Jumat, 12 September 2014

Day 22: Ayah Kelinci dan Ulang Tahun Putra-Putranya



“Jadi, apa yang kalian inginkan untuk hadiah ulang tahun kalian? Kelereng, permen, atau bola?” tanya Ayah Kelinci pada ketiga putranya. Ketiganya menggeleng serempak. “Pedang kayu atau baju bajak laut atau layang-layang?” Ketiga anak kelinci itu masih menggelengkan kepalanya, lalu menjawab serentak, “Kami ingin makan daging gajah atau ikan paus”

“Apa?” ayah kelinci membelalakkan matanya terkejut. Ketiga kelinci itu tertawa lebar, “Iya! Ayah tidak salah dengar! Satu-satunya hadiah yang kami inginkan adalah makan gajah atau ikan paus. Menurut Ayah, apakah Ayah bisa mendapatkannya?”

Ayah kelinci diam sejenak. “Tentu saja!” jawabnya tergagap. “Ti..tidak ada yang tidak mungkin bagi Ayah! Kalian tentu tahu itu bukan?”

Ayah kelinci lalu keluar rumah sambil menggerutu. Huh! Gajah atau ikan paus! Keduanya adalah binatang paling besar di dunia. Bagaimana mungkin ia bisa menangkapnya. Dia tidak sekuat itu. Ayah kelinci memutar otaknya dan akhirnya ia hanya menemukan satu cara untuk mendapatkan hadiah untuk anak-anaknya. Dengan tipu muslihat! Dengan membawa rantai panjang yang sangat kuat, ia pergi menemui Gajah.

“Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Ikan Paus membual kepada semua orang yang mau mendengarnya bahwa ia lebih kuat dari padamu,” bisik Ayah Kelinci dengan hati-hati. Mendengar bisikan itu, marahlah Gajah, “Benarkah? Kalau begitu, usahakanlah agar kami berdua bisa membandingkan kekuatan kami. Biar nanti kelihatan siapa di antara kami yang lebih kuat!”

“Justru itu, aku akan memberi kepada kalian masing-masing salah satu ujung rantai yang kuat ini. Begitu aku memberi tanda, kalian akan mulai saling menarik sekuat tenaga dan kita akan melihat siapa di antara kalian yang lebih kuat!” lanjut Kelinci.

Gajah pun menerima tantangan itu dan meraih rantai itu dengan belalainya. Kelinci cerdik itu segera berlari ke tepian laut dan berkata kepada Ikan Paus dengan nada marah, “Temanku, aku ingin memperingatkanmu bahwa Gajah membual kepada semua orang yang mau mendengarkannya bahwa ia lebih kuat darimu.”

“Benarkah? Biarlah dia datang beradu denganku! Aku akan melawannya dengan sungguh-sungguh!” Ikan Paus meludah sambil tersinggung.

“Saat ini ia bahkan sudah memegang ujung rantai ini dan menunggumu untuk melakukan hal yang sama untuk melihat siapa yang lebih kuat,” lanjut Kelinci memanas-manasi. Dengan segera Ikan Paus merebut rantai itu dari tangan Kelinci dan mengikatkannya di sekeliling ekornya.

Ayah kelinci memberikan tanda bahwa pertandingan akan segera dimulai. Setelah itu, ia duduk dengan tenang di rumput sambil menunggu keberhasilan tipu muslihatnya. Kedua binatang itu tarik-menarik sekuat tenaga.

Setelah satu jam berlalu, ternyata Gajah lebih kuat. Ia berhasil mengeluarkan Ikan Paus dari air dan menariknya sampai ke hutan kecil dekat laut. Ikan Paus pun mati karena tidak ada air dan tidak dapat bernafas. Ayah kelinci yang mengetahui hal ini langsung berlari menghampiri Gajah, “Bravo Gajah! Kamu memang binatang terkuat di dunia! Kamu pantas menang melawan Ikan Paus!” Lalu dengan cekatan, Ayah Kelinci segera membuka ikatan rantai dan memanggil ketiga putranya. “Anak-anak! Selamat ulang tahun! Hadiah kalian sudah datang! Hari ini kita makan daging ikan paus!”

Tentu saja daging ikan Paus terlalu besar untuk mereka sekeluarga. Akhirnya mereka mengundang semua binatang di hutan dan bersantap bersama merayakan ulang tahun tiga anak kelinci itu.


#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Kamis, 11 September 2014

Day 21: Tiga Puluh Ribu Malam


Dahulu kala di Jepang, tinggalah seorang laki-laki tua dan seorang perempuan tua bernama Kino dan Kaede. Keduanya telah menikah puluhan tahun dan tetap saling mencintai dengan penuh kasih sayang.

Setiap malam tiba, mereka duduk bersama dan mengingat kembali kenangan-kenangan masa lalu yang dipenuhi gelak tawa dan belaian. Hanya satu hal yang mereka hindari, yaitu membicarakan hilangnya anak mereka, Bulan Mei, yang hidupnya berakhir dua minggu setelah kelahirannya. Sejak kehilangan itu, Kaede hanya hidup untuk Kino dan Kino hanya hidup untuk Kaede

Suatu malam, ketika sedang memandang bulan purnama, sebuah bintang jatuh di kaki mereka. Karena silau, mereka menutup mata dan ketika mereka membukanya kembali, mereka melihat seorang perempuan mungil yang berkilauan.

“Saya adalah peri cinta,” katanya, “Sudah tiga puluh ribu malam saya mengamati kalian berdua. Cinta kalian tak pernah sirna sedikitpun. Itulah sebabnya saya ingin memberikan penghargaan kepada kalian. Ucapkanlah sebuah permintaan dan saya akan mengabulkannya”

Kedua insan tua itu saling memandang dengan ekspresi terkejut. “Kamu pasti punya ide yang sama denganku,” gumam Kino kepada Kaede dengan mesra. “Tentu saja,” sahut Kaede. Mereka membuka mulut dengan serentak. Namun ternyata permintaan mereka sangat berbeda.

“Saya ingin kembali menjadi muda,” kata Kino dengan tegas.

“Saya ingin menemukan kembali Bulan Mei kecilku,” kata Kaede.

Mereka tercengang dengan permintaan mereka yang tidak sama. “Menemukan Bulan Mei adalah hal yang mustahil! Kita sudah terlalu tua untuk mengurus bayi,” Kino berseru.

“Biarkan saja! Aku ingin memeluknya!” kata Kaede antusias.

“Coba pikir, jika kita muda kembali, kita bisa mendapatkan bayi-bayi lainnya!”ucap Kino mulai naik darah.

“Tidak mau! Aku hanya mau Bulan Mei!” teriak Kaede balas membentak.

Itulah pertama kalinya mereka bertengkar. Sang peri cinta akhirnya tak tahan dan menegur mereka. Mendengar teguran sang Peri, mereka menghentikan perdebatan mereka. “Maafkan aku, Kaede. Tidak semestinya aku naik darah. Biarlah keinginanmu yang terkabulkan,” kata Kino memohon dengan malu.

“Tidak. Akulah yang harus meminta maaf. Ayo kita pilih keinginanmu,” jawab Kaede. Akhirnya sang peri mengundi dan keinginan Kinolah yang menang. “Kalian masing-masing pergilah ke tepi danau yang berada di bawah gunung. Setiap teguk yang kalian minum akan membuat kalian bertambah muda sepuluh tahun,” kata peri itu menjelaskan. Tak lama kemudian, peri itu menghilang.

