Selasa, 09 September 2014

Day 19: Gunung Emas dan Perak


Dahulu kala, di suatu tempat terpencil di daratan Cina, tinggallah dua kakak beradik. Yang sulung begitu kaya dan begitu kikir. Ia sampai tidur seperti anjing penjaga di pintu rumahnya agar tidak ada pencuri yang masuk. Sementara itu, si bungsu Tang, begitu miskin namun sangat pemurah. Saku-sakunya selalu kosong, walaupun baru saja diisi.

Suatu hari, Tang menemui kakaknya dan berkata kepadanya, “Kakakku, hari ini ulang tahunku. Aku tidak punya sebutir beras pun di mangkukku. Selain itu, aku tidak punya mangkuk lagi untuk diletakkan di atas meja, juga tidak punya meja untuk menghias rumahku. Bahkan aku tidak punya rumah. Dapatkah kamu membantuku?”

Si kakak mengulurkan segenggam beras. “Tanamlah beras ini. Ini akan menjadi awal keberuntunganmu,” katanya kepada Tang. Tang tidak menyadari lelucon itu. Ia justru mengucapkan terima kasih kepada kakaknya dan pergi ke ladang untuk menyebar beras itu. Ia menunggu, dan menunggu, dan hanya sebatang kecil berwarna hijau muncul secara ajaib dari tanah. Tang senang sekali. Ia merawat tanaman itu dengan sukacita. Ia menjaganya, menyingkirkan rumput-rumput liar, dan mengusir ulat-ulat.

Batang kecil itu tumbuh dengan cepat dan akhirnya berkembang menjadi pohon yang cabang-cabangnya begitu besar dan panjang sehingga mampu menaungi seluruh ladang Tang. Butir-butir padi sebesar bulir jagung menggantung di cabang-cabangnya. Ketika waktu panen tiba, pemuda itu mengambil kapak dan merobohkan pohon ajaib itu. Tepat ketika pohon tersebut menyentuh tanah, seekor burung raksasa berbulu warna-warni keluar dari antara pepohonan.

Burung itu mencengkeram batang pohon itu dengan cakar-cakarnya dan terbang. Tang yang marah karena hasil tuaiannya diambil, meraih sebuah cabang terdekat dan mendapati dirinya bergantung antara langit dan bumi. Ketika si burung melihat bahwa Tang bergelayut di sana dan tidak mau menlepaskannya, ia segera mendarat di atas pasir pantai dan berkata, “Berikanlah pohon ini kepadaku, aku akan membawamu ke gunung yang batu-batunya terbuat dari emas dan perak.”

“Baiklah, ayo kita pergi,” jawab Tang. Burung itu mengantarnya ke sebuah pulau bergunung yang berkilauan. “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati,” pesan si burung.

Tang memandang sekelilingnya, mengambil segumpal emas dan berkata, “Aku sudah selesai. Ayo kita pergi.” Burung itu heran melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tamak. Tanpa berkata apa-apa, ia mengantarkan Tang ke rumahnya.

Pada hari-hari berikutnya, Tang membeli sebuah rumah yang kokoh, menempatkan meja di dalamnya, meletakkan mangkuk-mangkuk baru di atas meja tersebut, mengisi lumbung padinya, dan ia mengundang kakaknya untuk makan malam. Ia menceritakan pengalamannya yang ajaib.

Penuh dengan rasa iri, sang kakak memutuskan untuk berbuat sama seperti yang dilakukan Tang. Ia menyebarkan beras yang sudah ia masak, menjaga satu-satu batangnya, merobohkan pohon, dan membiarkan dirinya dibawa oleh burung ke gunung emas dan perak itu. Burung itu memberi pesan yang sama, “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati.”

Ketika burung itu kembali mengingatkan waktu, si sulung menjawab, “Kita masih punya waktu.” Ia masih sibuk mengisi kantung-kantungnya dengan bongkahan emas yang besar. “Ayo pergi sekarang! Aku melihat matahari kembali!” seru si burung.

“Aku hampir selesai. Sebentar lagi,” kata si Sulung sambil mengisi bajunya. Namun, ia telah menjadi begitu berat sehingga tidak bisa berjalan lagi. Sebelum ia sempat menyusul burung itu, Matahari muncul dan membakar dirinya menjadi abu. Kekayaan si sulung jatuh ke tangan si bungsu. Ia, tentu saja, membagikan kekayaan itu kepada orang-orang miskin di desanya dan tak seorang pun menyesali kematian si sulung.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Tidak ada komentar:

Posting Komentar