Jumat, 17 April 2015

Sepulang dari GKJ Tangerang dan Heaven...

Dua minggu berturut-turut, saya menyempatkan diri untuk melipir sejenak ke rumah duka. Bukan karena iseng belaka, tapi karena saya harus menemui teman saya dan teman pacar saya yang bobo cantik di peti. Pulang dari sana, dipastikan emosi saya terkuras habis. Bawaannya jadi ga pengen ngapa-ngapain karena perasaannya selalu ga enak. Tapi malam ini, saya memaksa diri saya untuk menulis sesuatu.

Dua kematian ini saya rasa terlalu mendadak. Tanpa ada tanda ataupun firasat yang muncul. Satu sahabat saya tiba-tiba menjadi lebih eksis di sosmed karena pergi tanpa pamit dan sakit. Beberapa bulan terakhir, saya masih bertemu dengannya. Sehat. Bawel. Berisik. Masih nebeng ruangan untuk nunggu bimbingan. Tapi seminggu yang lalu, ketika saya baru melek, saya dapat surprise karena dia pulang duluan ke rumah Tuhan. Sekian jam saya habiskan dengan guling-guling di kasur. Bolak-balik mengecek Line dan facebook untuk memastikan bahwa kabar kematiannya bukan hoax. Dan memang bukan berita iseng belaka. Kematian yang satu lagi, bukanlah orang yang saya kenal, tapi nona cantik ini adalah teman SMA dan kuliah pacar saya. Dua jam sebelum pergi, pacarnya masih mengupload fotonya di instagram dengan caption super manis. Foto yang menunjukkan bahwa ada sebuah alat terpasang di hidungnya, namun wajahnya masih cerah ceria. Siapa yang tahu kalo itu adalah foto terakhirnya saat bernafas? Gadis ini pergi bahkan ketika sang pacar belum sempat menemuinya. Mungkin terlalu rindu dan tak sabar untuk bertemu sang kekasih.

Kematian di usia muda. Akibat sakit pula. Rasanya hal ini jarang sekali muncul dalam pikiran saya. Saya yang sedang menjalani hidup ini dengan happy-happy saja. Apalagi setelah melewati pekan suci yang penuh hura-hura bersama dengan adik-adik saya. Rasanya kematian dan dukacita terasa terlalu jauh untuk dipikirkan. Tapi nyatanya saya harus merasakan gelombang emosi luar biasa karena mengalami kematian teman-teman saya yang umurnya tidak jauh berbeda dengan saya.

Dulu, saya berpikir bahwa kematian adalah milik orang-orang yang sudah lanjut. Yang sudah selesai dengan urusan dunianya. Yang sudah puas dan menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia. Nyatanya bukan itu. Kematian milik siapa saja. Milik seorang bayi mungil yang bahkan belum pernah menghirup oksigen di luar rahim ibunya. Milik kakek yang sudah puas makan asam garam dunia. Milik orang kaya yang tinggal di rumah gedong. Milik mereka yang tidur di tumpukan kardus beratap bintang dan awan. Milik perempuan. Milik laki-laki. Milik mereka yang bahkan tidak yakin atas jenis kelaminnya. Kematian menjadi milik semua makhluk yang pernah hidup. Tidak peduli ras, agama, suku, jenis kelamin.

Ketika saudari maut datang, begitu banyak alasan klise ataupun kata-kata yang seolah-olah menjadi patron yang pasti muncul. “Rencana Tuhan lebih indah”, “Tuhan lebih sayang dia daripada kita” dan kata-kata lainnya yang mungkin akan terasa basi. Sampai saat ini, otak saya masih berputar dan mencari jawaban dan alasan lain agar kata-kata ini tidak lagi menjadi kata-kata standar yang keluar begitu saja dari mulut para pelayat. Kalau boleh jujur, kematian adalah salah satu misteri yang tak pernah bisa saya jawab. Saya lebih memilih untuk menghindari urusan kematian daripada duduk diam untuk merenungkannya.

Malam ini, ketika saya duduk dan mendengarkan khotbah pendeta, saya yang jarang banget baca kitab suci ini baru tahu bahwa ada ayat alkitab yang mengatakan bahwa “Pergi ke rumah duka lebih baik daripada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (Pengkotbah 2:7) Agaknya ayat ini begitu tepat bagi orang yang selama ini hanya memikirkan kesenangan dunianya. Ketika pergi ke rumah duka, melihat seseorang yang sudah tertidur dengan pulas dan nyenyak di peti mati, pasti ada sesuatu yang menampar dan membangunkan kita yang masih bisa bernafas dan berjalan. Pulang dari rumah duka pastilah membawa perasaan yang super campur aduk, termasuk rasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bernafas dan memperbaiki hidup.

Kematian seseorang dalam agama tertentu dipercayai sebagai suatu perpindahan. Perpindahan dari dunia ini ke tempat yang lebih indah dan menyenangkan. Kematian menjadi sebuah kemenangan jaya, suatu peristiwa yang seharusnya disyukuri. Tapi pertanyaan tentang kematian lagi-lagi menghantui pikiran saya. Betulkah demikian? Betulkah jiwa-jiwa mereka sungguh berpindah? Kematian meninggalkan luka dan duka yang mendalam bagi orang-orang di sekitarnya. Kematian menjadi suatu kehilangan yang membawa ketakutan dan kekhawatiran bagi orang yang ditinggalkan. Tapi siapa yang sungguh tahu bahwa orang yang telah pergi itu benar-benar berpindah rumah? Rumah yang mana yang akan ditinggali? Tuhan yang mana yang akan ia temui? Hanya iman yang bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau kematian ternyata begitu menyenangkan bagi orang itu, mengapa kita harus menangisi kepergiannya? Bukankah harusnya kita selalu menginginkan yang terbaik bagi orang yang kita cintai? Apakah kita hanya belum dan tidak terbiasa ketika sosoknya tidak bisa lagi kita lihat dan sentuh? Kalau rasa rindu begitu menyakitkan dan tidak ada gunanya, mengapa Tuhan harus menciptakan kematian, perpisahan, dan rindu?

Kematian. Katanya bukan sebuah akhir. Tapi, bukankah setiap akhir adalah awal mula sesuatu yang baru? Bagi jiwa yang telah dipanggil, ini adalah awal mula hidup baru sebagai roh yang melayang-layang. Bagi yang ditinggalkan, ini adalah awal mula untuk membiasakan diri hidup tanpanya. Kematian. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup ini. Kapan giliran kita? Kita tak pernah tahu kan?