketika Raja pergi, kedua anak muda ini kembali menjadi manusia dan mulai lari lagi. Namun, Raja kembali mengejar mereka. Ketika Badra melihat bahwa ayahnya hampir menyusulnya, ia berpaling kepada matahari dan berkata, “Matahari, ubahlah aku menjadi kawanan domba dan kekasihku menjadi gembala”
Ketika Raja muncul di tempat di mana ia mengira dapat menemukan kedua anak muda itu, ia hanya melihat seorang gembala yang dengan tenang menjaga domba-dombanya. “Gembala, apakah kamu melihat seorang pemuda yang ditemani seorang gadis lewat?” Tanya sang Raja. Sang gembala menggelengkan kepalanya dan Raja pun pergi.
Begitu Raja pergi, mereka kembali menjadi manusia. Sayang sekali, Raja, yang lebih cepat dari mereka segera menyusul mereka kembali.
“Matahari, ubahlah aku menjadi sungai dan kekasihku menjadi ikan,” sang Putri kembali meminta kepada matahari. Beberapa menit kemudian, Raja tiba di tepi sungai dan kali ini, ia paham bahwa putrinya menggunakan kekuatan magisnya untuk menipu dirinya. “Terkutuk! Aku ingin agar pangeranmu berhenti mencintaimu!” teriaknya marah sambil melempar batu ke sungai, lalu ia pergi dari tempat itu. Batu ini mengenai kepala Bakhir. Ketika Bakhir kembali menjadi manusia, ia lupa pada Badra dan berlalu bahkan tanpa melihatnya.
Sang Putri begitu sedih karena pangeran melupakannya. Ia hidup dalam kesepian selama beberapa bulan. Ia berjalan dari kota ke kota. Suatu hari, ia mendengar bahwa seorang pangeran bernama Bakhir akan menikah. Dia pergi ke istana dan melihat pemuda itu sedang berada di dekat jendela.
“Matahari, kirimkan aku seekor merpati gaib,” mohon sang Putri. Segera saja seekor merpati turun ke tangan sang putri. Ia menggumamkan beberapa kata, dan burung itu terbang ke arah jendela, tempat pangeran Bakhir berdiri. Ia menemui sang pangeran dan bernyanyi dengan suara merdu, “Bakhir kekasihku, apakah kamu lupa padaku? Aku Badra, tunanganmu. Bagaimana kamu bisa meninggalkan aku?”
Dengan segera, pangeran mengenali suara Badra. Ia menggosok-gosokkan jari ke matanya seolah baru bangun dari mimpi. Ketika ia membuka matanya kembali, ia melihat sang putri menunggunya di depan istana. Ia lari menjemputnya dan memperkenalkan Badra kepada semua orang sebagai calon istrinya. Pesta pernikahan segera diadakan dan khusus pada malam itu, matahari tidak terbenam.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Selasa, 02 September 2014
Day 12: Fullbert, Teka-Teki, dan Kurcaci
Hari ini Fullbert berusia dua puluh tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ayah dan ibunya memanggil Fullbert untuk berbicara sangat serius.
“Fullbert anakku, usiamu sudah cukup untuk meninggalkan rumah. Namun sebelumnya, kami ingin memberitahukan suatu rahasia besar padamu. Ketahuilah bahwa kami bukanlah orangtua kandungmu. Dua puluh tahun lalu, kami menemukanmu di bawah jembatan dan mengambilmu,” kata ayahnya. Ia mengeluarkan sebuah benda berkilau dari sakunya. “Liontin ini ada bersamamu sejak bayi. Bawalah. Siapa tahu ia akan membawa engkau pada orangtua kandungmu”
Fullbert yang lembut hatinya memeluk kedua orangtua angkatnya. Ia meyakinkan mereka bahwa ia akan selalu menganggap mereka sebagai orangtuanya. Tak lama sesudah itu, ia pergi berkelana mengelilingi dunia. Ia menyeberangi sawah, hutan, dan laut sampai akhirnya ia tiba di sebuah negeri kecil yang nampaknya tidak berpenghuni. Tidak ada teriakan, tawa, bahkan suara apapun selain angin yang berhembus kencang. Karena penasaran, Fullbert mengetuk pintu salah satu rumah di situ dan bertanya mengenai apa yang terjadi di sana.
“Seorang kurcaci jahat meneror kerajaan kami. Setiap pagi, dia akan memberikan teka-teki yang tidak bisa dipecahkan oleh siapapun. Lalu, sebagai hukumannya, dia akan menangkap seorang penduduk dan membawanya ke rumahnya,” jawab mereka. “Apa yang dilakukannya terhadap penduduk itu?” Tanya Fullbert.
“Ia sedang membutuhkan budak untuk membangun lapangan sepak bola yang luas di rumahnya di atas gunung”
“Mengapa kalian tidak menangkapnya? Kurcaci tentunya bukan lawan yang sulit, bukan?” Fullbert bertanya-tanya.
“Biarpun kecil, kekuatannya luar biasa! Ia dapat menumbangkan sebuah pohon besar dengan sentilan jarinya. Hanya ada satu cara mengalahkannya yaitu menjawab teka-tekinya. Seorang penyihir telah mengutuknya: ia harus membuang dirinya ke sumur apabila ada orang yang berhasil menjawab teka-tekinya. Raja kami sudah berjanji untuk memahkotai orang yang berhasil menjawab teka-teki itu”
Keesokan paginya, Fullbert melihat seorang laki-laki kecil pergi ke alun-alun dengan melompat-lompat riang. Dengan topi kerucutnya yang merah dan janggutnya yang pirang, dia sama sekali tidak terlihat menakutkan. Kurcaci itu menopangkan tangannya di pinggir sumur, membuka mulutnya yang lebar seperti perapian dan bergerigi seperti gergaji.
“Siapa yang hari ini mau memecahkan teka-teki?” tanyanya. Fullbert mengangat tangannya. Si kurcaci terkekeh-kekeh sambil memandangnya dengan mata kecilnya yang kecil dan berkata keras-keras, “Di luar, rumahku hijau tua. Di dalam semuanya merah muda. Pendudukku kecil dan hitam. Untuk masuk ke rumahku, ambillah kunci baja. Siapakah aku?”
