Senin, 08 September 2014

Rumah itu...


“Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan ku buat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu…”

Lagu ini tiba-tiba terngiang di telingaku. Berputar terus tanpa henti sebelum aku tertidur. Aku menunda rencana kencanku dengan kasur dan bantal. Takut semuanya menghilang dalam mimpi. Aku bangkit berdiri dan menyalakan lampu meja belajarku. Pandanganku tertambat pada kertas kecil berwarna yang menunjukkan sebuah bangunan dan seulas senyum beberapa wajah yang ikut terlihat di situ. Samar-samar terngiang suara tawa dan canda di rumah itu. Betapa aku rindu rumah itu.

Pikiranku melayang terbang. Jauh ke masa-masa dimana aku tinggal bersama mereka. Masa-masa dimana aku tidak merasa sepi sendiri di perantauan ini. Ingatanku berjalan bersama foto-foto di album biru yang hampir kumal dimakan usia. Rumahku. Masuk ke dalamnya, tak pernah ada pagar besi ataupun kawat yang menghalangi orang-orang untuk datang ke situ. Pun tak ada satpam ataupun gerbang pendeteksi logam. Penghuni lama, penghuni baru, calon penghuni, tamu-tamu yang diundang maupun tak diundang, bahkan pencuri bebas keluar masuk ke rumahku. Ya, rumahku memang tak pernah terkunci.

Kami tak punya lahan besar untuk dijadikan taman yang indah seperti orang-orang kaya. Pelataran rumah kami, alih-alih penuh tanaman cantik, malah penuh dengan berbagai meja, kursi, atau apa saja yang tak muat diletakkan di dalam rumah. Rumah kami kecil. Terlalu sempit dan tidak menerima banyak perabotan. Pelataran itu jadi saksi bisu obrolan kami yang tak kunjung habis. Mulai dari gosip murahan di rumah kami, keluhan-keluhan tugas yang tidak ada habisnya, informasi seputar dunia luar. Semuanya. Lahan kecil rumahku indah dengan caranya sendiri. Ia indah dengan tawa, tangisan, dan cerita dari penghuninya. Bahkan mawar-mawar di kebun sebelahpun kalah cantik dengan lahan kecil kami ini.

Rumahku tak besar, namun selalu cukup untuk kami semua. Bukan rumah ideal untuk beberapa orang. Ruang tamu kami yang kecil terkadang jadi ruang tidur apabila kami lelah. Tidak peduli anggota keluarga lain, aku pun sering menyabotase satu kursi untuk tertidur ketika lelah belajar. Ruang tamu kami yang mungil bisa disulap menjadi ruang keluarga, dimana kami semua menikmati kebersamaan yang tak pernah bisa tergantikan di situ. Menonton film di layar yang besar, belajar bersama, mengerjakan tugas, latihan menyanyi atau bermain musik, bahkan makan dan minum. Ruang tamuku memang sempit, namun rasa cinta dan selalu ingin bersama membuatnya selebar lapangan sepak bola.

Banyak air mata tertumpah di rumah kami. Banyak perselisihan terekam di dinding-dinding rumah kami. Namun selalu ada pintu maaf terbuka lebar, selebar pintu rumah kami yang terbuka. Selalu ada rasa hangat yang mencairkan kekakuan yang muncul, bahkan ketika menyambut para penghuni baru. Ada rangkulan mesra dan ciuman kasih yang menyambut mereka, apapun kelebihan dan kekurangannya. Yang muda menghargai yang tua, yang tua mengasihi yang muda. Rasa gengsi dan dengki hanya bisa mampir di rumah kami sesaat. Mereka terusir keinginan untuk berjalan bersama dan menghabiskan waktu di rumah itu bersama-sama sampai nafas terakhir. Rumah itu sempurna di mataku.

Langkahku begitu berat ketika meninggalkan rumah itu. Sekian miliar kenangan terendap di memoriku. Memaksa mataku untuk mengalirkan sungai hampir di setiap malamku dulu. Pucuk demi pucuk surat terkirim untuk mengikis rasa rindu. Banyak cerita yang tercetak di setiap balasannya. Ada yang menggembirakan, banyak pula yang membuat hati pilu.