Ketika pagi tiba, Kino dan Kaede bangun dan segera berjalan menuju danau dengan bertumpu dengan tongkat mereka. Mereka saling membantu selama perjalanan itu. Beberapa jam sesudahnya, mereka berpisah di tepi danau yang terpisahkan oleh ilalang.

Kaede melihat sebuah siluet mendekatinya sambil menari-nari. Ia tertawa. Itulah pemuda tampan yang telah membuatnya jatuh cinta sejak bertahun-tahun yang lalu. Kaede lalu segera meminum air danau itu, karena ia tahu bahwa Kino pasti menantinya.

Namun sampai malam tiba, Kaede tidak kembali. Kino mencarinya. Ia berlari mengitari danau dan mencari Kaede. Tak ada orang. Yang ada hanya teriakan lirih dari balik alang-alang. Dia menyibakkannya dan terlihat seorang bayi cantik dan masih merah menangis.

“Bulan Mei! Tapi bukan! Itu bukan kamu… Kamu pasti… Kaede!” seru Kino dengan terheran-heran. Ternyata Kaede telah minum dua teguk lebih banyak daripada Kino dan menjadi bayi. Kino menggendongnya.

“Yang kugendong saat ini adalah Kaede, namun aku merasa seakan-akan menemukan kembali Bulan Mei kecilku. Jadi Kaede, kamu berhasil: kedua keinginan kita terwujud sekaligus. Itu kan, yang kau inginkan, Gadis Kecilku?”

Ajaib. Seakan mengerti, bayi kecil itu tersenyum sambil berceloteh dengan riang.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Rabu, 10 September 2014

Day 20: Luisa dan Serigala Perak


Luisa tinggal di rumah kecil di tepi hutan bersama dengan kakeknya. Pada hari ulang tahunnya yang -keenam, Luisa mengundang teman-teman sekolahnya untuk bermain bersamanya. Setelah berkumpul semuanya, mereka sepakat untuk bermain lempar kaleng tiga putaran, kucing jongkok dua putaran, dan akhirnya mereka akan bermain petak umpet.

Luisa lari bersembunyi. Ia meringkuk di bawah sebuah pohon ek tua yang sangat besar. Tiba-tiba ia merasa sebuah belaian lembut dan hangat di dekat kakinya. Ia menunduk dan melihat kakinya berada di dekat benda berbulu abu-abu. Ternyata itu adalah ekor serigala. Dengan ketakutan ia melompat ke belakang.

Badan binatang itu tersembunyi di belakang semak-semak. Luisa menyentuhnya dengan tongkat perlahan-lahan. Hatinya berdebar. Namun, tak ada reaksi. Luisa memberanikan diri untuk mendekat dan mengangkat sebuah dahan pohon. Seekor serigala besar yang tampak kurang sehat berbaring di sisinya. Matanya yang tajam, tetapi redup itu bergerak mengikuti Luisa. Kakinya terjebak dalam perangkap pemburu. Nampaknya sudah berhari-hari ia terjebak di situ. Ia nampak lemas karena kekurangan air dan makanan. Luisa mengulurkan tangannya dan perlahan-lahan membelainya.

“Luisa? Luisa? Tunjukkan dirimu, kamu sudah menang!” Teman-temannya memanggil Luisa dan ia pergi menemui mereka, namun Luisa tak menceritakan serigala itu.

Sore harinya, Luisa kembali lagi ke pohon ek tua itu. Serigala itu masih di sana. Ia menuangkan air ke dalam mangkuk dan memberinya minum. Luisa juga membuka perangkap pemburu, membersihkan kakinya, dan membebatnya. Setelah Luisa membelai serigala itu, ia pulang ke rumahnya. Hampir setiap hari Luisa datang menjenguk serigala itu dan setiap ia datang, mata serigala itu menyorotkan sinar yang hampir seperti manusia.

Luisa sering bercerita tentang kehidupannya kepada serigala itu. Serigala itu seakan mengerti cerita Luisa. Ketika Luisa menceritakan perbuatan jahat yang menimpa dirinya, serigala itu menyeringai dan menggeram, namun ketika Luisa menceritakan hadiah yang diterimanya, mata serigala itu menjadi lembut dan ceria.

Sedikit demi sedikit serigala itu sembuh. Suatu hari, Luisa menemukan serigala itu berdiri di dekat pohon ek. Luisa sangat gembira dan memeluk serigala itu. Namun hatinya tiba-tiba merasa tercekam: setelah binatang itu bisa berjalan lagi, persahabatan mereka akan berakhir. Serigala itu akan pergi dan Luisa tidak akan melihatnya lagi.

Luisa pergi sambil menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah yang mengikutinya. Ia menoleh ke belakang, dan ternyata serigala itu mengikutinya sambil terpincang-pincang. Ia pun tidak ingin meninggalkan Luisa. Pada malam hari, Luisa meninggalkannya di depan pintu dan keesokan paginya, Luisa tetap menemukannya di tempata yang sama. Tentu saja kakek Luisa marah. Ia melarang Luisa untuk bermain bersama serigala itu. Serigala itu diusirnya. Luisa sangat sedih. Ia menangis berhari-hari lamanya.

Kehidupan pun kembali seperti dulu. Namun pada suatu hari, rumah kecil itu kedatangan pencuri. Kakek Luisa mendengar suara yang aneh. Bukan suara yang dikenalnya seperti jatuhnya batang pohon yang mati atau jeritan burung malam. Laki-laki tua itu bangkit dari tempat tidurnya dengan gemetar. Usianya sudah tak lagi muda untuk melawan pencuri.

Tiba-tiba ia mendengar raungan ketakutan diikuti teriakan dan derap kuda. Akhirnya semuanya hening lagi. Setelah menunggu beberapa saat, kakek Luisa turun dan mengambil pelitanya. Di depan rumah, sosok abu-abu cukup besar terlihat: ternyata si serigalalah yang telah menyerang para pencuri dan membuat mereka lari tunggang langgang.

Akhirnya kakek Luisa paham bahwa binatang itu sama sekali tidak berbahaya, baik bagi cucunya maupun dirinya. Sebaliknya, serigala itu adalah penjaga yang hebat. Sejak saat itu, kakek menerima serigala tinggal di rumah itu dan segera saja mereka bertiga menjadi sahabat baik.



#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Selasa, 09 September 2014

Day 19: Gunung Emas dan Perak


Dahulu kala, di suatu tempat terpencil di daratan Cina, tinggallah dua kakak beradik. Yang sulung begitu kaya dan begitu kikir. Ia sampai tidur seperti anjing penjaga di pintu rumahnya agar tidak ada pencuri yang masuk. Sementara itu, si bungsu Tang, begitu miskin namun sangat pemurah. Saku-sakunya selalu kosong, walaupun baru saja diisi.

Suatu hari, Tang menemui kakaknya dan berkata kepadanya, “Kakakku, hari ini ulang tahunku. Aku tidak punya sebutir beras pun di mangkukku. Selain itu, aku tidak punya mangkuk lagi untuk diletakkan di atas meja, juga tidak punya meja untuk menghias rumahku. Bahkan aku tidak punya rumah. Dapatkah kamu membantuku?”

Si kakak mengulurkan segenggam beras. “Tanamlah beras ini. Ini akan menjadi awal keberuntunganmu,” katanya kepada Tang. Tang tidak menyadari lelucon itu. Ia justru mengucapkan terima kasih kepada kakaknya dan pergi ke ladang untuk menyebar beras itu. Ia menunggu, dan menunggu, dan hanya sebatang kecil berwarna hijau muncul secara ajaib dari tanah. Tang senang sekali. Ia merawat tanaman itu dengan sukacita. Ia menjaganya, menyingkirkan rumput-rumput liar, dan mengusir ulat-ulat.