Fullbert berpikir sejenak, lalu ia menjawab “Itu semangka: kulitnya hijau dan dagingnya merah muda. Biji-bijinya berwarna hitam dan kecil. Untuk memasukinya, kita harus membukanya dengan pisau baja”
Kurcaci itu meringis seram dan dengan menjerit keras, ia menceburkan dirinya ke dalam sumur. Semua warga yang menyaksikan bersorak gembira.
Beberapa hari kemudian, tibalah upacara penobatan raja. Seluruh rakyat berkumpul di alun-alun. Orangtua angkat Fullbert juga hadir di sana. Dengan mahkota di tangannya, raja tua itu berjalan ke arah Fullbert. Tiba-tiba, ia melihat kilauan cahaya di dada Fullbert yang berasal dari liontin yang dipakainya. “Dimana kamu menemukan benda ini?” tanyanya pada Fullbert.
“Saya tidak menemukannya. Menurut orangtua angkat saya, benda ini selalu bersama saya sejak saya ditemukan”
Mendengar itu raja memeluk Fullbert. Betapa bahagianya ia hari itu. Ia menemukan kembali anaknya yang diculik saat masih bayi. Mahkota yang diterima Fullbert karena kepandaiannya, juga kembali kepadanya karena asal-usulnya. Fullbert benar-benar dilahirkan untuk menjadi seorang raja!
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Senin, 01 September 2014
Day 11: Kenzo, si Anak Laut
Zaman dahulu kala di Jepang, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Kenzo. Ia sangat senang berenang di laut dan ia merasa bahwa ia hanya senang ketika ia berada di dalam air. Ia suka menjelajahi dasar laut dan melihat ganggang-ganggang menyapanya dengan lembut.
Pada pagi ulang tahunnya yang kesepuluh, ia mengapung terlentang dan berdesah, “Ah, alangkah inginnya aku menjadi ikan!” Seketika itu juga, ikan besar berwarna merah keemasan muncul dari gelombang laut.
“Kenzo yang baik. Laut dan seisinya sudah menganggapmu sebagai salah satu dari mereka karena kamu lebih banyak menghabiskan waktu di air daripada di darat. Maka dari itu, sebagai hadiah ulang tahunmu, kami menawarkan untuk mengubahmu menjadi ikan sepanjang hari. Kamu akan kembali saat matahari terbenam,” katanya.
Kenzo bersorak gembira. Ia menyetujui persyaratan yang diberikan. Ikan itu berkata lagi, “Hati-hati dengan mata kail, Kenzo” Lalu ikan itu menghilang di kedalaman laut. Anak laki-laki itu ingin merenggangkan kakinya untuk berenang, namun ia merasa bahwa ia tidak bisa lagi memisahkan keduanya. Kaki-kakinya menyatu menjadi ekor yang menyatu dengan sisik. Jari-jarinya juga telah berubah menjadi sirip. Kenzo telah menjadi ikan! Dia menyelam ke dasar laut dan merasa sangat bahagia.
Sepanjang hari, ia menjelajahi dasar laut, bertemu dengan ikan-ikan yang besar dan kecil, dan berenang dengan cepat. Ia lupa segala-galanya. Bahkan ia lupa makan. Ketika hari mulai menjelang sore, kelaparan datang menyiksa perutnya. Ia sangat kelaparan dan merasa hampir pingsan. Pada waktu itulah dia melihat kelap kelip ikan kecil yang cantik berwarna keperakan.
Kenzo menyergapnya, membuka mulutnya, dan menelannya. Ternyata ikan itu adalah umpan dengan mata kail yang disembunyikan di dalamnya! Kenzo merasa rahangnya tertusuk dan sakit sekali. Pada saat yang sama, ia merasa ditarik ke atas dan beberapa detik kemudian, ia bergerak-gerak di udara bebas, di dasar sebuah perahu. Kenzo buru-buru menggerakkan bibirnya untuk menjelaskan keadaannya. Namun tak ada satupun suara yang keluar.
Si nelayan melemparkannya dalam sebuah ember besar berisi air dan segera mendayung ke tepi. Sesampainya di sana, Kenzo melihat seorang perempuan yang dikenalnya berjalan ke arah perahu. Itu ibunya! Ibunya pasti dapat menyelamatkannya. Kenzo dengan cepat menggerakkan bibirnya lagi untuk memanggil ibunya.
Ibunya memandang Kenzo si ikan dengan penuh perhatian.”Ikan besar ini cocok sekali untuk makan malam. Kebetulan anak laki-lakiku berulang tahun. Tapi mengapa binatang ini terus menggerakkan mulutnya?”
“Iya,”, kata si nelayan dengan tersenyum, “aku tidak pernah melihat ikan secerewet ini.” Perempuan itu lalu pergi membawa Kenzo di keranjangnya. Kenzo putus asa. Ibunya saja tidak mengenalinya, apa yang dapat diharapkannya? Sesampai di rumah, ibunya meletakkan keranjangnya di dapur dan meminta juru masaknya untuk memasak. Juru masak itu kemudian pergi mengasah pisau. Pada saat yang sama, matahari mulai terbenam di balik gunung. Sisik-sisik Kenzo berjatuhan, sirip-siripnya kembali menjadi tangan, dan ekornya menjadi kaki.
Ketika si juru masak kembali dan melihat majikan mudanya terbaring di atas papan untuk dipotong, dia menjatuhkan pisaunya, menjerit, dan berlari pergi. Malam itu, di depan keluarganya yang berkumpul, Kenzo menceritakan kisahnya yang aneh. Dan sejak hari itu, dia tidak pernah lagi makan ikan.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Minggu, 31 Agustus 2014
Day 10: Keajaiban Marie-Camommile
Ketika Marie-Camommile bangun pagi pada usianya yang ketujuh belas, ia mendesah. Sekali lagi, tidak ada pesta yang menyenangkan di hari ulang tahunnya. Tidak ada yang spesial di pestanya. Ia tidak memiliki ayah lagi dan ibunya sudah sakit sejak lama sehingga tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya.
