Jumat, 24 Februari 2012

Realisasi Pancasila abad 21

Dua bulan ini, saya menghabiskan waktu setiap Selasa dan Jumat, mulai jam 2 siang sampai 100 menit berikutnya di BKS 107. Bukan tanpa maksud tentu saja. Saya kembali mengulang materi Pancasila yang saya yakini sudah khatam karena bergulat dengan mata pelajaran Kewarganegaraan selama 12 tahun masa sekolah saya. Namun, semakin saya dewasa, saya belajar bahwa prinsip-prinsip Pancasila yang selama ini diagung-agungkan masyarakat Indonesia sudah mulai dilupakan dan melenceng jauh. Dan sebenarnya perlukah Pancasila berubah mengikuti masyarakat? Pancasila memang sudah cukup uzur… seumur dengan bangsa Indonesia yang sudah 66 tahun… Usianya ini membuat Pancasila dipertanyakan… masih relevankah dengan keadaan Indonesia sekarang? Pancasila dulunya dipercaya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Pancasila dulunya dibentuk di tengah perdebatan antar pucuk pimpinan Indonesia, namun sekarang pancasila justru menjadi sumber perdebatan untuk sebagian masyarakat Indonesia. Pancasila justru tenggelam dalam carut marut kehidupan bangsa Indonesia, padahal seharusnya Pancasila mampu jadi sekoci bagi kerusakan moral bangsa. Well, saya akan membahas Pancasila dan realisasinya satu per satu dari sudut pandang saya… Sekali lagi, kalau ada yang tidak setuju, saya tidak akan mengajak debat kok… Ini hanya opini :D


Sila pertama… “KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Buat saya, sila ini sudah dilupakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hmmm… Sila ini mengingatkan bahwa Tuhan itu satu… Esa… Para pemimpin di Indonesia rupanya sudah menyadari sedari dulu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis… yang punya segudang perbedaan… dari sudut pandang, suku, sampai agama. Pemikiran ini yang membuat mereka akhirnya membuat satu pegangan dasar… “Tuhan itu esa… satu… bagaimanapun kamu beribadah… apapun agama kamu… semuanya akan sampai pada satu Tuhan…”. Sayangnya, di Indonesia, hal seperti ini seperti dilupakan. Mereka seakan membuat sila pertama ini menjadi alasan mereka untuk memasukkan orang lain ke agama tertentu dan menganggap agama lain itu adalah murtad. Cukup banyak kasus-kasus agama di Indonesia yang mencuat… seperti kasus GKI Yasmin dan kasus-kasus lain yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah. Orang-orang ribut ‘mempertobatkan’ orang lain agar masuk satu agama. Seperti inikah fungsi sila pertama di Pancasila sekarang? Seperti inikah masyarakat Indonesia memandang Pancasila?


Berlanjut ke sila kedua… “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB” Yap… katanya prinsip kemanusiaan yang adil ini dipegang dan dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia. Anggota DPR/MPR itu juga masyarakat Indonesia kan ya? Kalo iya, mengapa sampai sekarang mereka masih saja ribut masalah kenyamanan tempat rapat mereka, sementara di luar sana ada beribu masyarakat Indonesia yang belum bisa makan sekali sehari? Anggota DPR/MPR itu sama-sama mempelajari Pancasila seperti saya, kan? Dan di DPR ada burung garuda besar yang mengingatkan mereka akan Pancasila, kan? Lalu di mana letak hati nurani mereka… di mana letak keberadaban mereka…? Di mana letak kemanusiaan mereka?


Sila ketiga berbunyi “PERSATUAN INDONESIA”. Saya memandang sila ketiga ini sebagai harapan dari para pemimpin bangsa pada umumnya. Mereka berharap bahwa Indonesia yang punya puluhan ribu pulau, beratus-ratus suku, bermacam-macam bahasa daerah, beragam agama, berbeda sudut pandang bisa saling menerima tanpa harus menimbulkan perdebatan berarti. Tapi sekarang, kita semua bisa melihat bahwa beberapa masyarakat Indonesia terganggu dengan adanya perbedaan. Mereka mengharapkan semua sama… Tapi darimana Indonesia bisa dibilang indah kalau semua halnya sama? Bukankah pelangi justru terlihat lebih indah karena ada penggabungan warna-warna? Bukankah lukisan lebih artistic karena ada beberapa warna dan bentuk yang mau saling mengalah agar kesatuan holistic mereka tetap cantik dipandang mata?


“KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN” menjadi kalimat yang dipilih menjadi sila keempat dalam Pancasila. Well, saya sebenarnya tidak terlalu mampu membahas materi-materi yang berkaitan dengan hukum dan sejenisnya. Buat saya, urusan politik ini bukan bidang saya, tapi saya akan berusaha untuk membahas masalah demokrasi di Indonesia… berkaitan dengan permusyawaratan perwakilan ini… Demokrasi sekarang seringkali diplesetkan jadi democrazy. Yaaa… bagaimana tidak… prinsip utama bahwa wakil-wakil rakyat yang seharusnya benar-benar menjadi perwakilan rakyat seakan melupakan bahwa mereka dulunya juga orang biasa yang dipilih oleh rakyat. Seperti Malin Kundang lupa dengan ibunya, seperti itulah para wakil rakyat mulai lupa dengan para pemilihnya. Mereka tidak peduli dengan naiknya BBM, toh uang mereka tetap cukup untuk membeli BBM dan makan mewah 3 kali sehari. Banyak yang mulai tidak percaya dengan kepemimpinan pemimpinnya… tapi, apakah mereka sendiri mampu untuk mengurus negeri yang jumlah rakyatnya sudah lebih dari 200 juta ini? Saya pikir belum. Kata-kata kebijaksanan di sila ini rupanya sering dilupakan oleh pemimpin di Indonesia. Pemimpin yang saya maksudkan di sini bukan hanya pemimpin Negara, tetapi juga pemimpin dalam lingkup yang lebih kecil. Pemimpin kelas, kelompok, organisasi, kepala departemen, mereka semua adalah pemimpin kan? Kebijaksanaan ini seakan dilupakan. Mereka lupa berkaca pada Salomo yang justru meminta kebijaksanaan dibandingkan umur panjang dan kekayaan. Bijak itu penting bagi para pemimpin… dan bijak itu dilupakan… Miris memang…


Sila kelima… “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”. Lagi-lagi adil dibahas di sini. Mari kita berkaca kepada Indonesia yang mengungkapkan dua kali kata “adil” di Pancasilanya. Anak kecil yang mencuri sandal diberi hukuman sama beratnya dengan koruptor yang mencuri uang Negara bermilyar-milyar rupiah. Pejabat Negara masih bisa punya kolam bola untuk anaknya yang mengunjunginya sedangkan narapidana lain harus memikirkan tempat mereka buang hajat. Anak-anak HIV AIDS ditolak di sekolah karena takut menular. Keturunan Tionghoa kesulitan masuk sekolah negeri dan mengurus ini itu yang berkaitan dengan pemerintahan. Pembangunan rumah ibadah dipersulit, tidak diberi IMB, dan kemudian dituntut untuk dirubuhkan. Alam Indonesia Timur yang kaya raya dirampok terus menerus oleh sesama rakyat Indonesia tanpa diberikan timbal balik yang sesuai. Itulah Indonesia. Dengan dua kata adil dalam rumusan pancasila… Adil bukan hanya masalah hukum… tapi masalah penerimaan hak dan pelaksanaan kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak peduli suku, agama, tempat tinggal, dan lain-lain.


Yah… begitulah saya ingin melihat ideologi Pancasila dengan realitas yang ada di Indonesia sekarang. Pancasila rupanya lupa untuk menjadi sekoci. Burung Garudanya rupanya tidak lagi gagah berdiri merangkul kelima lambang Pancasila. Masyarakat Indonesia rupanya lupa dengan prinsip-prinsip yang seharusnya masih mengalir dalam darahnya. Sampai dengan saat ini, saya mempertanyakan kembali, apakah pelajaran Kewarganegaraan yang diterima oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia ketika sekolah masih berguna? Kapitalisme dan globalisasi sekarang rupanya lebih kuat berakar dalam diri masyarakat Indonesia dibandingkan Pancasila. Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk membendung arus kekuatan globalisasi dan tetap bertahan dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepertinya lebih senang dianggap orang modern dibanding dengan orang Indonesia asli. Jadi, apakah Pancasila masih perlu? Atau harus dilakukan revisi kembali? Mari berkaca dalam diri kita masing-masing.