Batang kecil itu tumbuh dengan cepat dan akhirnya berkembang menjadi pohon yang cabang-cabangnya begitu besar dan panjang sehingga mampu menaungi seluruh ladang Tang. Butir-butir padi sebesar bulir jagung menggantung di cabang-cabangnya. Ketika waktu panen tiba, pemuda itu mengambil kapak dan merobohkan pohon ajaib itu. Tepat ketika pohon tersebut menyentuh tanah, seekor burung raksasa berbulu warna-warni keluar dari antara pepohonan.

Burung itu mencengkeram batang pohon itu dengan cakar-cakarnya dan terbang. Tang yang marah karena hasil tuaiannya diambil, meraih sebuah cabang terdekat dan mendapati dirinya bergantung antara langit dan bumi. Ketika si burung melihat bahwa Tang bergelayut di sana dan tidak mau menlepaskannya, ia segera mendarat di atas pasir pantai dan berkata, “Berikanlah pohon ini kepadaku, aku akan membawamu ke gunung yang batu-batunya terbuat dari emas dan perak.”

“Baiklah, ayo kita pergi,” jawab Tang. Burung itu mengantarnya ke sebuah pulau bergunung yang berkilauan. “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati,” pesan si burung.

Tang memandang sekelilingnya, mengambil segumpal emas dan berkata, “Aku sudah selesai. Ayo kita pergi.” Burung itu heran melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tamak. Tanpa berkata apa-apa, ia mengantarkan Tang ke rumahnya.

Pada hari-hari berikutnya, Tang membeli sebuah rumah yang kokoh, menempatkan meja di dalamnya, meletakkan mangkuk-mangkuk baru di atas meja tersebut, mengisi lumbung padinya, dan ia mengundang kakaknya untuk makan malam. Ia menceritakan pengalamannya yang ajaib.

Penuh dengan rasa iri, sang kakak memutuskan untuk berbuat sama seperti yang dilakukan Tang. Ia menyebarkan beras yang sudah ia masak, menjaga satu-satu batangnya, merobohkan pohon, dan membiarkan dirinya dibawa oleh burung ke gunung emas dan perak itu. Burung itu memberi pesan yang sama, “Bergegaslah, karena gunung ini kepunyaan Matahari. Jika kamu masih di sana ketika ia pulang untuk tidur, ia akan membakarmu dengan sinarnya dan kamu akan mati.”

Ketika burung itu kembali mengingatkan waktu, si sulung menjawab, “Kita masih punya waktu.” Ia masih sibuk mengisi kantung-kantungnya dengan bongkahan emas yang besar. “Ayo pergi sekarang! Aku melihat matahari kembali!” seru si burung.

“Aku hampir selesai. Sebentar lagi,” kata si Sulung sambil mengisi bajunya. Namun, ia telah menjadi begitu berat sehingga tidak bisa berjalan lagi. Sebelum ia sempat menyusul burung itu, Matahari muncul dan membakar dirinya menjadi abu. Kekayaan si sulung jatuh ke tangan si bungsu. Ia, tentu saja, membagikan kekayaan itu kepada orang-orang miskin di desanya dan tak seorang pun menyesali kematian si sulung.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Senin, 08 September 2014

Day 18: Ulang Tahun Raja yang Jahat


Alkisah, di Tibet yang jauh, tinggallah seorang raja yang sangat egois. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia telah mencabuti semua bunga di padang dan menangkap semua burung di langit hanya untuk menghiasi istananya. Karena ulahnya ini, anak-anak di Tibet tidak pernah melihat bunga ataupun burung. Bahkan yang paling kecil sekalipun. Raja tetap tidak peduli. Yang penting ia bahagia.

Pagi itu, Raja ingin merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh enam. Seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya, ia mewajibkan rakyatnya berkumpul sejak fajar di depan istananya dan membawa persembahan untuk menyenangkan hatinya. Pada saat matahari terbit, perempuan=perempuan, anak-anak, orang-orang lanjut usia, dan semua rakyatnya berkumpul di sana sambil menggigil kedinginan.

“Raja memerintahkan kita untuk datang sejak fajar, padahal ia sendiri bangun siang!” gumam seorang laki-laki tua berjanggut putih.

“Setiap tahun selalu begini. Selama berjam-jam, gigi kita bergemeletuk karena kedinginan,” seorang perempuan tua menambahkan.

Gemuruh kemarahan rakyat terdengar seperti gemuruh ombak di laut. TIba-tiba terdengar suara Zangpo, si Bengal. “Dengarkan aku. Aku hendak bertaruh dengan kalian.” Orang-orang tertawa berderai-derai, Mereka tahu benar siapa Zangpo dan reputasi leluconnya di daerah itu. “Tentang apa?” Tanya sebuah suara.

“Aku bertaruh, kalau Raja berdiri di atas balkon nanti, dia akan menggonggong.” Semua mulai tertawa karena ide ini terasa sangat menggelikan dan dapat mengalihkan kebosanan mereka. “Kalau kata-kataku benar, kalian harus memberiku seguci bir. Setuju?” Zangpo melanjutkan. “Setuju!” teriak beberapa suara.

Tepat pada saat itu, pintu balkon dibuka dan Raja dipersilakan untuk lewat. Dengan segera, Zangpo yang tahun bahwa Raja diam-diam sangat menggemari anjing, bergegas ke arahnya dan berseru, “Baginda. Saat ini di depan istana ada orang yang ingin menjual anjingnya. Anjing ini berasal dari spesies yang sangat langka. Saya pikir Raja akan menyukainya.”

“Coba kamu lihat bagaimana rupanya dan apakah dia dapat menggonggong dengan baik,” perintah sang Raja. Zangpo segera mencari jalan dengan menguak kerumunan orang dan pergi ke pintu istana dimana, tentu saja, tidak ada orang yang menunggu. Lalu dia kembali ke bawah balkon dan berteriak, “Baginda, anjingnya sangat bagus. Tingginya sedang, bulunya putih seperti salju, dan dia menyalak seperti anjing kecil!”

“Bodoh! Aku tidak akan pernah membeli anjing yang menyalak seperti anjing kecil!” seru raja.

“Benarkah? Lalu bagaimanakah anjing yang menggonggong dengan bagus? Barangkali di lain kesempatan, saya dapat mencarikannya untuk Baginda.” Kata Zangpo dengan nada kecewa.

“Dengarlah,” kata Raja kemudian. Raja meletakkan kedua tangannya di tepi balkon, mengangkat kepalanya, dan berteriak dengan kuat, “Guk, guk.”

Rakyat yang sudah begitu lama menunggu merasa sangat terhibur. Zangpo menang. Ia mendapatkan seguci bir yang layak diperoleh karena kecerdikannya.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Rumah itu...


“Telah letih langkahku dan terasa berat
Cukup banyak kesalahan ku buat
Di mimpiku kudengar bunyi suaramu
Yang memanggilku pulang ke dalam hatimu…”

Lagu ini tiba-tiba terngiang di telingaku. Berputar terus tanpa henti sebelum aku tertidur. Aku menunda rencana kencanku dengan kasur dan bantal. Takut semuanya menghilang dalam mimpi. Aku bangkit berdiri dan menyalakan lampu meja belajarku. Pandanganku tertambat pada kertas kecil berwarna yang menunjukkan sebuah bangunan dan seulas senyum beberapa wajah yang ikut terlihat di situ. Samar-samar terngiang suara tawa dan canda di rumah itu. Betapa aku rindu rumah itu.