Ia bangkit berdiri dari kasurnya, berpakaian, dan seperti setiap pagi, ia pergi ke sumur dekat rumahnya untuk menimba air. Ketika ia mengangkat air, ia melihat seekor capung yang sedang dalam kesulitan. Sayapnya bergetar hebat. Karena iba, Marie-Camommile memungutnya dengan ujung jarinya dan meletakkannya di atas sekuntum bunga. Makhluk kecil itu lalu berdiri di atas bunga dan mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Ternyata, ia bukan capung, tetapi perempuan yang sangat kecil dan bersayap.
“Terima kasih atas bantuannya, Nak. Karena hari ini engkau berulang tahun, aku akan memberikanmu sebuah hadiah. Apa yang kau inginkan? Kecantikan? Kekayaan atau Kekuasaan?” tanya peri itu.
Marie-Camommile menggeleng. Ia berkata kepada peri itu, “Kalau boleh, aku ingin agar kesehatan ibuku membaik”
Peri itu tersenyum, dan tanpa berkata apa-apa, ia mencium jari Marie-Camommile. Ciumannya lembut seperti kepakan sayap kupu-kupu. Lalu ia terbang dan menghilang dari pandangan Marie-Camommile. Ia segera meninggalkan embernya dan berlari ke rumah. Ia bergegas ke kamar ibunya dan menyentuh kening ibunya dengan lembut. Ibunya segera membuka matanya dan tatapannya bersinar. Demamnya telah sirna. Dia duduk di tempat tidurnya dan berkata riang, “Wah, ibu sudah puas tidur! Sekarang, Ibu akan menyiapkan sarapan untukmu”
Marie-Camommile melompat gembira. Ia memeluk ibunya lalu melesat keluar dari rumahnya. Ia ingin mencoba kemampuannya itu. Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang penunggang kuda yang pingsan. Pemuda itu jatuh dari kuda dan kepalanya membentur batu. Dengan lembut, gadis itu menyentuh dahi pemuda itu. Pemuda itu membuka matanya dan mengira akan melihat seorang malaikat. Namun, Marie-Camommile sudah menghilang. Gadis itu sudah berjalan memperbaiki tali yang putus dan menghidupkan api perapian yang padam di rumah seorang nenek.
Di tepi hutan, Marie-Camommile mendengar erangan dari seekor rusa betina yang tergeletak di tanah. Dengan lembut, Marie-Camommile menyentuh dahinya. Begitu melakukannya, ia mendengar suara riuh derap kuda dan pemburu-pemburu muncul dari balik pohon. Mereka membawa busur besar di bahunya. Rusa itu segera melompat dan melarikan diri.
“Lihat! Gara-gara gadis itu, rusa yang kita lukai melarikan diri. Gadis ini menyembuhkan rusa itu! Dia pasti memiliki kekuatan sihir! Ayo kita bunuh dia!” kata salah seorang pemburu sambil menunjuk Marie-Camommile.
Pemburu-pemburu itu menyeret Marie-Camommile dan membawanya ke alun-alun desa. Masyarakat sekitar sudah menyediakan panggung penuh obor api. Orang-orang menyuruhnya naik ke atas ikatan ranting kayu dan segera menyulut ranting itu. Tetapi si api yang mengenali Marie-Camommile tidak melukainya. Api itu hanya menyulut kayu dan tidak membakarnya. Si tali melepaskan ikatannya dan Marie-Camommile jatuh ke tanah. Tiba-tiba muncul rusa yang tadi ditolongnya. Ia melompat ke tengah obor api yang menyala-nyala.
Marie-Camommile naik ke atas punggungnya dan binatang ini lari terus ke arah kastil yang terletak di sisi hutan yang lain. Di sana, Marie-Camommile bertemu dengan pemuda yang tadi ditolongnya setelah terjatuh dari kuda. Pemuda, yang ternyata sang Pangeran itu, sangat gembira melihat malaikat penolongnya. Ia terpikat oleh kecantikan dan kelembutan Marie-Camommile. Ia menyatakan cintanya dan mengajak Marie-Camommile untuk menikah bersamanya. Marie-Camommile menyetujuinya dan ia menikah dengan Pangeran itu. Ia membawa ibunya serta ke kastil dan menjadi ratu negeri Seribu, tempat yang tidak pernah ada sakit penyakit lagi.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Day 9: Ulang Tahun si Kembar Tiga
Di bawah sebuah rumah yang megah dan indah, Ayah dan Ibu Tikus berdiri bersama ketiga anak kembarnya. Masing-masing membawa tas punggung besar di punggungnya. Hari ini anak-anak tikus itu merayakan ulang tahun mereka yang kedua. Itu artinya, anak-anak tikus harus meninggalkan tempat kediamannya dan menjalani kehidupan secara mandiri.
“Selamat jalan anak-anakku yang tampan dan cantik,” kata Ibu Tikus.
“Jaga diri kalian dari kucing-kucing besar yang rakus,” tambah si Ayah Tikus.
Sambil melambaikan tangan-tangan mereka, ketiga tikus kecil itu berangkat. Mereka berlari-lari kecil dengan kaki-kaki mungil mereka, menyeberangi ladang rumput yang terang dan luas, melewati sungai penuh batu-batu, sambil mengobrol dengan riang gembira.
Malam pun tiba. Ketiga tikus bersaudara sampai di rumah yang terpencil di tengah hutan. Rumah itu ternyata milik tiga serigala jahat yang saat itu sedang pergi memangsa makanan mereka. “Aku suka rumah itu! Aku mau tinggal di sana malam ini!” kata tikus pertama, “Aku juga!” sahut tikus kedua. Tikus ketiga hanya mengikuti kemauan kedua saudaranya. “Aku ikut kalian saja”
Mereka masuk dan masing-masing menemukan posisi favoritnya. Yang satu tidur di atas abu panas perapian, yang lain naik ke bantal lembut sebuah sofa, dan yang terakhir naik ke atas meja yang ditutupi taplak kecil yang manis. Sebelum tidur karena kelelahan, mereka menggerikiti sepotong roti dan segera tertidur karena perjalanan yang panjang di hari itu.
Ketiga serigala yang baru kembali dari perburuan mereka mencium bau yang tidak biasa di rumah mereka. “Rasanya ada yang masuk rumah kita,” kata serigala yang satu dengan yang lain. “Pintunya tidak ditutup dengan baik. Aku sudah menguncinya tadi pagi,” kata serigala kedua.
