Sabtu, 19 Maret 2016

"Tuhan memerlukannya"

“Tuhan Memerlukannya”

Hai… setelah sekian lama ga menulis dan sekian lama menyimpan keinginan untuk menulis tentang hal ini, akhirnya keinginan dan niatnya tercapai juga. Persis satu tahun setelah inspirasi untuk menulis (tepatnya menulis kembali khotbah pastor) datang. Yep. Persis satu tahun lalu. Di hari Minggu Palma.

Satu tahun lalu, setelah adegan ‘mendadak Palma’, dimana saya terpaksa jadi misdinar salib menggantikan rekan saya yang ketiduran, saya mendapat inspirasi super bagus dari khotbah romo. Homili romo saat itu membahas tentang keledai yang ditambatkan dan akhirnya dilepaskan oleh pemiliknya setelah para murid Yesus mengeluarkan jurus sakti ‘Tuhan memerlukannya’

Kata-kata sakti ‘Tuhan memerlukannya’ mengingatkan saya akan tugas dan kewajiban saya sebagai tim pendukung (support system) seminggu berikutnya.

Sebagai bagian dari anggota misdinar, siapa yang ga akan sibuk di pekan suci mendatang? Kayanya semua yang aktif, pengurus dan pembina apalagi, akan menjalani satu minggu yang paling sibuk, cape, sekaligus minggu paling bikin kangen sepanjang tahun ya :)

Suka ngeluh cape kalo udah masuk pekan suci?
Suka marah-marah karena rasanya baru merem tapi harus langsung bangun karena ada tugas di misa berikutnya?
Suka kesel karena latihan terus menerus?

Coba ingat, “Tuhan memerlukannya”
Iya
Tuhan memerlukan kamu
Tuhan membutuhkan tenaga kamu untuk melayani Dia dan umatNya
Tuhan menginginkan kamu membantu umat untuk menghayati misteri sengsara, wafat, dan kebangkitanNya.

Tuhan mampu membuat segala perayaan menjadi sangat megah dan agung,
tapi Tuhanmu yang maha kuasa dan maha ajaib itu butuh KAMU!
Tuhan membutuhkan kamu yang lemah dan ga ada apa-apanya.
Kamu yang suka berbuat dosa,
Kamu yang sering kena omel sama pembina karena bengong saat latihan
Kamu yang bolos latihan dengan alasan masih banyak tugas sekolah
Tuhan butuh KAMU!

Apakah kamu masih mau mengeluh?
Yakin?

TUHAN MEMERLUKAN KAMU :)

Selamat memersiapkan pekan suci!
Jangan malas latihan ya!

Kamis, 25 Februari 2016

Melukis Rindu

Kutorehkan warna merah di atas kanvasku,
namun rinduku tak semarah itu.
Ia mengintip malu-malu di sudut hati,
ketika ku baca lagi barisan pesan darimu.

Kutumpahkan tinta biru,
namun rinduku tak sesendu itu.
Meski ia menatap dalam bisu
ketika jemariku bertemu dengan garis wajahmu di selembar kertas.

Kulukiskan cat hijau,
namun rinduku tak segalau itu.
Meski perasaanku kerap tak tentu
ketika memori tentang kita menari dalam pikiranku

Rinduku tak sekelabu abu-abu atau ungu
Juga tak putih dan tertatih
Rinduku tak sekelam warna hitam,
namun ia pekat seperti cokelat hangat

Ia terlukis samar di dasar hatiku
Menghias langkah dengan lincah melawan detik dan menit
Ia mencari warna tepat untuk bersolek
namun rinduku tak pernah berwujud juga berwarna
Kubiarkan ia mengambang dan kusimpan di kotak ujung lorong
Sampai nanti kutemukan lagi dirimu
Meski dalam mimpi

Minggu, 29 November 2015

Sebuah perjalanan

Apa yang membuat suatu kepanitiaan atau kepengurusan menjadi erat dan solid?

