Sabtu, 02 Juni 2012

I HAVE SURVIVE(D)!

“Hari Minggu? Saya ujian… Ga bisa

Kata-kata itu menjadi tanda tanya bagi teman-teman saya yang menghubungi saya semester lima yang lalu. Mereka berulangkali memverifikasi “Minggu loh, Nya. Hari Minggunya. Masa lo ujian?” dan berulangkali pula saya bilang “Iyaaa… Gue ga bisa… Ujian.”

Saya baru saja selesai melewati tri-semester neraka jahanam Psikologi. Buat angkatan 2009 yang baru saja mengalami perubahan kurikulum, semester tiga sampai lima bukanlah semester yang bisa santai-santai di weekend, karena kalo masih bisa santai, maka weekdaysnya akan dibantai sama tugas dan deadline.

Puncak dari tri-semester jahanam di Psikologi, menurut saya, berada di semester lima. Saya harus menghabiskan waktu untuk mengerjakan konstruksi tes, membuat modul pelatihan, menghafalkan materi metodik tes, mencari narasumber PIO, membuat paper Klinis, mengurus PBM, dan melatih diri di Dasar Konseling. Beruntungnya saya, di semester lima ini saya selalu sekelas dengan peer group saya. Bisa dipastikan kami selalu satu kelompok di hampir seluruh tugas mata kuliah.

Minimal sebulan sekali, kelompok kami akan membuat janji untuk menginap bersama di kost salah satu anggota. Kalau sudah berkumpul, kami punya tugas masing-masing. Satu orang sibuk mengerjakan Konstruksi Tes di meja belajar, dua lagi sibuk buat materi Pelatihan, sisanya guling-gulingan di kasur menunggu giliran kerja. Saya masih ingat bagaimana kami harus berpetualang mencari makanan di malam takbiran, bagaimana kami berdiskusi membuat item, bagaimana kami pusing mengatur keuangan kami karena harus keluar uang untuk ini-itu, dan bagaimana kami menyadari bahwa kost teman kami punya ‘penunggu tak terlihat’. Banyak canda tawa terekam di memori saya. Di sela-sela kesibukan itu, kami masih punya waktu untuk memesan martabak di tengah malam, menonton video Cherrybelle, mendengarkan curhat, dan menghafalkan materi Metodik Tes bagi yang akan praktikum.

Kesibukan mahasiswa FP UAJ terkadang menjadi tidak masuk akal bagi orang-orang di luar yang tidak mengerti. Saya sendiri pernah disangsikan oleh teman saya (sebut saja mantan pacar) yang protes karena saya ga pernah ada waktu untuk menghubungi dia. Teman saya yang lain akhirnya turun tangan dan memarahi oknum ini, “Lo pernah tau ga ada Fakultas yang hari Minggunya dipake buat ujian? Pernah tau kalo ada Fakultas yang kalo ngerjain tugas bisa sampe ga tidur? Tuh, fakultas Psikologi Atma!” (FYI, teman saya ini adah mahasiswa Atma Jaya non Psikologi, sedangkan si oknum adalah mahasiswa non Atma Jaya dan non-Psikologi).

Kesibukan-kesibukan kuliah dan organisasi ini membuat saya bersyukur, walaupun kadang jadi kurang tidur. Mereka semua membuat saya berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih mengerti dengan diri saya dan dunia. Saya menyadari bahwa tugas-tugas menumpuk yang kadang membuat saya nyaris gila ini adalah konsekuensi saya memilih fakultas psikologi (yang katanya) terbaik. Tugas-tugas ini menjadi bagian dari salib saya yang nantinya akan membawa saya dalam kemenangan meraih gelar S1 Psikologi. Sekarang, di semester enam ini, kesibukan saya mulai berkurang dan tidak menggila seperti di semester sebelumnya. Saya dan teman-teman lain sudah berhasil melewati tri-semester ini dengan selamat. Bagaimana dengan kamu?

Ps: Selamat ulang tahun Fakultas Psikologi UAJ. Semakin luar biasa, onfire, dan jago ya!

Is It Fair, God?


Semua orang bilang kalau hidup ini harus adil… permainan bola saja punya sembotan “Fair Play” tapi, pernahkah kita berpikir kalau kita seringkali bertindak tidak adil tanpa sadar? Keadilan menjadi salah satu hal yang katanya dijunjung tinggi di Indonesia. Bahkan Pancasila punya dua sila yang menitikberatkan pada keadilan, yaitu sila kedua dan kelima. Sayangnya, akhir-akhir ini kita jarang sekali melihat realisasi dari sila ini di Indonesia. Banyak orang bermain-main dengan istilah “Bhineka Tunggal Ika” menjadi “Bhineka Tinggal Nama” suka atau tidak suka, semboyan Indonesia memang sudah berubah. Banyak sekali ketidakadilan yang ada di sekitar kita, mulai dari sistem ekonomi, masalah honor, sampai urusan pembangunan tempat ibadah...

Mungkin kita seringkali berpikir bahwa “Kenapa pemerintah bersikap tidak adil kepada kaum minoritas?”, “Kenapa ormas-ormas ini bertindak seenaknya? Tidak pernahkah mereka memikirkan orang-orang lain yang juga punya kepentingan?” tanpa pernah berkaca pada diri kita sendiri, “Sudah adilkah kita?” Saya tidak mau panjang lebar mengajak kita untuk berefleksi tentang bagaimana sejauh ini kita bertindak adil secara horizontal dengan sesama. Selama ini, kita sendiri mungkin belum bisa bersikap dan bertindak adil bagi dunia kita. Tuhan Yesus sendiri tidak pernah menginginkan untuk terus menerus dibela dan didahulukan. Ia sangat menjunjung tinggi keadilan, termasuk dalam hal menjadi warga Negara yang baik. Ia tetap berkata, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. (Matius 22:21):" Buat saya, Tuhan menginginkan kita menjadi warga Negara yang seimbang, yang tidak melulu mengurusi politik dan hal-hal duniawi, namun juga tidak melulu mengurusi urusan gereja dan hal-hal akhirat. Sampai bagian ini, sudah seberapa jauhkah kita adil terhadap Indonesia dan Tuhan sendiri?

Saya mau membahas hal lain lagi. Saya tidak tahu seberapa banyak orang yang pernah berkata begini dalam hidupnya “Kenapa ya, Tuhan kok ga adil banget? Aku terus-terusan hidup menderita, sedangkan dia terus-terusan bahagia?”, “Kenapa ya, Tuhan ga adil? Doa dia selaluuu dikabulkan, sedangkan doa aku ga pernah dikabulkan?” Pernahkah sekarang kita berefleksi, “sudah cukup adilkah kita untuk Tuhan?”
Tuhan memang ga pernah menuntut kita untuk terus-menerus di gereja dan ikut pelayanan ini-itu agar kita selalu dekat denganNya. Tuhan tetap saja memberikan waktu 24 jam buat kita untuk beraktivitas. Tapi kadang kita ga sadar, bahwa kita lupa untuk bersikap adil kepada Tuhan. Mungkin teman-teman pernah membaca bahwa Tuhan selalu menunggu kita untuk berbicara denganNya. Tuhan mau menunggu kita yang selalu disibukkan dengan urusan kerja kita di dunia.

Pagi-pagi, kita bangun terburu-buru dan lupa berdoa pagi, padahal Tuhan menunggu disapa oleh kita. Tuhan tidak tinggal diam, Ia menyapa kita lewat celotehan mama di pagi hari, lewat kicauan burung, lewat hangatnya sinar matahari, tapi kita tidak sadar. Tuhan masih bersabar menunggu sampai kita punya waktu luang untuk istirahat makan siang, tapi karena kita begitu lapar dan lelah dengan pekerjaan tadi, kita lupa untuk berterima kasih kepadaNya untuk setiap bulir nasi yang kita makan. Tuhan mengerti, dan ia terus menunggu sampai waktu kita beristirahat lagi, barangkali di akhir hari kita punya waktu luang untuk bercerita 10-15 menit tentang hari kita kepadaNya, namun ternyata BBM, tugas, dan laptop lebih menyita perhatian kita dan akhirnya kita tertidur tanpa berdoa dan berbicara kepadaNya. Begitu setiap hari… Tapi, Tuhan selalu menunggu dan menunggu kita setiap hari. 24 jam sehari. Tujuh hari seminggu. Tiga ratus enam puluh lima hari setahun.

Saya selalu kagum dengan kesabaran Tuhan. Ia mampu menunggu kita berhari-hari, bahkan bertahun-tahun lamanya untuk disapa oleh kita, anak-anak kesayanganNya. Kita sendiri belum mampu menjadi sabar seperti Tuhan. Iyalah, disuruh nungguin ibu belanja di pasar selama 1 jam aja ngedumelnya udah panjang lebar… Apalagi disuruh nunggu kepastian dari gebetan yang belum jelas juntrungannya #eehh hahahaa.

Sadar atau tidak, kita seringkali menuntut Tuhan dan menuduh Tuhan tidak adil. Kita seringkali memarahi Tuhan atas segala kemalangan yang menimpa kita. “Kenapa sih Tuhan ngasih masalah yang berat banget kaya gini ke gue? Ga adil… Apa Tuhan ga tau kalo gue ga sanggup?” Kata-kata ini yang seringkali keluar dari mulut kita, tanpa sebenarnya kita sadari bahwa Tuhan memberi masalah-masalah berat agar kita mengingat Dia. Tuhan begitu ingin berbicara dengan kita dan berharap kita mencari Dia di tengah-tengah kalutnya masalah kita. Tuhan selalu tahu batas kekuatan kita dan Tuhan tidak pernah lupa. Sayangnya, sampai di titik ini pun, bukannya semakin dekat dengan Tuhan, kita malah lebih sering menjauh dan terus-menerus menyalahkan Tuhan dan keadaan.

Sampai di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kita untuk kembali melihat ke masa lalu… Seberapa adilkah saya kepada Tuhan yang sudah menciptakan dan menemani saya selama ini? Betulkah selama ini Tuhan yang memang tidak adil kepada aku? Atau justru aku yang tidak adil kepada Tuhan?

27 Mei 2012
Pada hari Pentakosta, roh Tuhan berupa ilham juga turun padaku! :D
00:37