Pikiranku melayang terbang. Jauh ke masa-masa dimana aku tinggal bersama mereka. Masa-masa dimana aku tidak merasa sepi sendiri di perantauan ini. Ingatanku berjalan bersama foto-foto di album biru yang hampir kumal dimakan usia. Rumahku. Masuk ke dalamnya, tak pernah ada pagar besi ataupun kawat yang menghalangi orang-orang untuk datang ke situ. Pun tak ada satpam ataupun gerbang pendeteksi logam. Penghuni lama, penghuni baru, calon penghuni, tamu-tamu yang diundang maupun tak diundang, bahkan pencuri bebas keluar masuk ke rumahku. Ya, rumahku memang tak pernah terkunci.

Kami tak punya lahan besar untuk dijadikan taman yang indah seperti orang-orang kaya. Pelataran rumah kami, alih-alih penuh tanaman cantik, malah penuh dengan berbagai meja, kursi, atau apa saja yang tak muat diletakkan di dalam rumah. Rumah kami kecil. Terlalu sempit dan tidak menerima banyak perabotan. Pelataran itu jadi saksi bisu obrolan kami yang tak kunjung habis. Mulai dari gosip murahan di rumah kami, keluhan-keluhan tugas yang tidak ada habisnya, informasi seputar dunia luar. Semuanya. Lahan kecil rumahku indah dengan caranya sendiri. Ia indah dengan tawa, tangisan, dan cerita dari penghuninya. Bahkan mawar-mawar di kebun sebelahpun kalah cantik dengan lahan kecil kami ini.

Rumahku tak besar, namun selalu cukup untuk kami semua. Bukan rumah ideal untuk beberapa orang. Ruang tamu kami yang kecil terkadang jadi ruang tidur apabila kami lelah. Tidak peduli anggota keluarga lain, aku pun sering menyabotase satu kursi untuk tertidur ketika lelah belajar. Ruang tamu kami yang mungil bisa disulap menjadi ruang keluarga, dimana kami semua menikmati kebersamaan yang tak pernah bisa tergantikan di situ. Menonton film di layar yang besar, belajar bersama, mengerjakan tugas, latihan menyanyi atau bermain musik, bahkan makan dan minum. Ruang tamuku memang sempit, namun rasa cinta dan selalu ingin bersama membuatnya selebar lapangan sepak bola.

Banyak air mata tertumpah di rumah kami. Banyak perselisihan terekam di dinding-dinding rumah kami. Namun selalu ada pintu maaf terbuka lebar, selebar pintu rumah kami yang terbuka. Selalu ada rasa hangat yang mencairkan kekakuan yang muncul, bahkan ketika menyambut para penghuni baru. Ada rangkulan mesra dan ciuman kasih yang menyambut mereka, apapun kelebihan dan kekurangannya. Yang muda menghargai yang tua, yang tua mengasihi yang muda. Rasa gengsi dan dengki hanya bisa mampir di rumah kami sesaat. Mereka terusir keinginan untuk berjalan bersama dan menghabiskan waktu di rumah itu bersama-sama sampai nafas terakhir. Rumah itu sempurna di mataku.

Langkahku begitu berat ketika meninggalkan rumah itu. Sekian miliar kenangan terendap di memoriku. Memaksa mataku untuk mengalirkan sungai hampir di setiap malamku dulu. Pucuk demi pucuk surat terkirim untuk mengikis rasa rindu. Banyak cerita yang tercetak di setiap balasannya. Ada yang menggembirakan, banyak pula yang membuat hati pilu.

Kata mereka, pintunya kini tak terbuka lebar lagi. Terkunci hampir setiap waktu. Bukan. Rumahku tak menambah gembok di pintu pagarnya. Hati penghuninya yang terkunci. Tatapan serius ada di wajah mereka. Entah kemana tawa-tawa yang dulu selalu hadir di setiap pagi dan sore kami… Entah kemana canda dan gelak yang selalu bermain di siang dan malam kami. Ada perasaan aneh yang tak bisa diungkapkan penghuni rumah itu. Entah apa.

Pelataran yang dulu penuh dengan cerita, sekarang dipenuhi ilalang yang tinggi. Setinggi ego para penghuni yang ingin semua keinginannya terwujud. Entah mengapa.

Ruang tamu yang sempit terasa semakin menghimpit sesak dengan kekosongan di sana. Ada rasa sakit yang menghujam. Ada perasaan yang tak pernah bisa diungkapkan. Ada dendam yang tak tersalurkan. Ada cinta yang hanya bisa terukir di batang pohon. Ada topeng-topeng yang berserakan. Ya. Rumahku kini semakin mirip dengan panggung teater. Kebaikan dan ketulusan yang kau temukan tidak boleh dicerna bulat-bulat. Ruang tamu terasa kosong walaupun para penghuni selalu duduk bersama di situ sepanjang hari. Terasa aneh memang. Namun, begitulah yang dirasakan mereka.

Setiap surat yang sampai terasa ditulis dengan darah. Semakin banyak kata-kata terungkap, semakin perih luka tersayat. Semakin banyak kicauan yang mampir, menumbuhkan rasa rindu yang dikalahkan dengan rasa terlupakan dan tersisihkan.

Kata mereka, banyak cendekiawan yang kini merapikan rumah kami. Orang-orang pintar menggantikan kami yang bodoh di sana. Entah apa maksudnya. Aku tak pernah mengerti sampai detik ini.

Tidak ada lagi yang menungguku pulang. Tidak ada rasa cinta yang menuntunku untuk pulang ke rumah itu. Bahkan tidak ada lagi suara di mimpi-mimpiku. Semua terlalu sibuk dengan berbagai catatan pribadi yang tidak boleh dibagikan. Bahkan untuk sekedar duduk bersama dan bercerita tentang hidup masing-masing. Ini rahasia, katanya. Tak boleh ada yang tahu tentang cerita masing-masing jiwa yang bersemayam di sana.

Rumah itu.
Aku rindu rumah itu.

Tempat aku bisa pulang ke rumah,
karena rumah itu adalah rumahku.
Rumah kami.
Rumah kita.




Ps: ini bukan dongeng... ini tulisan saya pribadi... yang tidak bisa terungkapkan kepada banyak orang karena satu dan lain hal. Saya muak dengan keadaan 'rumah' sekarang. Banyak hal yang belum saya pahami, atau memang tidak perlu saya pahami lebih dalam daripada makin menyakitkan hati, tentang rumah ini. Semoga suatu saat, rumah ini kembali jadi rumah saya. Rumah semua orang yang pernah hadir, walaupun sempat pergi di dalamnya.

PPs: lagunya saya pinjam dari "Pulang Ke Hatimu, ost. film 9 naga" dan fotonya saya pinjam dari kotastar.blogspot.com

Minggu, 07 September 2014

Day 17: Ulang Tahun Pak Isidorus


Di hari ulang tahunnya yang kedelapan puluh, Isidorus tua menerima hadiah-hadiah dari orang-orang baik di sekelilingnya: seekor keledai untuk membantunya berpergian, seekor kambing muda yang menghasilkan susu segar, dan sebuah arloji emas yang menggantikan arloji lamanya yang rusak.