Buat saya, salah satu alasannya adalah rasa memiliki.

Apa maksudnya?
Berdasarkan pengalaman saya, menjadi anggota panitia ataupun pengurus suatu organisasi adalah hal yang mudah. Menjadi sulit ketika kita merasa tidak nyaman dan ingin keluar. Saya sendiri, sudah berapa kali keluar masuk organisasi tertentu. Yang terakhir saya tinggalkan ini karena saya sudah sangat tidak nyaman, walaupun sampai saat ini move on aja belom. wkwkwk.

Buat saya, menjadi pengurus atau panitia berarti saya menjadikan mereka salah satu prioritas hidup saya. Sesibuk apapun saya dengan tugas kuliah atau tugas kepanitiaan lainnya, si organisasi/panitia ini akan tetap ada dalam skala saya. Saya akan menyapa mereka walaupun kadang jadi basa-basi ga penting atau cuma ngobrol bego dan kirim-kiriman stiker LINE. Karena sebenarnya, ketika saya mengobrol dengan mereka, ada rasa nyaman yang saya temukan. Tugas-tugas organisasi memang melelahkan, tapi ketika kamu menemukan orang-orang yang nyambung dan menyahut obrolan kamu, terkadang rasa lelah malah hilang dan kamu malah menemukan semangat untuk bekerja lagi setelah ngobrol. Paling enggak, itu yang saya rasakan sama 'keluarga' saya sekarang ini. Ketika kamu berhubungan dengan orang-orang ini, secara langsung kamu menciptakan koneksi tidak terlihat. Kamu menciptakan kenyamanan kamu. Menciptakan sebuah rumah dengan sofa empuk dan teh manis hangat karena kamu punya teman-teman yang manis dan menyenangkan, dengan cara mereka masing-masing.

Perjalanan suatu organisasi kadang memang tak sampai ke ujung. Karena kita ga pernah tau dimana ujungnya, mari menikmati perjalanan itu.

Di awal pertemuan, mungkin kita tidak mengenal satu sama lain. Atas suratan takdir, maka kita duduk bersama di sebuah rapat pleno perdana. Saya dari seksi A, kamu dari seksi B, si Anu korbid seksi D. Kita semua berbeda, tapi kita semua punya satu misi. Menjalankan kapal besar kita mencapai pelabuhan dengan selamat sentosa. Berada dalam satu kapal dengan orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang lama membuat kita semua saling mengenal satu sama lain. Oh, si A ternyata orangnya baperan. Si B ternyata jago main gitar. Si C ternyata jago masak masakan Itali. Darimana kita semua punya kemampuan untuk mengenal ciptaan Tuhan yang lain? Dari mulut yang bersedia untuk bertanya dan berdiskusi. Dari otak yang memberikan perintah untuk membuka percakapan. Dari takdir manusia sebagai mahkhluk sosial.


Seiring waktu berjalan, saya yang tadinya ga peduli kamumaungapainajaterserahdeh, menjadi lebih peka satu sama lain. Kenapa? Karena saya merasa bahwa kamu adalah keluarga saya. Kita adalah anggota tubuh dalam badan yang sama. Kalau kamu terluka, sekecil apapun, saya juga merasakan sakit yang sama. Semuanya juga begitu. Semuanya akan merasa tidak nyaman karena sebuah luka kecil, bahkan di anggota tubuh terkecil sekalipun. Kenapa begitu? Karena kita semua menjadi keluarga utuh. Kalau luka kecil saja membuat tidak nyaman, apalagi sebuah kehilangan besar yang membuat anggota tubuhmu menghilang? Betapa perih dan betap kita pincang tanpa kamu bersama dengan kita.


