Rabu, 27 Februari 2013

Imlek Saja Belum Cukup!

Siapa yang ga kenal dengan tradisi imlek? Yap, dari tahun ke tahun, imlek menjadi salah satu momen paling ditunggu oleh masyarakat keturunan Tionghoa, khususnya bagi anak-anak atau mereka yang masih menerima amplop merah berisi uang (angpao). Tapi, ada yang tau ga sih, kalo perayaan tahun baru Cina ini ternyata memiliki perayaan lain yang mengikutinya? Namanya adalah Cap Go Meh.

Kata "Cap Go Meh" berasal dari dialek Tiociu atau Hokkien yaitu "Cap Go" yang berarti lima belas dan "Meh" yang berarti malam. Jadi, Cap Go Meh bisa diartikan sebagai malam kelima belas. Sedangkan dalam dialek Hakka disebut "Cang Nyiat Pan" yaitu "cang nyiat" (bulan satu) dan "pan" (pertengahan) sehingga berarti pertengahan bulan satu. Di daratan Cina sendiri, Cap Go Meh dikenal Yuan Shiau Ciek, atau dikenal dengan nama Lantern Festival di budaya Barat. Disebut dengan lantern festival atau festival lampion, karena pada malam perayaan, masyarakat Tionghoa memasang banyak lampion, bahkan mereka menghanyutkan beberapa lampion di sungai terdekat.

Menurut Bong Ci Nen (seperti dikutip dari tribunnews.com, “Asal-Usul”, 2013) Cap Go Meh memiliki dua versi, yaitu versi petani, dimana perayaan ini menandakan perayaan Imlek sudah berakhir dan para petani harus kembali ke ladang esok harinya, dan versi dari kaum intelektual dimana Cap Go Meh adalah sebuah perayaan yang memiliki nilai ritual dimana para tatung/loya atau dewa membuka kembali stempel para tatungnya yang telah ditutup pada tanggal 23 bulan 12 penanggalan Imlek atau sebelum perayaan Imlek sehingga setelah 15 hari dibuka kembali.

Tahun 2013 ini, saya berkesempatan untuk merayakan festival Cap Go Meh di Tegal, Jawa Tengah. Sekalian pulang kampung, saya menggali informasi mengenai festival penutupan tahun baru Imlek ini dari keluarga saya, yang kebetulan akrab dengan klenteng di Tegal. Klenteng Tek Hay Kiong namanya. Klenteng ini dibuat untuk menghormati Tek Hay Cin Jin (Kwee Lak Hoa), seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang menjadi pejuang dan pembela masyarakat Tionghoa yang dibantai di Batavia sekitar tahun 1740. Beliau dianugrahi gelar Tek Hay Cin Jin oleh kekaisaran Dinasti Tjhing dan dipuja oleh penduduk setempat sebagai Dewata Pelindung Perdagangan di laut.

Tegal, yang merupakan kota bahari, memiliki sebuah klenteng yang digunakan untuk memuja Kongco (sebutan untuk dewata, sejenis santo/santa bagi orang Katolik) Tek Hay Cin Jin. Saya kebetulan hadir pada hari Sabtu, satu hari sebelum puncak perayaan Cap Go Meh digelar. Ketika saya datang, delapan buah tandu yang berisi patung kongco dan makco dimandikan di laut Tegal. Menurut ayah saya yang dulu sempat ikut upacara ini, para nelayan di sekitar laut Tegallah yang nantinya akan memanggul tandu-tandu itu dan memandikannya di laut. Kenapa justru nelayan yang mau memanggul dan memandikan? Karena para nelayanlah yang sering berhubungan dengan laut. Acara 'mandi' ini menjadi salah satu cara ucapan terima kasih untuk berkah dan bantuan yang diberikan setahun lalu, sekaligus memohon agar tetap diberikan bantuan untuk setahun ke depan.