“Tunggu disini. Aku akan memeriksa rumah kita”, kata serigala ketiga yang paling muda. Ia tidak takut apa-apa. Tanpa bersuara, ia masuk ke dalam rumah, membuka topinya, dan meletakkannya di atas meja yang ditutupi taplak kecil itu. Karena ia tidak melihat apa-apa, maka ia menghampiri perapian untuk menyalakan lilin.
Ketika serigala termuda itu membungkukkan badan untuk mencari bara api yang kemerahan. Tikus pertama melompat ke atas moncongnya dan melemparkan abu ke mata serigala. Serigala yang kaget dan matanya penuh abu itu melompat mundur dan menjatuhkan dirinya ke atas kursi sambil menggosok-gosok kelopak matanya. Dengan segera, tikus kedua menggigit pantatnya yang berbulu. Si serigala kembali meraung dan menjulurkan tangan untuk mengambil topinya dan kabur. Namun samar-samar, ia melihat topinya berjalan menjauh di atas meja. Dengan ketakutan, ia bergegas berlari keluar dan menemui saudara-saudaranya.
“Ayo kabur! Rumah kita sekarang berhantu! Abu melemparkan diri padaku dari perapian, kursi menggigitku, dan bahkan topiku lari ketika aku ingin mengambilnya. Ada hantu! Mari kita pergi!” serunya.
Ketiga serigala buru-buru lari. Sementara ketiga tikus itu segera tidur kembali. Mereka bangga bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah secara mandiri.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Sabtu, 30 Agustus 2014
Day 8: Ulang Tahun Konfeti
Di tengah hutan Amazon yang luas dan dalam, Konfeti kecil tidur melingkar di atas pohon, sementara keluarga dan teman-temannya mempersiapkan kejutan ulang tahun.
“Begitu Konfeti bangun, kita akan menyanyikan lagu ulang tahun dengan keras”, Paman monyet memberi komando. Dengan segera monyet-monyet kecil teman konfeti berteriak dengan lantang, “Teman monyet kami...hari in…”
“Sssttt..nanti dulu!” kata Ibu Monyet. “Aku mau ambil kue ulang tahunnya dulu. Bentuknya bundar dan warnanya kuning seperti bulan”
Monyet-monyet kecil melompat-lompat gembira, “Hip! Hip! Hura! Alangkah senangnya perut kita”, seru monyet-monyet kecil dengan rakus.
“Kemudian, Konfeti akan meniup ketiga lilin raksasa yang sudah kubuat dari ranting-ranting yang dijalin” lanjut Ayah monyet.
“Dan akhirnya, kita akan menunjukkan kado itu kepadanya. Kadonya adalah…” Kakak monyet menyudahi. “Kami tahu! Kami tahu! Karena kami yang membuatnya! Perahu kecil yang baru untuk berlayar di sungai”, sela monyet-monyet kecil itu.
Tiba-tiba ibu Monyet mengacungkan jarinya agar semuanya diam. Ada gemerisik daun-daun yang remuk. Itu pasti Konfeti yang baru bangun. Dengan segera monyet-monyet kecil bernyanyi,
“Teman monyet kami
Hari ini ulangtahun,
Kita heboh s’panjang hari
Di Amazon ini!”
Dengan mata merah karena masih mengantuk, Konfeti tersenyum menerima kejutan ini. Monyet-monyet kecil itu masih berteriak-teriak heboh setelah bernyanyi. Lalu mereka diam menunggu kedatangan kue ulang tahun yang dibawa ibu Monyet. Alih-alih kue, ayah Monyet turun dari pohon dengan sangat marah “Lilin-lilin itu! Aku sudah menyembunyikannya di atas pohon, namun burung-burung itu mengambilnya untuk membuat sarang!”
“Oh! Tidak indah kalau ulang tahun tanpa tiup lilin”, ratap monyet-monyet kecil itu. Tak lama kemudian, Ibu Monyet berlari menemui mereka “Kue ulang tahun itu! Kue ulang tahunnya dicuri! Aku melihat jejak cakar beruang di tempat aku menyimpannya!”, teriaknya.
“Oh… tidak seru kalau ulang tahun tanpa kue,” monyet-monyet kecil itu semakin sedih. “Kalian belum tahu kabar yang lebih buruk lagi. Rayap-rayap menghabiskan perahu itu. Hanya tersisa serbuk kayu di tempat kalian menambatkannya,” seru kakak Monyet yang pulang dengan terengah-engah dari sungai.
“Oh, semua gagal! Kami sedih sekali!”, monyet-monyet kecil itu mulai menangis. Suasana Amazon yang tadinya heboh menjadi sunyi sepi. Hanya terdengar monyet-monyet kecil itu terisak-isak di balik pepohonan. Tiba-tiba suara lirih Konfeti memecah keheningan.
“Kue, lilin, dan perahu itu semua bisa digantikan. Satu-satunya hal yang tidak dapat digantikan adalah kehadiran kalian. Keluarga dan teman-temanku. Dan semua ada di sini hari ini. Bagiku, itulah yang terpenting,” kata Konfeti lembut.
Mendengar kata-kata itu, monyet-monyet terharu dan menitikkan air mata. Mereka memeluk Konfeti dan melempar-lemparkannya ke udara sambil berteriak-teriak gembira. Sepanjang siang, Amazon benar-benar ramai dan heboh dengan tawa dan nyanyian. Selamat ulang tahun, Konfeti!
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Kamis, 28 Agustus 2014
Day 7: Ulang Tahun Si Putri Bodoh
Di negeri nun jauh di sana, tinggallah seorang putri yang kepalanya kosong seperti panci. Rakyatnya menyebut dia si putri bodoh.
Suatu hari di musim gugur, ia berkata kepada pelayannya, “Hari ini kalian harus mencegah pohon-pohon kehilangan daunya. Mereka akan terlalu miskin kalau gundul. Selain itu, kalian harus menyalakan matahari sebelum aku tidur. Aku benci malam dan tidak ingin melihatnya lagi”
Beberapa hari menjelang ulang tahunnya yang kedua puluh, ia pergi menemui ayahnya, sang raja, yang sedang beristirahat di taman dan berkata kepadanya dengan sangat marah, “Ayah, aku pikir Ayah mencintaiku…”
“Tentu saja, sayang. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati”
“Tidak, ayah tidak mencintaiku. Kalau ayah mencintaiku, ayah akan memberikanku banyak perhiasan”, kata si putri bodoh sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Tapi gadis kecilku, kamu tahu bahwa memang kenyataannya seperti itu. Kamarmu penuh dengan rubi dan berlian. Orang-orang perlu menggunakan pelindung agar mata mereka tidak silau”, jawab sang Raja.