Rasa memiliki yang tadinya nol besar sekarang jadi sangat besar. Bahwa kita adalah satu tubuh. Satu tujuan mencapai tujuan suatu organisasi atau kepengurusan. Bahwa sekedar makan bersama, chatting setiap malam, perang sticker, jalan bareng, cari dana, ngatain orang lain, ngobrol bisik-bisik setiap rapat adalah suatu perekat yang membuat kita ga bisa terpisah. Bahwa kebodohan-kebodohan yang kita jalani bersama adalah sebuah pupuk alami yang menumbuhkan akar kekeluargaan yang begitu kokoh dan kuat. Bahwa setiap hari yang serasa sia-sia dilewatkan karena hanya membahas satu masalah yang itu-itu aja ternyata menjadi cincin pengikat kita semua.



Saya ga pernah sekalipun membayangkan suatu organisasi yang di dalamnya hanya menjadi tempat orang-orang mencari sesuatu. lalu, karena tidak mendapatkan sesuatu itu, maka dia akan pergi diam-diam atau terang-terangan malah. Berapa lama organisasi itu akan bertahan? Sebuah organisasi yang katanya keluarga, tapi ga mempedulikan bahwa si tangan sedang sakit atau si perut sedang kelaparan. Berapa lama tubuh itu akan segera mati?




Ps: obrolan malam ini, membuat saya bersyukuuuuuurr sekali dulu punya pengurus super baik hati dan kaya malaikat (walaupun ujung2nya banyak yang nusuk dari belakang sih). Padahal milih mereka juga capcipcup doang. what a lucky girl :p Terima kasih ya kalian berenam! :*

Jumat, 17 April 2015

Sepulang dari GKJ Tangerang dan Heaven...

Dua minggu berturut-turut, saya menyempatkan diri untuk melipir sejenak ke rumah duka. Bukan karena iseng belaka, tapi karena saya harus menemui teman saya dan teman pacar saya yang bobo cantik di peti. Pulang dari sana, dipastikan emosi saya terkuras habis. Bawaannya jadi ga pengen ngapa-ngapain karena perasaannya selalu ga enak. Tapi malam ini, saya memaksa diri saya untuk menulis sesuatu.

Dua kematian ini saya rasa terlalu mendadak. Tanpa ada tanda ataupun firasat yang muncul. Satu sahabat saya tiba-tiba menjadi lebih eksis di sosmed karena pergi tanpa pamit dan sakit. Beberapa bulan terakhir, saya masih bertemu dengannya. Sehat. Bawel. Berisik. Masih nebeng ruangan untuk nunggu bimbingan. Tapi seminggu yang lalu, ketika saya baru melek, saya dapat surprise karena dia pulang duluan ke rumah Tuhan. Sekian jam saya habiskan dengan guling-guling di kasur. Bolak-balik mengecek Line dan facebook untuk memastikan bahwa kabar kematiannya bukan hoax. Dan memang bukan berita iseng belaka. Kematian yang satu lagi, bukanlah orang yang saya kenal, tapi nona cantik ini adalah teman SMA dan kuliah pacar saya. Dua jam sebelum pergi, pacarnya masih mengupload fotonya di instagram dengan caption super manis. Foto yang menunjukkan bahwa ada sebuah alat terpasang di hidungnya, namun wajahnya masih cerah ceria. Siapa yang tahu kalo itu adalah foto terakhirnya saat bernafas? Gadis ini pergi bahkan ketika sang pacar belum sempat menemuinya. Mungkin terlalu rindu dan tak sabar untuk bertemu sang kekasih.

Kematian di usia muda. Akibat sakit pula. Rasanya hal ini jarang sekali muncul dalam pikiran saya. Saya yang sedang menjalani hidup ini dengan happy-happy saja. Apalagi setelah melewati pekan suci yang penuh hura-hura bersama dengan adik-adik saya. Rasanya kematian dan dukacita terasa terlalu jauh untuk dipikirkan. Tapi nyatanya saya harus merasakan gelombang emosi luar biasa karena mengalami kematian teman-teman saya yang umurnya tidak jauh berbeda dengan saya.