Sebelum perarakan ke laut, tandu-tandu ini tentu saja didoakan terlebih dahulu. Wangi hio dan tetabuhan tambur mengiringi upacara doa ini sampai ke penutupan festival. Suasana magis sungguh terasa selama saya berada di klenteng. Pada perarakan kembali setelah mandi di laut, kirab tandu dimulai. Kirab ini dilakukan secara besar-besaran dan menutup sebagian besar jalan utama di kota Tegal. Seluruh masyarakat di sana mengikuti jalannya perarakan tandu ini dengan antusias, tidak peduli apakah mereka termasuk golongan masyarakat Tionghoa atau bukan. Bagian paling depan dari kirab ini adalah bendera dan panji-panji besar bertuliskan aksara Tionghoa, dilanjutkan dengan barongsai dan liong yang berhenti di tiap rumah yang memasang dupa (untuk meminta angpao), lalu dilanjutkan dengan tandu-tandu berisi kongco. Tandu-tandu ini diarak sambil digoyangkan ke kiri dan kanan. Mereka percaya bahwa goyangan pada tandu ini akan membuat kongco merasa senang dan akan memberikan berkah.

Masyarakat keturunan Tionghoa dan beberapa masyarakat asli Tegal juga biasanya akan ikut memanggul tandu ini. Mereka percaya bahwa mereka akan mendapatkan berkah di tahun yang akan datang apabila ikut memanggul tandu ini. Arak-arakan ini dilakukan besar-besaran di hampir seluruh kota Tegal dan mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Pada malam hari, sesudah berarak keliling kota, tandu-tandu ini akan diarak seputar klenteng sebelum dimasukkan dan ‘jiwa’ kongco dilepaskan dari tandu. Acara ini berlangsung di klenteng dan tetap diiringi oleh tambur dan petasan. Menariknya, banyak orang yang membawa patung ini mengalami kesurupan arwah kongco/makco atau pengawalnya. Salah satu orang yang kesurupan bergerak seperti pendekar dalam game “Street Fighter”, yang lainnya bergaya seperti harimau.

Pada pagi harinya, kembali diadakan upacara sembahyang untuk kembali memasukkan ‘jiwa’ dari kongco/makco dan pengawalnya ke dalam tandu sebelum diarak. Mereka menggunakan banyak simbol-simbol, salah satunya adalah bendera yang dipercaya digunakan untuk membuka dan membersihkan jalan untuk kongco yang akan lewat. Tandu yang berisi patung kongco ini akan kembali diarak keliling kota Tegal selama sehari penuh dan pada malam harinya akan dikembalikan dengan cara yang sama, diawali dengan pementasan kembang api selama kurang lebih 10 menit. Upacara ini masih dilanjutkan dengan lelang bendera tandu dan benda-benda lainnya yang dipercaya dapat membawa berkah dan keberuntungan.

Menjadi menarik bahwa acara Cap Go Meh ini menjadi sebuah pesta rakyat bagi masyarakat Tegal. Saya melihat banyak saudara-saudari yang menggunakan hijab masuk ke dalam klenteng dan ikut berdoa memohon berkah. Panitia juga menyediakan makan dan minum sepuasnya bagi para pengunjung yang ikut hadir dalam acara tersebut, tidak peduli apakah mereka keturunan Tionghoa atau masyarakat pribumi. Saya seperti melihat bahwa masyarakat Indonesia tidak pernah terganggu oleh intoleransi yang belakangan menjadi isu yang marak. Semoga kebersamaan ini boleh terus saya alami, tidak hanya di kota Tegal. Tidak hanya saat perayaan Cap Go Meh. Semoga!

Fotonya baru satu... ini juga saya colong dari FBnya sepupu saya, Tiffany Mayliana

- ini liong... salah satu tradisi yang selalu ada saat imlek dan capgomeh -


*trims buat banyak pihak yang saya pinjam datanya... dari blognya Klenteng Tek Hay Kiong, tribun news, dll* :D