“Aku tidak peduli pada semua rubi, berlian, safir, dan batu-batu lainnya. Yang kuingini adalah mahkota yang bertahtakan keajaiban ini!” Ia menunjuk air mancur yang tepinya tertutup tetesan air yang berkilauan di bawah sinar matahari. Sang raja yang juga bodoh langsung bangkit berdiri dan memanggil pelayannya, “Bawalah kepadaku semua pandai emas di negeri ini”
Sang raja membuat sayembara kepada seluruh tukang emas di negeri ini. “Aku ingin dan menuntut bahwa untuk ulang tahunnya, putriku menerima mahkota yang bertahtakan tetesan air,” kata Raja dengan suara seperti geledek. Semua yang mendengarnya tercengang, “Tuan, kami siap memuaskan hati anda dan putri anda. Namun hal barusan yang anda minta adalah hal yang tidak mungkin,” kata tukang emas paling berpengalaman. Raja murka luar biasa.
“Penjaga. Bawa mereka semua ke penja…”
“Tunggu, Tuan,” sebuah suara tiba-tiba terdengar, “Biar saya mencobanya. Tetapi untuk itu, saya harus dibantu oleh sang putri sendiri” Orang ini bukanlah pandai emas. Ia hanya petapa tua yang tinggal di sayap kastil. Sang raja terheran-heran melihat calon pembuat mahkota putrinya. Tetapi karena itu adalah satu-satunya cara, maka ia menerimanya.
Hari ulang tahun sang Putri tiba. Seluruh penghuni kastil berkumpul di taman, putri dan raja berdiri di tengah-tengah. Petapa itu datang membawa bantal dengan mahkota emas di atasnya. Ia berlutut di depan Raja dan berkata, “Tuan, seperti yang saya janjikan. Saya membawa mahkota dan Putri tinggal menghiasnya dengan tetes-tetes air”
Putri bodoh itu bergegas pergi ke air mancur dan dengan bernafsu mengulurkan tangan ke tetesan-tetesan air air itu. Namun setiap kali dia ingin menangkapnya, tetesan itu pecah dan meninggalkan bekas basah di jarinya. Sang putri jengkel. Sepanjang siang, ia berusaha mati-matian untuk menangkap air. Para penghuni kastil berusaha juga untuk mati-matian tidak menertawakan putri bodoh itu. Dengan marah, sang putri kembali ke kamarnya di kastil pada malam hari tanpa menangkap satu tetes airpun. Ia malah mendapatkan flu berat.
Konon sejak hari itu, dia tidak begitu bodoh lagi. Si bijak telah membuat hadiah yang indah dengan memberinya sedikit akal sehat.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Rabu, 27 Agustus 2014
Day 6: Ulang Tahun si Tikus Kecil
Di sebuah kota kecil yang sudah terlelap. Seekor tikus kecil membuka catatannya. “Gigi seri Arthur sudah selesai. Begitu juga dengan Gary. Kedua gigi taring Christ barusan kubereskan. Tinggal geraham depan milik Lily…”, gumamannya berhenti. Bayangan kucing yang dipelihara Lily melintas.
Sambil menyeret kakinya, ia mengendap-ngendap masuk ke rumah Lily dan menyelinap dari bawah pintu. Tidak ada suara sama sekali. Semua pasti sudah tertidur. Sebuah siluet hitam berbulu nampak di tembok ruang tamu. Tikus kecil mundur selangkah demi selangkah karena takut. Namun samar-samar ia mendengar suara dengkuran. Monster itu tertidur! Kucing itu tidak akan mencelakakannya. Ia harus segera bergegas menyelesaikan pekerjaannya!
Si tikus menyelinap masuk ke kamar Lily, menyelipkan kaki gesitnya ke bawah bantal Lily dan menukar gigi geraham Lily dengan sekeping koin emas, dan segera keluar secepat ia masuk ke kamar itu. Ia bergegas keluar rumah, namun celaka! Monster itu bangun dan memandangnya dengan mata kecilnya yang kuning dan kejam.
Tikus kecil memasukkan kakinya ke dalam tas yang ia bawa. Ia meraih sebuah kotak yang menimbulkan suara seperti lenguhan sapi. Ia menggoyangkan kotak tersebut dan lenguhan keras memenuhi seluruh ruang tamu. Kucing yang dari tadi mengejarnya tertegun. Matanya berusaha mencari asal suara lenguhan itu.
Ketika kucing sibuk mencari suara itu, tikus kecil melesat secepat roket keluar rumah. Ia berlari sepanjang trotoar. Ia mendengar si kucing mengeong dengan marah karena membiarkan mangsanya kabur begitu saja. Si tikus tergeletak di tanah kelelahan. Dalam hati ia bertanya, sampai kapan ia dapat menghindari si kucing.
Ia kembali berjalan dengan susah payah, “Ah sudahlah… aku lelah”. Tikus kecil lelah mempertaruhkan nyawanya demi anak-anak. Esok ia akan memanggil seluruh rakyat tikus dan membuat sidang istimewa untuk menjelaskan keputusannya. Sampai di rumahnya, ia langsung tertidur ketika kepalanya menyentuh bantal.
Keesokan harinya, ia dibangunkan oleh suara ribut. Ia membuka matanya sedikit dan ia melihat ratusan kepala kecil yang bernyanyi menurut irama. “Se-la-mat u-lang ta-hun ti-kus ke-cil!” Astaga! Dia lupa sama sekali akan ulang tahunnya. Ia duduk di tempat tidurnya bersama keluarga dan rekan-rekannya. Dengan wajah gembira, mereka tersenyum karena mereka punya kejutan yang menyenangkan untuk tikus kecil ini.
Tikus kecil tersenyum membalas senyuman mereka, namun di dalam hati, ia sedih memikirkan kekecewaan yang ditimbulkan ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya. Semua sudah berkumpul. “Ini saatnya”, pikir si tikus kecil.