Dulu, saya berpikir bahwa kematian adalah milik orang-orang yang sudah lanjut. Yang sudah selesai dengan urusan dunianya. Yang sudah puas dan menyelesaikan tugas-tugasnya di dunia. Nyatanya bukan itu. Kematian milik siapa saja. Milik seorang bayi mungil yang bahkan belum pernah menghirup oksigen di luar rahim ibunya. Milik kakek yang sudah puas makan asam garam dunia. Milik orang kaya yang tinggal di rumah gedong. Milik mereka yang tidur di tumpukan kardus beratap bintang dan awan. Milik perempuan. Milik laki-laki. Milik mereka yang bahkan tidak yakin atas jenis kelaminnya. Kematian menjadi milik semua makhluk yang pernah hidup. Tidak peduli ras, agama, suku, jenis kelamin.

Ketika saudari maut datang, begitu banyak alasan klise ataupun kata-kata yang seolah-olah menjadi patron yang pasti muncul. “Rencana Tuhan lebih indah”, “Tuhan lebih sayang dia daripada kita” dan kata-kata lainnya yang mungkin akan terasa basi. Sampai saat ini, otak saya masih berputar dan mencari jawaban dan alasan lain agar kata-kata ini tidak lagi menjadi kata-kata standar yang keluar begitu saja dari mulut para pelayat. Kalau boleh jujur, kematian adalah salah satu misteri yang tak pernah bisa saya jawab. Saya lebih memilih untuk menghindari urusan kematian daripada duduk diam untuk merenungkannya.

Malam ini, ketika saya duduk dan mendengarkan khotbah pendeta, saya yang jarang banget baca kitab suci ini baru tahu bahwa ada ayat alkitab yang mengatakan bahwa “Pergi ke rumah duka lebih baik daripada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya” (Pengkotbah 2:7) Agaknya ayat ini begitu tepat bagi orang yang selama ini hanya memikirkan kesenangan dunianya. Ketika pergi ke rumah duka, melihat seseorang yang sudah tertidur dengan pulas dan nyenyak di peti mati, pasti ada sesuatu yang menampar dan membangunkan kita yang masih bisa bernafas dan berjalan. Pulang dari rumah duka pastilah membawa perasaan yang super campur aduk, termasuk rasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk bernafas dan memperbaiki hidup.

Kematian seseorang dalam agama tertentu dipercayai sebagai suatu perpindahan. Perpindahan dari dunia ini ke tempat yang lebih indah dan menyenangkan. Kematian menjadi sebuah kemenangan jaya, suatu peristiwa yang seharusnya disyukuri. Tapi pertanyaan tentang kematian lagi-lagi menghantui pikiran saya. Betulkah demikian? Betulkah jiwa-jiwa mereka sungguh berpindah? Kematian meninggalkan luka dan duka yang mendalam bagi orang-orang di sekitarnya. Kematian menjadi suatu kehilangan yang membawa ketakutan dan kekhawatiran bagi orang yang ditinggalkan. Tapi siapa yang sungguh tahu bahwa orang yang telah pergi itu benar-benar berpindah rumah? Rumah yang mana yang akan ditinggali? Tuhan yang mana yang akan ia temui? Hanya iman yang bisa menjawab pertanyaan ini. Kalau kematian ternyata begitu menyenangkan bagi orang itu, mengapa kita harus menangisi kepergiannya? Bukankah harusnya kita selalu menginginkan yang terbaik bagi orang yang kita cintai? Apakah kita hanya belum dan tidak terbiasa ketika sosoknya tidak bisa lagi kita lihat dan sentuh? Kalau rasa rindu begitu menyakitkan dan tidak ada gunanya, mengapa Tuhan harus menciptakan kematian, perpisahan, dan rindu?

Kematian. Katanya bukan sebuah akhir. Tapi, bukankah setiap akhir adalah awal mula sesuatu yang baru? Bagi jiwa yang telah dipanggil, ini adalah awal mula hidup baru sebagai roh yang melayang-layang. Bagi yang ditinggalkan, ini adalah awal mula untuk membiasakan diri hidup tanpanya. Kematian. Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup ini. Kapan giliran kita? Kita tak pernah tahu kan?