Kata mereka, pintunya kini tak terbuka lebar lagi. Terkunci hampir setiap waktu. Bukan. Rumahku tak menambah gembok di pintu pagarnya. Hati penghuninya yang terkunci. Tatapan serius ada di wajah mereka. Entah kemana tawa-tawa yang dulu selalu hadir di setiap pagi dan sore kami… Entah kemana canda dan gelak yang selalu bermain di siang dan malam kami. Ada perasaan aneh yang tak bisa diungkapkan penghuni rumah itu. Entah apa.

Pelataran yang dulu penuh dengan cerita, sekarang dipenuhi ilalang yang tinggi. Setinggi ego para penghuni yang ingin semua keinginannya terwujud. Entah mengapa.

Ruang tamu yang sempit terasa semakin menghimpit sesak dengan kekosongan di sana. Ada rasa sakit yang menghujam. Ada perasaan yang tak pernah bisa diungkapkan. Ada dendam yang tak tersalurkan. Ada cinta yang hanya bisa terukir di batang pohon. Ada topeng-topeng yang berserakan. Ya. Rumahku kini semakin mirip dengan panggung teater. Kebaikan dan ketulusan yang kau temukan tidak boleh dicerna bulat-bulat. Ruang tamu terasa kosong walaupun para penghuni selalu duduk bersama di situ sepanjang hari. Terasa aneh memang. Namun, begitulah yang dirasakan mereka.

Setiap surat yang sampai terasa ditulis dengan darah. Semakin banyak kata-kata terungkap, semakin perih luka tersayat. Semakin banyak kicauan yang mampir, menumbuhkan rasa rindu yang dikalahkan dengan rasa terlupakan dan tersisihkan.

Kata mereka, banyak cendekiawan yang kini merapikan rumah kami. Orang-orang pintar menggantikan kami yang bodoh di sana. Entah apa maksudnya. Aku tak pernah mengerti sampai detik ini.

Tidak ada lagi yang menungguku pulang. Tidak ada rasa cinta yang menuntunku untuk pulang ke rumah itu. Bahkan tidak ada lagi suara di mimpi-mimpiku. Semua terlalu sibuk dengan berbagai catatan pribadi yang tidak boleh dibagikan. Bahkan untuk sekedar duduk bersama dan bercerita tentang hidup masing-masing. Ini rahasia, katanya. Tak boleh ada yang tahu tentang cerita masing-masing jiwa yang bersemayam di sana.

Rumah itu.
Aku rindu rumah itu.

Tempat aku bisa pulang ke rumah,
karena rumah itu adalah rumahku.
Rumah kami.
Rumah kita.




Ps: ini bukan dongeng... ini tulisan saya pribadi... yang tidak bisa terungkapkan kepada banyak orang karena satu dan lain hal. Saya muak dengan keadaan 'rumah' sekarang. Banyak hal yang belum saya pahami, atau memang tidak perlu saya pahami lebih dalam daripada makin menyakitkan hati, tentang rumah ini. Semoga suatu saat, rumah ini kembali jadi rumah saya. Rumah semua orang yang pernah hadir, walaupun sempat pergi di dalamnya.

PPs: lagunya saya pinjam dari "Pulang Ke Hatimu, ost. film 9 naga" dan fotonya saya pinjam dari kotastar.blogspot.com

2 komentar:

  1. Brooo..
    Uda tunawisma ya?
    Waktu bergerak, langkah berderap.
    Keluar dan pergi.
    Mungkin saatnya kita beranjak.
    Mencari atau membangun rumah yang baru.
    Sang tuan rumah lama yang ramah telah menjadi legenda.
    Kini saatnya yang muda untuk terlihat gagah.
    Tak lagi ramah.
    Tua menjadi tamu.
    Muda kini kelabu.
    Kelabu seperti gudang barang.
    Terkunci rapat bak kotak pandora.
    Hingga kita pd akirnya hanya bergumam dlm hati pd diri kita sndiri:
    Brooo...
    Uda tunawisma ya?
    Haha.

    BalasHapus