Seekor anak tikus yang manis menyerahkan bungkusan ke atas tempat tidurnya dan berkata bahwa semua ikut berpartisipasi dalam hadiah ini. Si tikus kecil menyobek kertas kadonya dan terlihat sebuah kotak. Di atasnya, ada tulisan yang membuatnya tersenyum lebar. Ia melompat dari tempat tidurnya dan berseru, “Sebenarnya hari ini aku akan mengumumkan kabar besar: Aku tidak akan berhenti memenuhi kewajibanku untuk anak-anak. Ini semua berkat ide hebat yang kalian berikan kepadaku… sebuah pistol air untuk menakuti kucing!”
“Yeay… Hidup tikus kecil! Hip hip hura! Hip Hip Huraaa!”, teriak semua temannya dengan gembira.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Ps: Maafkan hari ini telat ngepost... sedang banyak kerjaaann...huhuuu.. but please enjoy your little time with this story ^^ *hug*
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Selasa, 26 Agustus 2014
Day 5: Ulang Tahun Gergasi
Tahukah kalian tentang Gergasi? Dia adalah raksasa besar pemakan anak kecil. Orangnya tinggi seperti rumah, kakinya panjang seperti batang bambu, perutnya besar seperti balon udara, namun kepala dan otaknya kecil seperti kacang. Pikirannya juga ciut dan keriput seperti pangsit disiram kuah. Ia memang berbadan besar, namun ia sangat bodoh.
Setiap ulang tahun, ia selalu turun dari gunung ke desa untuk meminta sajian anak-anak yang tampan dan besar sesuai dengan usianya saat itu. Anak-anak itu dibawa ke kastilnya, dicelupkan dalam cokelat panas dan diangin-anginkan, lalu mengunyah mereka dengan sangat berselera. Tentu saja orangtua anak-anak itu tidak ingin menyerahkan anak-anak mereka. Hari itu pasti penuh dengan teriakan, jeritan, dan baku hantam.
Tahun ini pun Gergasi turun gunung. Dengan langkah kaki yang membuat bumi bergetar, ia menghampiri warga yang berkumpul di alun-alun. “Dimana anak-anak kesukaanku itu?”, tanyanya dengan suara serak.
Kepala desa maju dan menghadap gergasi. Ia mengangkat kepalanya dan berkata kepada Gergasi, “Gergasi yang besar. Tahun ini kami menyediakan sajian spesial untukmu. Coba lihat!” Dengan ayunan tangannya yang lebar, ia menyibakkan kain yang berada di tengah alun-alun itu. Di bawah kain tersebut terdapat lubang lebar dan banyak telur besar di atasnya. Gergasi mengernyitkan alisnya. Ia tidak mengerti.
“Biasanya tidak seperti ini”, kata Gergasi kecewa. Kepala desa menjawab, “Itu karena biasanya kami memberikan anak-anak yang sudah menetas. Kali ini, kami memberikan yang masih dalam cangkang, agar benar-benar segar.” Gergasi tidak tahu kalau anak-anak kecil lahir dari telur. “Ini masih baru! Anak-anak yang lahir dengan teknologi mutakhir. Lebih sedikit bulunya, paling lembut, sangat kenyal, pokoknya sangat enak!”, seru penduduk-penduduk riuh.
“Baik… baik…” kata Gergasi pusing
“Jangan lupa untuk mengerami dengan baik ya”, teriak penduduk-penduduk itu. Gergasi pergi membawa telur-telur tersebut di ketiaknya. Sesampainya di rumah, Gergasi tidur dan bermimpi bahwa ia mengunjungi negeri yang indah dipenuhi dengan pohon-pohon dengan bocah-bocah cokelat. Ada yang bersalut cokelat putih, cokelat hitam, ada juga yang bersalut caramel. Saat ia mengulurkan tangan untuk memetik, perasaan lapar menusuk-nusuk pantatnya yang besar. Ia bangun dan mendekatkan kepalanya ke sarang. Beberapa cangkang telur mulai retak-retak karena dipukul dari dalam.
“Nyam…nyam”, air liur Gergasi mulai menetes. Ia tidak sabar melihat makanannya keluar. Salah satu dari mereka mulai menampakkan kepalanya. Kepalanya yang aneh memanjang dan memandang Gergasi. Gergasi yang bodoh menatapnya balik dengan wajah penasaran namun gembira. Makhluk itu mengeluarkan seluruh badannya, namun betapa terkejutnya Gergasi bahwa makhluk itu tidak punya tangan dan kaki! Begitu juga teman-temannya.
“Ini bocah-bocah apa?” kata Gergasi kecewa. Namun ia tidak sempat berpikir lagi karena salah satu dari mereka sudah menggigit hidung Gergasi yang pesek. Yang lainnya sudah melata ke arahnya dengan mata berkilauan rakus. Kalian tentu sekarang tahu bahwa telur-telur itu sebenarnya telur ular!
Dengan ketakutan, raksasa besar itu melarikan diri dan berlari lurus ke depan. Penduduk desa tidak pernah melihatnya lagi selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Gergasi kapok meminta anak-anak desa itu lagi.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Senin, 25 Agustus 2014
Day 4: Ulang Tahun Santa Klaus
Santa Klaus tua pergi ke dapur. Celemek merah melingkari perutnya yang sangat buncit. Ia bersenandung dengan ceria. Hari ini ulang tahunnya. Meski ia tidak mengingat berapa umurnya, ia tetap mengingat bahwa ia lahir hari ini.Ia mengangkat jarinya untuk berhitung. “Yang pasti aku tidak lahir kemarin. Tidak juga tahun lalu. Nampaknya aku sudah beratus-ratus tahun. Ah, sulit sekali rasanya menghitung.” Ia menurunkan tangannya lagi, “Sudahlah tak penting! Yang penting, hari ini aku akan membuat kue yang manis dan enak untuk kubagikan kepada kurcaci-kurcaci kecilku. Pertama-tama aku perlu tepung yang putih seperti salju”
Santa Klaus membungkuk mengambil tepung di lemarinya dan meletakkan di atas meja. Ketika ia berbalik dan ingin mengambil mangkuk, sebuah bayangan kecil dan gesit masuk lalu keluar dari dapurnya. Santa Klaus menengok ke belakang dan ia terbelalak. “Astaga, kemana tepungku?”
Ia mencari tepungnya di bawah meja, di atas oven, di dalam lemari-lemarinya, namun hasilnya nihil. Ia tidak menemukan tepungnya. Lalu, ia pergi ke rumah kecil tempat kurcaci-kurcaci tinggal dan membuat mainan, “Kurcaci-kurcaci sayang, apakah kalian melihat tepung putih saljuku?”.
“Demi topi runcing kami. Kami tidak melihatnya”, jawab Tintinabul mewakili teman-temannya.
“Ah, baiklah. Aku tidak akan menggunakan tepung. Bagaimanapun, agar kue menjadi manis, aku butuh gula”, gumam Santa Klaus sambil kembali ke dapur. Ia mengambil gula di lemarinya, lalu membungkuk mengambil cokelat. Namun, ketika ia berdiri lagi, gula itu sudah lenyap tak berbekas. “Huh, dimana tepung gulaku?”
Ia meninggalkan cokelatnya di atas meja. Santa Klaus mengangkat panci-panci yang ada, mengintip dari kiri ke kanan, namun tidak ada bekas bungkusan gulanya. Ia naik darah, mengetuk pintu rumah kurcaci, “Kurcaci-kurcaciku yang nakal dan jahil, apakah kalian melihat sebungkus gula yang manis dan lezat itu?”
Mereka menggelengkan kepala, “Demi topi runcing kami, kami tidak melihatnya”, senandung mereka”
“Menyebalkan! Apa jadinya kue tanpa tepung dan gula yang manis?”, Santa Klaus mengomel. Dalam hatinya, ia sebal karena hanya bisa membuat krim cokelat untuk ulang tahunnya. Ia pergi ke lemari es dan mengambil telur di sana. Tetapi ketika ia kembali ke meja, cokelatnya pun lenyap. Dengan sangat marah, ia berteriak, “Kemana perginya cokelatku?”
Sambil mengernyitkan dahi dan alisnya, ia mencari ke kolong-kolong dapurnya, juga melihat ke langit-langit. Siapa tahu barang-barang itu terbang. Namun tak ada jejak tepung, gula, ataupun cokelat di sana.
Ia kembali pergi ke rumah kurcacinya. “Kurcaci-kurcaci kecilku yang jahil. Apakah kalian melihat kepingan co…”, namun ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya.
Di hadapannya terdapat kue ulang tahun yang sangat indah. Kurcaci-kurcaci berdiri di sekeliling kue yang bersinar diterangi ratusan lilin kecil.
“Selamat ulang tahun Santa Klaus”, nyanyi para kurcaci itu dengan keras sampai memekakkan telinga.
“Oh, kalian ini. Anak-anakku yang jahil, kurcaci-kurcaciku yang manis”, Santa Klaus tergagap, wajahnya memerah karena senang, “Kalian repot-repot membuatnya. Seharusnya aku yang…”
“Anda tidak boleh masak pada hari ulang tahun, Santa Klaus. Itulah sebabnya kami menyembunyukan tepung, gula, dan cokelat”, jawab Tintinabul dan teman-temannya. “Anak-anak yang kusayangi, kalian memang benar”, Santa Klaus mengakhiri dengan air mata haru dan memeluk kurcaci-kurcacinya dengan penuh cinta
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Minggu, 24 Agustus 2014
Day 3: Gulai Katak
Suatu hari, kelinci berjalan-jalan dan melihat Rakun menangis. “Hari ini istriku berulangtahun, namun tampaknya tahun ini aku tidak bisa memasak gulai katak kesukaannya. Sudah berbulan-bulan, makhluk kecil itu lolos dari tangkapanku. Ia mengetahui semua tipu muslihatk”, Rakun mencurahkan kesedihannya pada kelinci. “Ikuti aku! Aku ada ide”, ujar kelinci “Ikuti persis yang aku katakan”.
Rakun lalu berjalan ke tepi sungai dan terhuyung-huyung, lalu jatuh. Ia tidak bergerak lagi di atas pasir. Katak-katak yang tadinya melarikan diri, berhenti dan melihat ke belakang dengan terheran-heran. “Apa yang terjadi dengan bajak laut berkaki pendek ini? Matikah ia? Atau hanya tidur seperti putri tidur”, Tanya si katak besar. “Semoga dia mati! Semoga dia mati!”, sahut katak-katak kecil sambil melompat-lompat gembira.
Tiba-tiba kelinci melompat muncul dari balik semak dan berteriak, “Celaka! Rakun mati! Malangnya keluarga rakun”
“Bahagianya keluarga katak”, nyanyi katak-katak itu serempak. “Mari kuburkan dia dalam lubang yang paling dalam agar dia sungguh tidak bisa keluar lagi”, seru kelinci. Katak-katak itu setuju dan mulai membuat lubang yang dalam. “Ide bagus! Jadi kita tidak akan lagi melihat makhluk kelaparan yang jahat dengan ekor garis-garis itu, bukan?”, sahut si katak besar.
“Apakah lubangnya sudah cukup dalam?” Tanya si katak.
“ Apakah kalian masih bisa melompat keluar?”, kelinci kembali bertanya.
“Jika kami mau, kami bisa melompat keluar”, kata katak-katak itu.
“Kalau begitu, itu belum cukup dalam. Galilah lagi”, perintah si kelinci.
Katak-katak itu kembali menggali lubang. Sejam kemudian, mereka bertanya lagi hal yang sama dan kelinci kembali bertanya “Apakah kalian masih bisa melompat keluar?”. Katak-katak itu menjawab dari dalam lubang, “Kalau kami mau, kami bisa melompat keluar”.
“Teruslah menggali. Lubang itu belum cukup dalam”, teriak si kelinci dari atas.
Mereka kembali menggali lubang dan sejam kemudian katak besar melihat pekerjanya mulai kelelahan. Maka ia berteriak memanggil kelinci, “Hai kelinci! Sudah cukup dalamkah?”. Kelinci bertanya lagi “Apakah kalian bisa melompat keluar?”
“Kami sudah menggali terlalu dalam. Sekarang kami lelah dan tidak memiliki kekuatan untuk melompat ke atas”, jawab katak besar pemimpin kelompok itu.
“Jadi kalian tidak bisa keluar lagi?”
“Nampaknya begitu”
Maka kelinci membentuk corong di mulutnya dan berteriak, “Sobat rakun! Bangunlah! Selamat makan!” dan begitulah, sekali lagi di tahun ini, ibu Rakun dapat menikmati gulai katak favoritnya di hari ulang tahunnya.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory
Ps: ga suka sama cerita ini... buat saya, ini sad ending banget... hikshikshiks
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Sabtu, 23 Agustus 2014
Day 2 : Pak Tua dan Si Cerewet
Di atas lahan tuan tanah yang kaya raya, hiduplah Pak tua yang pendiam dan istrinya yang cerewet.
Suatu hari, Pak tua menemukan kuali penuh emas di hutan, namun ia ragu untuk memberitahu istrinya, karena istrinya adalah orang yang cerewet dan senang bicara... Pak tua takut istrinya membocorkan rahasia ini kepada tuan tanah, dan tuan tanah akan menagih emas2 itu darinya...
Akhirnya pak tua punya ide! Ia menunggu hari ulang tahun istrinya, dan melaksanakan rencananya. Ia menggantungkan kue di semak2, mengikat kelinci di tengah kolam, dan memasang ikan di semak belukar. Lalu ia pergi menemui istrinya
"Selamat ulang tahun, Istriku tersayang. Aku punya kejutan untukmu. Tapi berjanjilah untuk tidak membocorkan cerita ini pada siapapun."
Si istri yang cerewet setuju. Kemudian mereka pergi ke hutan, tempat dimana Pak tua menyembunyikan emasnya. Dalam perjalanan ke hutan, si istri takjub akan pohon tempat ikan tumbuh, semak tempat kue berayun-ayun, dan kolam tempat orang memancing kelinci. Ia kagum akan semuanya itu, terlebih lagi akan emas yang disimpan suaminya.
Keesokannya, istri cerewet ini pergi mencuci baju di sungai. Ia menahan diri sebisa mungkin untuk tidak membicarakan keajaiban yang ditunjukkan suaminya, namun ia tidak tahan. Lidahnya begitu menggelitiknya dan membuatnya gatal. Akhirnya, ia menceritakannya kepada semua orang, dan akhirnya tuan tanah juga mendengar hal itu. Di malam hari, tuan tanah datang ke rumah Pak tua dan istrinya. Ia mengetuk pintu dengan keras. “Pak Tua, serahkan emas-emas itu!” Pak tua pura-pura heran. "Jangan berbohong, istrimu sudah menceritakan semuanya", kata si tuan tanah.
"Tapi anda tahu kan bahwa ia suka berbicara melantur? Ia sudah tua, pikirannya tidak waras lagi" kata Pak tua. Tuan tanah memanggil istri pak Tua dan memintanya untuk menceritakannya lagi. Dengan senang hati, istrinya bercerita. "Ceritanya panjang, tuan. Ketika kami pergi ke hutan untuk membongkar emas, kami melihat semak-semak yang penuh dengan kue, kolam memancing kelinci, dan pohon berbuah ikan." Mendengar itu, tuan tanah mengernyitkan dahi. "Apa-apaan ini?” ujarnya berang, “Baiklah pak tua. Anda memang benar. Istrimu memang suka melantur. " Tuan tanah akhirnya meninggalkan keluarga Pak tua. Pak tua berhasil menyelamatkan emasnya dan sang istri bebas berbicara, sekarang tidak ada seorangpun yang percaya kepadanya :)
#fairytale #dongeng #ceritaanak #dongengulangtahun
Label:
30 hari mendongeng,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Jumat, 22 Agustus 2014
Day1: Ulang Tahun Rusa Besar
Rusa besar berulang tahun!
Ia mengundang hewan-hewan bertanduk untuk hadir di pesta ulang tahunnya di sebuah pulau seberang. Sapi, kambing, kerbau, dan domba senang bukan kepalang. “Aku dengar Rusa sudah menyiapkan pesta dengan berbagai hidangan melimpah”, cerita sapi bersemangat. “Bahkan kokinya sudah bekerja tujuh hari tujuh malam”, sambung kerbau.
Anjing yang mendengar keriuhan itu menjauh. Ia kesal sekali tidak diundang. Akhirnya ia mencari kambing dan memaksa untuk meminjamkan tanduk untuk anjing. Kambing ragu-ragu menyerahkannya, namun akhirnya diserahkan pada anjing. Hari pesta tiba! Anjing dengan tanduk kambing di kepalanya menumpang perahu bersama para tamu undangan lain. Ia tak henti-hentinya berceloteh tentang pesta nanti. Tentu saja tidak ada satupun yang mengerti dengan gonggongannya yang sama sekali tidak mirip dengan lenguhan ataupun embikan. Kucing, yang juga ingin ikut pergi ke pesta itu, menatap perahu itu dari kejauhan dan mengeong. “Si rakus berada bersama kalian! Tinggalkan dia atau makanan kalian akan habis!”, namun perahu tetap melaju.
Apa yang dikatakan kucing tepat. Si anjing rakus dengan kalapnya memakan semua makanan-makanan yang ada. Sementara itu, si kucing masih saja mengeong di pulau seberang. Suaranya makin keras. Rusa besar si tuan rumah akhirnya memperhatikannya. Ia berkata kepada tamu-tamunya “Tenanglah sedikit. Kucing nampaknya ingin menyampaikan pesan untuk kita.” Si anjing mulai merasa bahwa keadaan ini akan berakhir buruk. Maka ia buru-buru menelan bulat-bulat kalkun panggang dan menyumpal pipinya dengan dada ayam. Ia segera melompat ke air, berenang, dan sesampainya di pantai, ia mengejar kucing. Tentu saja si kucing sudah lari terlebih dahulu. Ia lari dengan gesit dan memanjat pohon. Sejak saat itu, menurut orang-orang Karibia, anjing tidak pernah berhenti untuk mengejar setiap kucing setiap melihatnya. Begitulah awal mula permusuhan anjing dan kucing…
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng
Dikutip dari Mory, C. 30 Cerita Ulang Tahun . (2014). Jakarta: Gramedia.
Label:
30 hari mendongeng,
Cerita Anak,
Dongeng,
Dongeng Anak,
Fairy Tale
Langganan:
Postingan (Atom)