Kamis, 13 November 2014

Tiga perempat jalan

Kali kedua menjadi asisten dosen di mata kuliah kesayangan,
diawali dengan sejuta harapan yang melambung tinggi...
Yah, namanya harapan mah... siapa juga boleh punya ya...


Pertemuan pertama,
ditakuti dengan jumlah mahasiswa yang hampir dua kali lipat dari jumlah sebelumnya...
Takut? IYA!!!!
Ga kenal dosennya pula...sementara dosen seksi lain malah lebih dulu kenal sama saya.... Saya ga kenal sama sekali sama dosen saya.

Pertemuan kedua, ketiga, keempat, sampai pertemuan siang tadi,
begitu banyak waktu terlewatkan...
Menghabiskan setiap Kamis dengan berjibaku melawan rasa malas dan enggan belajar.
Kalo saya saja malas, apalagi anak-anak? Maka saya rajin mengerjakan printilan dengan niat dan harapan bahwa semua akan membantu anak-anak, jauuuuh jauhhhh hari sebelum Kamis datang lagi.

Deg-degan setiap jam 9 dan anak-anak belum lengkap.
Sebel kalo alat tes berantakan...
Kesel kalo perform ga bagus...tugas ga dikumpul...
Kadang saya bertanya dalam diri, apakah cara saya dan tim salah? Atau materi yang terlalu berat? Atau apa yang sebenarnya menghambat pembelajaran di kelas?
Semua kekesalan itu kadang terhapus oleh tingkah konyol dan bodoh yang masuk akal (bawa ular itu GA MASUK AKAL SIH!) atau dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang..duuhhh...ini loh yang saya mau... kelas yang aktif bertanya, belajar, ingin tahu... :') atau dengan membaiknya performa di minggu depan.
Hal-hal yang mungkin menurut mereka tidak terlalu berarti, tapi sungguh berarti buat saya. Entah menggores sakit hati atau mengukir senyum


Tiga perempat jalan sudah dilewati...
susah, senang, ketawa, sebel, nangis, gondok, ngomel, udah bosen dikeluarin selama hampir satu semester berjalan.

Ga ada maksud membandingkan dengan kelas lalu...
tapi namanya orang punya pengalaman, bawaannya pasti membandingkan... apalagi sama masa lalu...
namanya manusia...kadang susah move on...


Semoga di akhir perjalanan nanti, saya punya kesempatan untuk menulis lebih banyak tentang kelas yang istimewa ini.
Semoga ^^

Jumat, 12 September 2014

Day 22: Ayah Kelinci dan Ulang Tahun Putra-Putranya



“Jadi, apa yang kalian inginkan untuk hadiah ulang tahun kalian? Kelereng, permen, atau bola?” tanya Ayah Kelinci pada ketiga putranya. Ketiganya menggeleng serempak. “Pedang kayu atau baju bajak laut atau layang-layang?” Ketiga anak kelinci itu masih menggelengkan kepalanya, lalu menjawab serentak, “Kami ingin makan daging gajah atau ikan paus”

“Apa?” ayah kelinci membelalakkan matanya terkejut. Ketiga kelinci itu tertawa lebar, “Iya! Ayah tidak salah dengar! Satu-satunya hadiah yang kami inginkan adalah makan gajah atau ikan paus. Menurut Ayah, apakah Ayah bisa mendapatkannya?”

Ayah kelinci diam sejenak. “Tentu saja!” jawabnya tergagap. “Ti..tidak ada yang tidak mungkin bagi Ayah! Kalian tentu tahu itu bukan?”