Namun suatu pagi, ketika laki-laki tua itu meraba-raba mejanya untuk mengambil arlojinya, dia menyadari bahwa arloji itu telah lenyap. Dengan jengkel, ia bergerak ke kandang untuk memeras susu sapinya. Apa yang ditemukannya? Daun pintu kandang tersebut terempas angin dan bangunan itu kosong melompong. “Ada pencuri yang datang ke sini,” ratapnya sambil menjatuhkan diri ke tanah.

Memang benar. Beberapa kilometer dari sana, seorang laki-laki sedang menempuh perjalanan perlahan-lahan di atas seekor keledai. Seekor kambing muda berjalan di belakangnya dan di pergelangan tangan kirinya, ia menggunakan arloji yang berkilau seperti baru. Iring-iringan itu tentu saja mencengangkan tiga anak yang bersembunyi di semak-semak dekat situ.

“Bukankah itu kambing Pak Isidorus?” Tanya anak yang pertama.

“Betul! Itu juga keledai Pak Isidorus!” seru yang kedua.

“Aku berani bertaruh dengan kalian kalau arloji itu juga milik Pak Isidorus,” kata yang ketiga menambahkan.

“Kalau begitu, aku akan mengembalikan anak kambing itu kepada Pak Isidorus!” anak yang pertama segera berlari menuruni bukit. Dengan pelan-pelan, ia menyelinap di belakang rombongan itu dan membuka tali yang diikat pada kambing dan membawa kambing itu kepada teman-temannya. Keduanya mengagumi keterampilan anak itu dan tergugah untuk menirunya.

“Giliranku! Aku akan membawa kembali keledai itu!” kata anak kedua. Dengan berlari secepat-cepatnya, ia menghambur ke belakang iring-iringan dan berteriak, “Pak! Pak! Berhentilah dulu!” Laki-laki pencuri itu menghentikan keledainya. “Kambing anda melarikan diri ke jalan setapak! Saya melihatnya tadi!” Si pencuri memandang ke belakang dan melihat ujung tali yang menjuntai kosong. “Biarkan saya yang menjaga keledai Anda selama Anda mencari kambing itu”

Tanpa ragu, si pencuri menyerahkan keledai itu dan secepat mungkin berlari ke tempat yang ditunjukkan anak itu. Sementara itu, anak kedua menarik hewan tersebut dan berlari ke arah teman-temannya. Anak yang ketiga merasa takjub pada keberanian teman-temannya. Ia pun turun bukit dan menunjukkan keberaniannya.

Ia berlari mendahului laki-laki itu sekitar seratus meter jauhnya dan menunggunya di atas jembatan kecil yang merentang di atas sungai. Si pencuri, yang merasa kesal karena kehilangan kambing dan keledai segera menyusulnya. Anak ketiga ini mulai meremas-remas tangannya dan dengan putus asa, ia meratap, “Alangkah malangnya aku! Uangku! Aku kehilangan seluruh uangku!” Ketika mendengar kata-kata anak ketiga itu, laki-laki itu berhenti. “Ada apa?” tanyanya.

“Waktu aku menyeberangi jembatan ini, aku membungkukkan badan untuk melihat ikan. Namun, semua uangku terjatuh dari saku dan menggelinding ke air. Karena tidak bisa berenang, aku tidak bisa mencarinya.”

“Apakah uangmu banyak?” Tanya pencuri itu.

Anak ini mengangguk dengan sangat keras. “Iya, Pak. Banyak dan besar-besar”

Tanpa menunggu lama, si pencuri langsung membuka sepatu, pakaian, dan arlojinya lalu terjun ke air. Dengan lincah seperti monyet, anak itu mengambil arlojinya dan juga pakaiannya-karena pencuri itu harus mendapat pelajaran yang setimpal. Ia segera bergabung dengan teman-temannya dan ketiganya berlari ke rumah Isidorus tua. Isidorus begitu terkejut sampai terjatuh dari kursi.

“Terima kasih anak-anak! Aku seperti mendapat dua hadiah ulang tahun pada saat yang sama!” serunya sambil tersenyum.



#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Sabtu, 06 September 2014

Day 16: Kejutan Ulang Tahun Bajak Laut



Keluarga Hamster punya banyak sekali anak. Ada Velvet, Pattu, Bichon, Chubby, Plush, Fluffy, Greedy, Mossy, Ninette, Plump, dan Pillow. Setiap kali Mama Hamster duduk dan semua datang mendekapnya, ia tampak seperti pohon yang merunduk karena penuh dengan buah. Sepanjang hari di rumah keluarga Hamster penuh dengan tawa anak-anak. Mereka bermain, berlari, bertengkar, dan bercanda tanpa henti. Mama dan Papa Hamster sebenarnya bukan keluarga yang kaya. Mereka tidak punya banyak uang. Setiap menjelang akhir bulan, mereka sering berdesah melihat dompet mereka yang kian tipis.

Menjelang ulang tahunnya. Pattu mengundang beberapa temannya untuk menikmati hidangan sore dengan tema bajak laut. Papa Hamster tiba-tiba datang dan menyuruh semua anak dan tamu undangan duduk di sekelilingnya dan memandang dengan wajah serius. “Tadi pagi, tukang pos membawa surat yang sangat aneh untuk Papa. Begini katanya: Dengan hormat, saya sudah lama sekali menyembunyikan harta karun di rumah anda. Terlampir petunjuk pertama untuk menemukannya. Salam. Kaki hitam.”

“KAKI HITAM!” seru tamu kecil, “Dia kan bajak laut yang sangat terkenal itu!”

“Cepat, cepat! Apakah petunjuk pertama itu?” teriak semua anak ribut.

“Tenang dulu. Duduk dan dengarkan baik-baik.” Jawab Papa Hamster. Aku selalu dingin, tetapi tidak menggigil. Di dalam perutku, kamu akan menemukan petunjuk. Siapakah aku?

“Itu gua! Di dalam gua, hawanya selalu dingin!” kata Ninette. Pattu menggeleng, “Rumah kita tidak punya gua, Ninette”

“Mungkin itu adalah lemari es,” kata Plump. Dengan segera, mereka menuju ke dapur dan membuka lemari es. Di dalamnya ada sebuah kertas putih kecil yang dilipat empat. Masuk ke rumahku dengan kotor, namun keluarlah dengan kaki bersih. Siapa aku?

Anak-anak itu berpikir dan dengan segera lari ke kamar mandi. Di sana mereka menemukan petunjuk ketiga. Demikianlah mereka melanjutkan, lari kesana kemari, dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke kamar tidur. Suasana rumah hamster yang tidak terlalu besar itu sangat riuh dengan tawa dan langkah anak-anak. Setelah satu jam, mereka menemukan potongan kertas kecil terakhir: Aku tidak punya pabrik ataupun pekerja, tapi aku mampu membuat makanan pencuci mulut dari buah. Dengan sekop, galilah kakiku dan kalian akan menemukan harta yang manis itu”

“Itu pohon apel! Ayo cepat gali!” seru Pattu. Papa dan Mama Hamster memandang mereka menyerbu taman. “Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan di bawah pohon apel, Pa?” Tanya Mama Hamster.

“Sekotak permen. Tetapi mereka keliru, kotak itu ada di bawah pohon ceri,” jawab Papa Hamster. Mama Hamster tertawa kecil, “Tidak apa-apa. Biarkan anak-anak itu menggali”

Papa dan Mama Hamster beristirahat di sofa, sementara anak-anak itu berlari dan menggali pohon dengan semangat. Hampir saja mereka tertidur, tiba-tiba Pattu berteriak “Ini dia harta karunnya! Papa bangunlah! Kami sudah menemukannya”

Mereka membuka mata dan melihat sebuah peti cokelat berisi kepingan emas diletakkan di depan mereka. “Apa itu?” Tanya Papa Hamster. “Dimana kalian menemukannya?” lanjut Mama Hamster.

“Di sana! Di bawah pohon apel! Sesuai dengan petunjuk Kaki Hitam, bukan?” teriak Greedy. “Tapi kami tidak pernah melihat peti itu!” seru Papa dan Mama Hamster. Semua saling memandang dengan heran.

Keesokan harinya, Papa dan Mama Hamster pergi ke toko emas untuk memastikan keaslian emasnya. Dan tahukah kalian? Mungkin benar-benar ada bajak laut yang menyembunyikan emas-emas itu di sana! Sejak hari itu, dompet keluarga Hamster selalu penuh. Tidak hanya di awal bulan, tapi juga di akhir bulan.


#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Jumat, 05 September 2014

Day 15: Mengapa Anjing Bermusuhan dengan Kucing?


Pada zaman dahulu kala, jauh di masa lampau, sehingga orang sudah melupakannya, hiduplah seorang China tua bernama Yen-Lu. Dia tinggal bersama istrinya, anjingnya, dan kucingnya. Semua penghuni rumahnya selalu gembira dan tak pernah hidup susah. Mereka selalu makan ikan segar, meminum anggur yang enak, dan menyanyikan lagu-lagu riang. Ternyata Yen-Lu memiliki rahasia. Pada hari ulang tahunnya yang keenam belas, majikan tuanya memberinya sebuah cincin yang menjauhkannya dari malapetaka dan kemalangan.

Suatu hari, ketika Yen-Lu berjalan-jalan di pantai, cincin itu terlepas dari jarinya. Laki-laki tua itu baru menyadari keesokan harinya. Ia dan istrinya mencari-cari cincin itu sepanjang pantai, namun hasilnya nihil. Setelah seminggu mereka mencari, mereka akhirnya pulang ke rumah dengan wajah tertunduk lesu. Sejak hari itu, semua tidak lagi seperti dulu. Kedua orang lanjut usia itu mengeluhkan nyeri di punggung mereka. Tak ada lagi nyanyian riang dan ikan segar di atas meja.

“Aku lapar! Situasi ini tak tertahankan lagi” seru kucing di depan kalengnya yang kosong.

“Mungkin kita bisa membantu majikan kita. Ayo kita temukan cincin itu!” gonggong si anjing.

“Tapi untuk sampai ke pantai, kita harus menyeberangi sungai. Padahal aku tidak bisa berenang dan takut air,” si kucing berkeluh kesah.

“Jangan khawatir, aku akan menggendongmu di atas punggungku”

Tak berapa lama kemudian, kedua sahabat itu sudah berada di pantai. Dengan segera, anjing menempelkan moncongnya di tanah dan mulai mengendus-endus. “Aku sungguh ingin membantumu, namun apa daya aku tidak memiliki indra penciuman sebagus engkau!” si kucing kembali mengeluh. Setelah mengatakan itu, si kucing meringkuk dan tertidur. Setelah beberapa jam, si anjing menyalak dan membangunkan si kucing, “Ayo kita pergi dari sini! Aku sudah menemukannya! Aku mencium bau majikan kita dan aku sudah menggali.” Anjing terengah-engah, wajahnya tertutup pasir dan keringat, namun dengan penuh kemenangan ia menggigit cincin itu di moncongnya. Kedua binatang itu pun berjalan pulang.

“Biarkan aku yang membawa cincin itu. Kalau kamu kehabisan nafas, bisa-bisa cincin itu jatuh dalam air,” si kucing mengeong. Si anjing menyerahkan cincin itu dan membiarkan kucing naik ke atas punggungnya.

Tak seperti tadi, ia mengalami banyak kesulitan ketika menyeberangi sungai. Ia begitu lelah sampai-sampai harus berhenti beberapa kali. Begitu sampai di tepi sungai, si kucing dengan gesit melompat ke tanah dan melompati atap demi atap. Dia pulang ke rumah dengan gerakan yang sangat cepat. Sesampainya di rumah, ia menggesek-gesekkan badannya ke kaki majikan perempuannya dan menjatuhkan cincin itu di depan kaki majikannya.

“Yen Lu!”, seru majikan perempuannya, “Lihatlah kucing kita yang baik ini menemukan cincinmu. Kita selamat!”. Dengan sangat senang, mereka membelai-belai kepala kucing itu dan memberinya seekor ikan besar yang berkilat-kilat.

Tak lama, si anjing pulang dengan basah kuyup. Badannya kotor terkena pasir pantai, terengah-engah, dan menggigil. Ia duduk di depan majikannya sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Namun apa yang terjadi? Yen-Lu dan istrinya mengusir anjing itu. “Bagaimana kamu bisa begitu kotor? Keluarlah dari rumah kami!” Si anjing diusir dari rumah itu. Sementara si kucing memandang kejadian itu dari depan perapian yang hangat sambil menikmati ikannya sedikit demi sedikit dengan tatapan geli. Sejak itu, menurut orang-orang China, anjing menerkam kucing begitu mereka melihat ekornya.


#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Kamis, 04 September 2014

Day 14: Gergasi dan Bocah-Bocah Kaleng



Masih ingatkah kalian dengan Gergasi? Raksasa bertubuh besar namun pikirannya kosong seperti tong. Setelah ia terusir dari desa sebelumnya, ia pergi ke desa sebelah dan melanjutkan kebiasaannya memakan anak kecil.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya dan dia tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Dengan alis tertekuk dan muka yang cemberut, ia berjalan lurus sambil mencari-cari anak kecil. “Tidak ada anak. Tidak ada bayi. Aku lapar!” gumamnya sambil menendang pohon ek tua sampai tumbang di tengah jalan. Segera terdengar bunyi berderit dari roda sebuah bus. Teriakan tiba-tiba bergema.

Dengan penasaran, Gergasi memandang ke kendaraan itu. Ia mengangkatnya, “Apa ini?” Dia mengambil bis itu dan mengangkatnya setinggi mata. Ternyata itu adalah bis sekolah yang penuh dengan anak-anak, kurang lebih lima puluh jumlahnya. Semua berteriak ketakutan ketika melihat muka jelek Gergasi yang menyeringai dari jendela.

“Bocah-bocah dalam kaleng! Hore!” seru Gergasi yang belum pernah melihat bis. Dia merobek bagian depan mobil seperti membuka kaleng, melemparkan pengemudinya seperti serangga, lalu seperti orang mengosongkan sekantong permen, ia menuangkan isi bis itu ke dalam tas yang dipakainya. Beberapa anak berusaha memegang kursi bis erat-erat, namun karena Gergasi mengocoknya begitu keras, semua anak terjatuh k etas Gergasi. Dengan senyum puas, Gergasi melangkah pergi ke rumahnya.

Sesampainya di dapur, Gergasi mengambil baskom sebesar perahu dan memnuhinya dengan potongan-potongan cokelat. “Sekarang, aku hanya perlu mengupas mereka!” Gergasi bernyanyi sambil mengeluarkan anak-anak itu dari tas dan membuka pakaian mereka. Lalu, dia meletakkan mereka satu per satu de dalam baskom cokelat. Sementara memasak, ia bernyanyi keras-keras dengan suara sumbangnya, “Selamat ulang tahuuuunn, Gergasi! Se-la-mat u-lang ta-hun!”

Gergasi bahagia sekali. Belum pernah ia menangkap anak-anak sebanyak itu sekaligus. Ketika selesai memasak, Gergasi mencari korek api dan sendok panjang seperti dayung untuk mengaduk. Ia membungkuk ke dalam baskom. Alangkah herannya dia! Tak ada cokelat lagi! Bahkan secuil pun!

“Kemana cokelat itu? “, serunya

“Anda tentu lupa menambahkannya,” kata anak kecil dengan kumis aneh berwarna cokelat tua.

“Ya pasti begitu,” gumam Gergasi kesal

“Pergilah mengambilnya. Kami akan menunggu anda di sini” saran seorang anak gadis kecil yang giginya juga berwarna cokelat.

“Benarkah kalian akan menungguku?” Tanya raksasa menyeramkan itu dengan ragu-ragu.

“Tentu! Kami akan menunggu baik-baik di sini sampai anda datang dan memakan kami,” kata seorang anak disambut anak-anak lain yang menunjukkan senyuman berwarna cokelat tua.

“Baiklah kalau begitu! Aku akan bergegas!”

Gergasi cepat-cepat keluar dan berlari ke toko bahan makanan yang terdekat dan kembali dengan mendekap banyak sekali cokelat. Menurut kalian, apakah anak-anak itu masih ada di dalam baskom? Tentu saja tidak! Mereka sudah berlarian entah kemana meninggalkan rumah Gergasi si raksasa bodoh.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Rabu, 03 September 2014

Day 13: Badra dan Bakhir


Putri Badra terlahir dengan kekuatan magis. Ia dapat memberikan perintah kepada matahari dan matahari akan menurutinya. Ayahnya, sang Raja, sangat kagum pada kekuatan itu, sehingga ia menganggap tak seorang laki-laki pun layak menikahi putrinya. Setiap kali ada pangeran kerajaan yang datang dan melamar putrinya, Sang Raja selalu mengusir mereka.

Suatu hari, di hari ulang tahun Putri Badra yang keduapuluh, seorang pangeran muda bernama Bakhir melamar Badra. Ia sangat tampan. Rambutnya berkilau seperti emas, pandangannya sangat lembut, dan bibirnya merah seperti mawar. Putri Badra jatuh cinta kepadanya dan memutuskan akan menikah dengannya. Tanpa menunggu restu dari ayahnya, ia melarikan diri dengan Bakhir.

Mendengar putrinya melarikan diri, Raja melakukan pengejaran. Saat hampir tertangkap, Badra berpaling dan berkata kepada matahari, “Matahari, ubahlah aku menjadi gurun dan kekasihku menjadi unta.” Dengan segera, matahari menuruti kemauan sang Putri. Ketika ayahnya tiba, ia melihat unta dan bertanya kepadanya, “Unta, apakah kamu melihat sepasang anak muda yang melarikan diri?”

“Tidak. Tidak pernah ada orang yang datang ke gurun ini” jawab unta.

Ketika Raja pergi, kedua anak muda ini kembali menjadi manusia dan mulai lari lagi. Namun, Raja kembali mengejar mereka. Ketika Badra melihat bahwa ayahnya hampir menyusulnya, ia berpaling kepada matahari dan berkata, “Matahari, ubahlah aku menjadi kawanan domba dan kekasihku menjadi gembala”

Ketika Raja muncul di tempat di mana ia mengira dapat menemukan kedua anak muda itu, ia hanya melihat seorang gembala yang dengan tenang menjaga domba-dombanya. “Gembala, apakah kamu melihat seorang pemuda yang ditemani seorang gadis lewat?” Tanya sang Raja. Sang gembala menggelengkan kepalanya dan Raja pun pergi.

Begitu Raja pergi, mereka kembali menjadi manusia. Sayang sekali, Raja, yang lebih cepat dari mereka segera menyusul mereka kembali.

“Matahari, ubahlah aku menjadi sungai dan kekasihku menjadi ikan,” sang Putri kembali meminta kepada matahari. Beberapa menit kemudian, Raja tiba di tepi sungai dan kali ini, ia paham bahwa putrinya menggunakan kekuatan magisnya untuk menipu dirinya. “Terkutuk! Aku ingin agar pangeranmu berhenti mencintaimu!” teriaknya marah sambil melempar batu ke sungai, lalu ia pergi dari tempat itu. Batu ini mengenai kepala Bakhir. Ketika Bakhir kembali menjadi manusia, ia lupa pada Badra dan berlalu bahkan tanpa melihatnya.

Sang Putri begitu sedih karena pangeran melupakannya. Ia hidup dalam kesepian selama beberapa bulan. Ia berjalan dari kota ke kota. Suatu hari, ia mendengar bahwa seorang pangeran bernama Bakhir akan menikah. Dia pergi ke istana dan melihat pemuda itu sedang berada di dekat jendela.

“Matahari, kirimkan aku seekor merpati gaib,” mohon sang Putri. Segera saja seekor merpati turun ke tangan sang putri. Ia menggumamkan beberapa kata, dan burung itu terbang ke arah jendela, tempat pangeran Bakhir berdiri. Ia menemui sang pangeran dan bernyanyi dengan suara merdu, “Bakhir kekasihku, apakah kamu lupa padaku? Aku Badra, tunanganmu. Bagaimana kamu bisa meninggalkan aku?”

Dengan segera, pangeran mengenali suara Badra. Ia menggosok-gosokkan jari ke matanya seolah baru bangun dari mimpi. Ketika ia membuka matanya kembali, ia melihat sang putri menunggunya di depan istana. Ia lari menjemputnya dan memperkenalkan Badra kepada semua orang sebagai calon istrinya. Pesta pernikahan segera diadakan dan khusus pada malam itu, matahari tidak terbenam.

#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Selasa, 02 September 2014

Day 12: Fullbert, Teka-Teki, dan Kurcaci



Hari ini Fullbert berusia dua puluh tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ayah dan ibunya memanggil Fullbert untuk berbicara sangat serius.

“Fullbert anakku, usiamu sudah cukup untuk meninggalkan rumah. Namun sebelumnya, kami ingin memberitahukan suatu rahasia besar padamu. Ketahuilah bahwa kami bukanlah orangtua kandungmu. Dua puluh tahun lalu, kami menemukanmu di bawah jembatan dan mengambilmu,” kata ayahnya. Ia mengeluarkan sebuah benda berkilau dari sakunya. “Liontin ini ada bersamamu sejak bayi. Bawalah. Siapa tahu ia akan membawa engkau pada orangtua kandungmu”

Fullbert yang lembut hatinya memeluk kedua orangtua angkatnya. Ia meyakinkan mereka bahwa ia akan selalu menganggap mereka sebagai orangtuanya. Tak lama sesudah itu, ia pergi berkelana mengelilingi dunia. Ia menyeberangi sawah, hutan, dan laut sampai akhirnya ia tiba di sebuah negeri kecil yang nampaknya tidak berpenghuni. Tidak ada teriakan, tawa, bahkan suara apapun selain angin yang berhembus kencang. Karena penasaran, Fullbert mengetuk pintu salah satu rumah di situ dan bertanya mengenai apa yang terjadi di sana.

“Seorang kurcaci jahat meneror kerajaan kami. Setiap pagi, dia akan memberikan teka-teki yang tidak bisa dipecahkan oleh siapapun. Lalu, sebagai hukumannya, dia akan menangkap seorang penduduk dan membawanya ke rumahnya,” jawab mereka. “Apa yang dilakukannya terhadap penduduk itu?” Tanya Fullbert.