Ayah kelinci lalu keluar rumah sambil menggerutu. Huh! Gajah atau ikan paus! Keduanya adalah binatang paling besar di dunia. Bagaimana mungkin ia bisa menangkapnya. Dia tidak sekuat itu. Ayah kelinci memutar otaknya dan akhirnya ia hanya menemukan satu cara untuk mendapatkan hadiah untuk anak-anaknya. Dengan tipu muslihat! Dengan membawa rantai panjang yang sangat kuat, ia pergi menemui Gajah.

“Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Ikan Paus membual kepada semua orang yang mau mendengarnya bahwa ia lebih kuat dari padamu,” bisik Ayah Kelinci dengan hati-hati. Mendengar bisikan itu, marahlah Gajah, “Benarkah? Kalau begitu, usahakanlah agar kami berdua bisa membandingkan kekuatan kami. Biar nanti kelihatan siapa di antara kami yang lebih kuat!”

“Justru itu, aku akan memberi kepada kalian masing-masing salah satu ujung rantai yang kuat ini. Begitu aku memberi tanda, kalian akan mulai saling menarik sekuat tenaga dan kita akan melihat siapa di antara kalian yang lebih kuat!” lanjut Kelinci.

Gajah pun menerima tantangan itu dan meraih rantai itu dengan belalainya. Kelinci cerdik itu segera berlari ke tepian laut dan berkata kepada Ikan Paus dengan nada marah, “Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Gajah membual kepada semua orang yang mau mendengarkannya bahwa ia lebih kuat darimu.”

“Benarkah? Biarlah dia datang beradu denganku! Aku akan melawannya dengan sungguh-sungguh!” Ikan Paus meludah sambil tersinggung.

“Saat ini ia bahkan sudah memegang ujung rantai ini dan menunggumu untuk melakukan hal yang sama untuk melihat siapa yang lebih kuat,” lanjut Kelinci memanas-manasi. Dengan segera Ikan Paus merebut rantai itu dari tangan Kelinci dan mengikatkannya di sekeliling ekornya.

Ayah kelinci memberikan tanda bahwa pertandingan akan segera dimulai. Setelah itu, ia duduk dengan tenang di rumput sambil menunggu keberhasilan tipu muslihatnya. Kedua binatang itu tarik-menarik sekuat tenaga.

Setelah satu jam berlalu, ternyata Gajah lebih kuat. Ia berhasil mengeluarkan Ikan Paus dari air dan menariknya sampai ke hutan kecil dekat laut. Ikan Paus pun mati karena tidak ada air dan tidak dapat bernafas. Ayah kelinci yang mengetahui hal ini langsung berlari menghampiri Gajah, “Bravo Gajah! Kamu memang binatang terkuat di dunia! Kamu pantas menang melawan Ikan Paus!” Lalu dengan cekatan, Ayah Kelinci segera membuka ikatan rantai dan memanggil ketiga putranya. “Anak-anak! Selamat ulang tahun! Hadiah kalian sudah datang! Hari ini kita makan daging ikan paus!”

Tentu saja daging ikan Paus terlalu besar untuk mereka sekeluarga. Akhirnya mereka mengundang semua binatang di hutan dan bersantap bersama merayakan ulang tahun tiga anak kelinci itu.


#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Kamis, 11 September 2014

Day 21: Tiga Puluh Ribu Malam


Dahulu kala di Jepang, tinggalah seorang laki-laki tua dan seorang perempuan tua bernama Kino dan Kaede. Keduanya telah menikah puluhan tahun dan tetap saling mencintai dengan penuh kasih sayang.

Setiap malam tiba, mereka duduk bersama dan mengingat kembali kenangan-kenangan masa lalu yang dipenuhi gelak tawa dan belaian. Hanya satu hal yang mereka hindari, yaitu membicarakan hilangnya anak mereka, Bulan Mei, yang hidupnya berakhir dua minggu setelah kelahirannya. Sejak kehilangan itu, Kaede hanya hidup untuk Kino dan Kino hanya hidup untuk Kaede

Suatu malam, ketika sedang memandang bulan purnama, sebuah bintang jatuh di kaki mereka. Karena silau, mereka menutup mata dan ketika mereka membukanya kembali, mereka melihat seorang perempuan mungil yang berkilauan.