“Ia sedang membutuhkan budak untuk membangun lapangan sepak bola yang luas di rumahnya di atas gunung”

“Mengapa kalian tidak menangkapnya? Kurcaci tentunya bukan lawan yang sulit, bukan?” Fullbert bertanya-tanya.

“Biarpun kecil, kekuatannya luar biasa! Ia dapat menumbangkan sebuah pohon besar dengan sentilan jarinya. Hanya ada satu cara mengalahkannya yaitu menjawab teka-tekinya. Seorang penyihir telah mengutuknya: ia harus membuang dirinya ke sumur apabila ada orang yang berhasil menjawab teka-tekinya. Raja kami sudah berjanji untuk memahkotai orang yang berhasil menjawab teka-teki itu”

Keesokan paginya, Fullbert melihat seorang laki-laki kecil pergi ke alun-alun dengan melompat-lompat riang. Dengan topi kerucutnya yang merah dan janggutnya yang pirang, dia sama sekali tidak terlihat menakutkan. Kurcaci itu menopangkan tangannya di pinggir sumur, membuka mulutnya yang lebar seperti perapian dan bergerigi seperti gergaji.

“Siapa yang hari ini mau memecahkan teka-teki?” tanyanya. Fullbert mengangat tangannya. Si kurcaci terkekeh-kekeh sambil memandangnya dengan mata kecilnya yang kecil dan berkata keras-keras, “Di luar, rumahku hijau tua. Di dalam semuanya merah muda. Pendudukku kecil dan hitam. Untuk masuk ke rumahku, ambillah kunci baja. Siapakah aku?”

Fullbert berpikir sejenak, lalu ia menjawab “Itu semangka: kulitnya hijau dan dagingnya merah muda. Biji-bijinya berwarna hitam dan kecil. Untuk memasukinya, kita harus membukanya dengan pisau baja”

Kurcaci itu meringis seram dan dengan menjerit keras, ia menceburkan dirinya ke dalam sumur. Semua warga yang menyaksikan bersorak gembira.
Beberapa hari kemudian, tibalah upacara penobatan raja. Seluruh rakyat berkumpul di alun-alun. Orangtua angkat Fullbert juga hadir di sana. Dengan mahkota di tangannya, raja tua itu berjalan ke arah Fullbert. Tiba-tiba, ia melihat kilauan cahaya di dada Fullbert yang berasal dari liontin yang dipakainya. “Dimana kamu menemukan benda ini?” tanyanya pada Fullbert.

“Saya tidak menemukannya. Menurut orangtua angkat saya, benda ini selalu bersama saya sejak saya ditemukan”

Mendengar itu raja memeluk Fullbert. Betapa bahagianya ia hari itu. Ia menemukan kembali anaknya yang diculik saat masih bayi. Mahkota yang diterima Fullbert karena kepandaiannya, juga kembali kepadanya karena asal-usulnya. Fullbert benar-benar dilahirkan untuk menjadi seorang raja!


#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory

Senin, 01 September 2014

Day 11: Kenzo, si Anak Laut




Zaman dahulu kala di Jepang, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Kenzo. Ia sangat senang berenang di laut dan ia merasa bahwa ia hanya senang ketika ia berada di dalam air. Ia suka menjelajahi dasar laut dan melihat ganggang-ganggang menyapanya dengan lembut.

Pada pagi ulang tahunnya yang kesepuluh, ia mengapung terlentang dan berdesah, “Ah, alangkah inginnya aku menjadi ikan!” Seketika itu juga, ikan besar berwarna merah keemasan muncul dari gelombang laut.

“Kenzo yang baik. Laut dan seisinya sudah menganggapmu sebagai salah satu dari mereka karena kamu lebih banyak menghabiskan waktu di air daripada di darat. Maka dari itu, sebagai hadiah ulang tahunmu, kami menawarkan untuk mengubahmu menjadi ikan sepanjang hari. Kamu akan kembali saat matahari terbenam,” katanya.

Kenzo bersorak gembira. Ia menyetujui persyaratan yang diberikan. Ikan itu berkata lagi, “Hati-hati dengan mata kail, Kenzo” Lalu ikan itu menghilang di kedalaman laut. Anak laki-laki itu ingin merenggangkan kakinya untuk berenang, namun ia merasa bahwa ia tidak bisa lagi memisahkan keduanya. Kaki-kakinya menyatu menjadi ekor yang menyatu dengan sisik. Jari-jarinya juga telah berubah menjadi sirip. Kenzo telah menjadi ikan! Dia menyelam ke dasar laut dan merasa sangat bahagia.

Sepanjang hari, ia menjelajahi dasar laut, bertemu dengan ikan-ikan yang besar dan kecil, dan berenang dengan cepat. Ia lupa segala-galanya. Bahkan ia lupa makan. Ketika hari mulai menjelang sore, kelaparan datang menyiksa perutnya. Ia sangat kelaparan dan merasa hampir pingsan. Pada waktu itulah dia melihat kelap kelip ikan kecil yang cantik berwarna keperakan.

Kenzo menyergapnya, membuka mulutnya, dan menelannya. Ternyata ikan itu adalah umpan dengan mata kail yang disembunyikan di dalamnya! Kenzo merasa rahangnya tertusuk dan sakit sekali. Pada saat yang sama, ia merasa ditarik ke atas dan beberapa detik kemudian, ia bergerak-gerak di udara bebas, di dasar sebuah perahu. Kenzo buru-buru menggerakkan bibirnya untuk menjelaskan keadaannya. Namun tak ada satupun suara yang keluar.

Si nelayan melemparkannya dalam sebuah ember besar berisi air dan segera mendayung ke tepi. Sesampainya di sana, Kenzo melihat seorang perempuan yang dikenalnya berjalan ke arah perahu. Itu ibunya! Ibunya pasti dapat menyelamatkannya. Kenzo dengan cepat menggerakkan bibirnya lagi untuk memanggil ibunya.

Ibunya memandang Kenzo si ikan dengan penuh perhatian.”Ikan besar ini cocok sekali untuk makan malam. Kebetulan anak laki-lakiku berulang tahun. Tapi mengapa binatang ini terus menggerakkan mulutnya?”

“Iya,”, kata si nelayan dengan tersenyum, “aku tidak pernah melihat ikan secerewet ini.” Perempuan itu lalu pergi membawa Kenzo di keranjangnya. Kenzo putus asa. Ibunya saja tidak mengenalinya, apa yang dapat diharapkannya? Sesampai di rumah, ibunya meletakkan keranjangnya di dapur dan meminta juru masaknya untuk memasak. Juru masak itu kemudian pergi mengasah pisau. Pada saat yang sama, matahari mulai terbenam di balik gunung. Sisik-sisik Kenzo berjatuhan, sirip-siripnya kembali menjadi tangan, dan ekornya menjadi kaki.

Ketika si juru masak kembali dan melihat majikan mudanya terbaring di atas papan untuk dipotong, dia menjatuhkan pisaunya, menjerit, dan berlari pergi. Malam itu, di depan keluarganya yang berkumpul, Kenzo menceritakan kisahnya yang aneh. Dan sejak hari itu, dia tidak pernah lagi makan ikan.
#fairytale #dongeng #dongenganak #ceritaanak #fabel #30harimendongeng

Dikutip dari 30 Cerita Ulang Tahun, karangan Catherine Mory