“Saya adalah peri cinta,” katanya, “Sudah tiga puluh ribu malam saya mengamati kalian berdua. Cinta kalian tak pernah sirna sedikitpun. Itulah sebabnya saya ingin memberikan penghargaan kepada kalian. Ucapkanlah sebuah permintaan dan saya akan mengabulkannya”

Kedua insan tua itu saling memandang dengan ekspresi terkejut. “Kamu pasti punya ide yang sama denganku,” gumam Kino kepada Kaede dengan mesra. “Tentu saja,” sahut Kaede. Mereka membuka mulut dengan serentak. Namun ternyata permintaan mereka sangat berbeda.

“Saya ingin kembali menjadi muda,” kata Kino dengan tegas.

“Saya ingin menemukan kembali Bulan Mei kecilku,” kata Kaede.

Mereka tercengang dengan permintaan mereka yang tidak sama. “Menemukan Bulan Mei adalah hal yang mustahil! Kita sudah terlalu tua untuk mengurus bayi,” Kino berseru.

“Biarkan saja! Aku ingin memeluknya!” kata Kaede antusias.

“Coba pikir, jika kita muda kembali, kita bisa mendapatkan bayi-bayi lainnya!”ucap Kino mulai naik darah.

“Tidak mau! Aku hanya mau Bulan Mei!” teriak Kaede balas membentak.

Itulah pertama kalinya mereka bertengkar. Sang peri cinta akhirnya tak tahan dan menegur mereka. Mendengar teguran sang Peri, mereka menghentikan perdebatan mereka. “Maafkan aku, Kaede. Tidak semestinya aku naik darah. Biarlah keinginanmu yang terkabulkan,” kata Kino memohon dengan malu.

“Tidak. Akulah yang harus meminta maaf. Ayo kita pilih keinginanmu,” jawab Kaede. Akhirnya sang peri mengundi dan keinginan Kinolah yang menang. “Kalian masing-masing pergilah ke tepi danau yang berada di bawah gunung. Setiap teguk yang kalian minum akan membuat kalian bertambah muda sepuluh tahun,” kata peri itu menjelaskan. Tak lama kemudian, peri itu menghilang.

Ketika pagi tiba, Kino dan Kaede bangun dan segera berjalan menuju danau dengan bertumpu dengan tongkat mereka. Mereka saling membantu selama perjalanan itu. Beberapa jam sesudahnya, mereka berpisah di tepi danau yang terpisahkan oleh ilalang.

Kaede melihat sebuah siluet mendekatinya sambil menari-nari. Ia tertawa. Itulah pemuda tampan yang telah membuatnya jatuh cinta sejak bertahun-tahun yang lalu. Kaede lalu segera meminum air danau itu, karena ia tahu bahwa Kino pasti menantinya.

Namun sampai malam tiba, Kaede tidak kembali. Kino mencarinya. Ia berlari mengitari danau dan mencari Kaede. Tak ada orang. Yang ada hanya teriakan lirih dari balik alang-alang. Dia menyibakkannya dan terlihat seorang bayi cantik dan masih merah menangis.

“Bulan Mei! Tapi bukan! Itu bukan kamu… Kamu pasti… Kaede!” seru Kino dengan terheran-heran. Ternyata Kaede telah minum dua teguk lebih banyak daripada Kino dan menjadi bayi. Kino menggendongnya.

“Yang kugendong saat ini adalah Kaede, namun aku merasa seakan-akan menemukan kembali Bulan Mei kecilku. Jadi Kaede, kamu berhasil: kedua keinginan kita terwujud sekaligus. Itu kan, yang kau inginkan, Gadis Kecilku?”

Ajaib. Seakan mengerti, bayi kecil itu tersenyum sambil berceloteh dengan riang.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory