“Hari Minggu? Saya ujian… Ga bisa”
Kata-kata itu menjadi tanda tanya bagi teman-teman saya yang menghubungi saya semester lima yang lalu. Mereka berulangkali memverifikasi “Minggu loh, Nya. Hari Minggunya. Masa lo ujian?” dan berulangkali pula saya bilang “Iyaaa… Gue ga bisa… Ujian.”
Saya baru saja selesai melewati tri-semester neraka jahanam Psikologi. Buat angkatan 2009 yang baru saja mengalami perubahan kurikulum, semester tiga sampai lima bukanlah semester yang bisa santai-santai di weekend, karena kalo masih bisa santai, maka weekdaysnya akan dibantai sama tugas dan deadline.
Puncak dari tri-semester jahanam di Psikologi, menurut saya, berada di semester lima. Saya harus menghabiskan waktu untuk mengerjakan konstruksi tes, membuat modul pelatihan, menghafalkan materi metodik tes, mencari narasumber PIO, membuat paper Klinis, mengurus PBM, dan melatih diri di Dasar Konseling. Beruntungnya saya, di semester lima ini saya selalu sekelas dengan peer group saya. Bisa dipastikan kami selalu satu kelompok di hampir seluruh tugas mata kuliah.
Minimal sebulan sekali, kelompok kami akan membuat janji untuk menginap bersama di kost salah satu anggota. Kalau sudah berkumpul, kami punya tugas masing-masing. Satu orang sibuk mengerjakan Konstruksi Tes di meja belajar, dua lagi sibuk buat materi Pelatihan, sisanya guling-gulingan di kasur menunggu giliran kerja. Saya masih ingat bagaimana kami harus berpetualang mencari makanan di malam takbiran, bagaimana kami berdiskusi membuat item, bagaimana kami pusing mengatur keuangan kami karena harus keluar uang untuk ini-itu, dan bagaimana kami menyadari bahwa kost teman kami punya ‘penunggu tak terlihat’. Banyak canda tawa terekam di memori saya. Di sela-sela kesibukan itu, kami masih punya waktu untuk memesan martabak di tengah malam, menonton video Cherrybelle, mendengarkan curhat, dan menghafalkan materi Metodik Tes bagi yang akan praktikum.
Kesibukan mahasiswa FP UAJ terkadang menjadi tidak masuk akal bagi orang-orang di luar yang tidak mengerti. Saya sendiri pernah disangsikan oleh teman saya (sebut saja mantan pacar) yang protes karena saya ga pernah ada waktu untuk menghubungi dia. Teman saya yang lain akhirnya turun tangan dan memarahi oknum ini, “Lo pernah tau ga ada Fakultas yang hari Minggunya dipake buat ujian? Pernah tau kalo ada Fakultas yang kalo ngerjain tugas bisa sampe ga tidur? Tuh, fakultas Psikologi Atma!” (FYI, teman saya ini adah mahasiswa Atma Jaya non Psikologi, sedangkan si oknum adalah mahasiswa non Atma Jaya dan non-Psikologi).
Kesibukan-kesibukan kuliah dan organisasi ini membuat saya bersyukur, walaupun kadang jadi kurang tidur. Mereka semua membuat saya berkembang menjadi pribadi yang jauh lebih mengerti dengan diri saya dan dunia. Saya menyadari bahwa tugas-tugas menumpuk yang kadang membuat saya nyaris gila ini adalah konsekuensi saya memilih fakultas psikologi (yang katanya) terbaik. Tugas-tugas ini menjadi bagian dari salib saya yang nantinya akan membawa saya dalam kemenangan meraih gelar S1 Psikologi. Sekarang, di semester enam ini, kesibukan saya mulai berkurang dan tidak menggila seperti di semester sebelumnya. Saya dan teman-teman lain sudah berhasil melewati tri-semester ini dengan selamat. Bagaimana dengan kamu?
Ps: Selamat ulang tahun Fakultas Psikologi UAJ. Semakin luar biasa, onfire, dan jago ya!
Ini adalah cerita saya, tentang dunia tempat saya berdiri dan berpijak, tentang keluarga saya, tentang sahabat saya, tentang cinta dan benci, tentang masa lalu dan masa kini. Saya tidak meminta anda untuk protes... Semua ini cerita saya dan mari berbagi tulisan :)
Sabtu, 02 Juni 2012
Is It Fair, God?
Semua orang bilang kalau hidup ini harus adil… permainan bola saja punya sembotan “Fair Play” tapi, pernahkah kita berpikir kalau kita seringkali bertindak tidak adil tanpa sadar? Keadilan menjadi salah satu hal yang katanya dijunjung tinggi di Indonesia. Bahkan Pancasila punya dua sila yang menitikberatkan pada keadilan, yaitu sila kedua dan kelima. Sayangnya, akhir-akhir ini kita jarang sekali melihat realisasi dari sila ini di Indonesia. Banyak orang bermain-main dengan istilah “Bhineka Tunggal Ika” menjadi “Bhineka Tinggal Nama” suka atau tidak suka, semboyan Indonesia memang sudah berubah. Banyak sekali ketidakadilan yang ada di sekitar kita, mulai dari sistem ekonomi, masalah honor, sampai urusan pembangunan tempat ibadah...
Mungkin kita seringkali berpikir bahwa “Kenapa pemerintah bersikap tidak adil kepada kaum minoritas?”, “Kenapa ormas-ormas ini bertindak seenaknya? Tidak pernahkah mereka memikirkan orang-orang lain yang juga punya kepentingan?” tanpa pernah berkaca pada diri kita sendiri, “Sudah adilkah kita?” Saya tidak mau panjang lebar mengajak kita untuk berefleksi tentang bagaimana sejauh ini kita bertindak adil secara horizontal dengan sesama. Selama ini, kita sendiri mungkin belum bisa bersikap dan bertindak adil bagi dunia kita. Tuhan Yesus sendiri tidak pernah menginginkan untuk terus menerus dibela dan didahulukan. Ia sangat menjunjung tinggi keadilan, termasuk dalam hal menjadi warga Negara yang baik. Ia tetap berkata, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. (Matius 22:21):" Buat saya, Tuhan menginginkan kita menjadi warga Negara yang seimbang, yang tidak melulu mengurusi politik dan hal-hal duniawi, namun juga tidak melulu mengurusi urusan gereja dan hal-hal akhirat. Sampai bagian ini, sudah seberapa jauhkah kita adil terhadap Indonesia dan Tuhan sendiri?
Saya mau membahas hal lain lagi. Saya tidak tahu seberapa banyak orang yang pernah berkata begini dalam hidupnya “Kenapa ya, Tuhan kok ga adil banget? Aku terus-terusan hidup menderita, sedangkan dia terus-terusan bahagia?”, “Kenapa ya, Tuhan ga adil? Doa dia selaluuu dikabulkan, sedangkan doa aku ga pernah dikabulkan?” Pernahkah sekarang kita berefleksi, “sudah cukup adilkah kita untuk Tuhan?”
Tuhan memang ga pernah menuntut kita untuk terus-menerus di gereja dan ikut pelayanan ini-itu agar kita selalu dekat denganNya. Tuhan tetap saja memberikan waktu 24 jam buat kita untuk beraktivitas. Tapi kadang kita ga sadar, bahwa kita lupa untuk bersikap adil kepada Tuhan. Mungkin teman-teman pernah membaca bahwa Tuhan selalu menunggu kita untuk berbicara denganNya. Tuhan mau menunggu kita yang selalu disibukkan dengan urusan kerja kita di dunia.
Pagi-pagi, kita bangun terburu-buru dan lupa berdoa pagi, padahal Tuhan menunggu disapa oleh kita. Tuhan tidak tinggal diam, Ia menyapa kita lewat celotehan mama di pagi hari, lewat kicauan burung, lewat hangatnya sinar matahari, tapi kita tidak sadar. Tuhan masih bersabar menunggu sampai kita punya waktu luang untuk istirahat makan siang, tapi karena kita begitu lapar dan lelah dengan pekerjaan tadi, kita lupa untuk berterima kasih kepadaNya untuk setiap bulir nasi yang kita makan. Tuhan mengerti, dan ia terus menunggu sampai waktu kita beristirahat lagi, barangkali di akhir hari kita punya waktu luang untuk bercerita 10-15 menit tentang hari kita kepadaNya, namun ternyata BBM, tugas, dan laptop lebih menyita perhatian kita dan akhirnya kita tertidur tanpa berdoa dan berbicara kepadaNya. Begitu setiap hari… Tapi, Tuhan selalu menunggu dan menunggu kita setiap hari. 24 jam sehari. Tujuh hari seminggu. Tiga ratus enam puluh lima hari setahun.
Saya selalu kagum dengan kesabaran Tuhan. Ia mampu menunggu kita berhari-hari, bahkan bertahun-tahun lamanya untuk disapa oleh kita, anak-anak kesayanganNya. Kita sendiri belum mampu menjadi sabar seperti Tuhan. Iyalah, disuruh nungguin ibu belanja di pasar selama 1 jam aja ngedumelnya udah panjang lebar… Apalagi disuruh nunggu kepastian dari gebetan yang belum jelas juntrungannya #eehh hahahaa.
Sadar atau tidak, kita seringkali menuntut Tuhan dan menuduh Tuhan tidak adil. Kita seringkali memarahi Tuhan atas segala kemalangan yang menimpa kita. “Kenapa sih Tuhan ngasih masalah yang berat banget kaya gini ke gue? Ga adil… Apa Tuhan ga tau kalo gue ga sanggup?” Kata-kata ini yang seringkali keluar dari mulut kita, tanpa sebenarnya kita sadari bahwa Tuhan memberi masalah-masalah berat agar kita mengingat Dia. Tuhan begitu ingin berbicara dengan kita dan berharap kita mencari Dia di tengah-tengah kalutnya masalah kita. Tuhan selalu tahu batas kekuatan kita dan Tuhan tidak pernah lupa. Sayangnya, sampai di titik ini pun, bukannya semakin dekat dengan Tuhan, kita malah lebih sering menjauh dan terus-menerus menyalahkan Tuhan dan keadaan.
Sampai di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kita untuk kembali melihat ke masa lalu… Seberapa adilkah saya kepada Tuhan yang sudah menciptakan dan menemani saya selama ini? Betulkah selama ini Tuhan yang memang tidak adil kepada aku? Atau justru aku yang tidak adil kepada Tuhan?
27 Mei 2012
Pada hari Pentakosta, roh Tuhan berupa ilham juga turun padaku! :D
00:37
Minggu, 15 April 2012
Telur, Kelinci, dan Easter :)
Minggu, 15 April 2012
12.05
Hari raya Paskah baru lewat seminggu yang lalu. Saya dan umat Katolik di seluruh dunia masih merasakan euphoria perayaan maha agung ini. Baru seminggu yang lalu, saya merasakan liburan yang sebenarnya bukan liburan, karena saya tetap datang ke kampus, sekedar latihan atau sekalian ikut ibadat dan misa. Saya juga ikut-ikutan kepo sama panitia Paskah. Tahun ini adalah tahun pertama saya tidak menjabat apapun dalam kepanitiaan Paskah. Biasanya, saya pasti berada di satu divisi, Liturgi. Selama tiga hari perayaan ini, saya mencoba mencari inspirasi untuk kembali menulis tentang masa Paskah, tapi saya ga berhasil menangkap ilham. Mungkin karena saya juga terlalu sibuk mengurus latihan VOX Alberti yang penuh darah selama persiapan Paskah :p
Tidak lama setelah hari Minggu berlalu, saya menemukan post unik dari seorang teman misdinar paroki tetangga. Kenapa saya bilang unik? Karena di post itu terdapat sebuah penjelasan singkat yang intinya memberitahukan bahwa tradisi telur, kelinci, dan ucapan “Happy Easter” sebenarnya merupakan ajaran sesat. Saya lupa mengingat secara detail dan secara pintar tidak meng-copy post yang menarik itu, karena saya berpikir bahwa si pengirim tidak akan menghapusnya. Pada intinya, post itu bercerita kalau telur dan kelinci itu ga ada hubungannya sama Paskah dan ucapan Happy Easter adalah sesat karena berkaitan dengan pemujaan Dewa zaman dahulu yang entah siapa namanya itu. Post ini menjadi semakin menarik, karena ada tanggapan sana-sini yang meminta penjelasan lebih lanjut, namun si empunya post bilang kalau dia ga ada info lagi karena cuma share dan copas dari orang lain. Saya awalnya ga peduli-peduli amat, sampai junior saya di Mistara mengirimkan sms, “Kak, udah baca wallnya **** yang ada di grup dekenat tentang ‘Happy Easter’? Emang itu bener ya? Setau aku telur itu malah lambang ‘terlahirnya kembali’… Hemm… Sapa tau lu tau kaks”
Saya memang ga tau banyak makna dari simbol-simbol Katolik dan urusan istilah-istilah bahasa itu. Saya akhirnya mencoba untuk menginterpretasikan barang-barang dan ucapan itu menurut versi saya sendiri. Ga usah terlalu dipercaya dan ga usah diperdebatkan juga. Toh ini versi saya, kalau ada di antara kamu yang ga setuju sama saya, ga masalah juga kok. Pertama, saya mau menginterpretasikan si telur.
Saya sependapat dengan junior saya yang bilang bahwa telur itu adalah lambang kehidupan baru. Telur adalah bentuk perlindungan pertama dari unggas-unggas dan beberapa hewan lainnya. Telur kecil itu berisi individu baru yang bisa menjadi apa saja. Paskah juga mengajak manusia menjadi baru. Bukan kembali menjadi seperti bayi baru lahir seperti yang dibayangkan oleh Nikodemus (bener ga sih?), tetapi menjadi individu yang imannya diperbaharui. Paskah membuat kita kembali menetas seperti anak ayam. Meretakkan cangkang dosa yang selama ini menghimpit dan membuat dunia kita jadi sempit. Segalanya diperbaharui dalam Paskah, termasuk janji baptis kita. Dalam misa malam Paskah juga biasanya dilaksanakan pembaptisan. Baptis adalah salah satu sakramen inisiasi yang membuat mereka yang dibaptis masuk dalam kehidupan yang baru. Kehidupan sebagai anak-anak Allah dalam Kerajaan Allah.
Kristus sendiri juga meretakkan kubur dan bangkit menjadi pribadi dalam wujud baru dengan porsi cinta dan kesucian yang sama. Cangkang telur adalah lambang perlindungan bagi individu yang di dalamnya. Cangkang menjadi zona nyaman bagi individu yang berlindung di baliknya. Ketika kita berani keluar dari cangkang ini, berarti kita keluar dari zona nyaman kita, zona yang kita jalani setiap harinya, zona yang mungkin berisi dosa-dosa dan kelemahan kita dalam dunia. Keluar dari zona nyaman ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Saat-saat seperti ini mengingatkan kita untuk berani keluar dari zona nyaman duniawi kita dan mencoba zona baru yang sesuai dengan rencana Allah. Adakah yang sudah berani menjadi individu baru di zona yang baru?
Simbol kedua adalah kelinci. Hewan lucu berkaki empat dan bertelinga panjang (dan kadang berperut buncit) ini juga seringkali muncul dalam ucapan Selamat Paskah dan dekorasi paskah. Saya juga ga ngerti sih kenapa harus kelinci… Hahaha… Mungkin rencananya seperti ini, kelinci adalah hewan bertelinga panjang. Telinga adalah alat pendengaran makhluk hidup. Telinga adalah saluran dimana Tuhan menyampaikan pesannya pada manusia. Lewat telinga, manusia mendengarkan sabda Tuhan sebelum meresapkannya dalam hati masing-masing dan akhirnya dilupakan atau dilakukan. Telinga kelinci yang panjang mungkin ingin mengingatkan kita bahwa kita sebagai ciptaan yang paling dikasihinya harus mau mendengar lebih banyak lagi… harus bisa lebih peka mendengar suara Tuhan yang tidak keluar dari mulut Tuhan secara langsung, tetapi melalui firman-firman Tuhan atau bahkan lewat kejadian-kejadian di sekitar kita. Sabda-sabda yang sudah masuk ke telinga ini bukan cuma minta didengar, tetapi juga minta dijawab dan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari. Munculnya kelinci dalam kartu-kartu Selamat paskah mungkin mau mengingatkan kita untuk semakin belajar mendengarkan sabda dan menjawab panggilan itu.
Nah… yang terakhir adalah perihal ucapan Happy Easter yang entah kenapa alasannya dibilang sesat. Ucapan seperti ini katanya berkaitan dengan peringatan dewa dewi apalah itu ga tau. Hmmm, perayaan Katolik sepertinya berkaitan sekali dengan tradisi-tradisi dari Yunani atau zaman dulu itu lah ya… Natal juga katanya bukan dirayakan pada tanggal 25 Desember, karena itu bukan tanggal kelahiran Yesus. Yah… apapun itu, toh umat Kristiani tidak pernah mau ribet untuk memindahkan hari Natal ke tanggal lain. Begitu juga dengan ucapan Paskah. Kita seakan sudah terbiasa menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris, Happy Easter, dan malas mengubahnya menjadi Happy Passover atau menggunakan bahasa Indonesia sendiri. Saya sendiri lebih senang memaknai ucapan ini dibandingkan Passover… btw, Passover itu artinya apa ya? Saya taunya Fly over nih…
Easter… saya memecah satu kata ini menjadi dua bagian, yaitu ‘East’ dan ‘er’. East diterjemahkan sebagai arah Timur dalam bahasa Indonesia. Saya menghubungkan timur ini dengan Matahari… matahari terbit di sebelah timur kan ya? Matahari adalah benda langit yang bercahaya… bersinar… dan memberikan kehidupan bagi orang-orang yang memilikinya. Imbuhan ‘er’ di belakangnya memberikan kesan ‘bertambah’. Kristus yang bangkit dilambangkan dengan cahaya yang menghalau kegelapan. Cahaya ini digambarkan dengan lilin saat perayaan Paskah. Tapi, kalau kita lihat lebih jauh lagi, Kristus yang bangkit, yang menjadi cahaya ini, dirayakan pada Minggu Paskah. Kristus diyakini bangkit pada pagi hari. Kehadiran Kristus yang menjadi matahari bagi dunia yang penuh dosa inilah yang dirayakan pada Paskah, menurut saya.
Dengan perayaan Paskah ini, umat Kristiani yang mengikut Kristus pun diajak menjadi matahari bagi orang-orang di sekitarnya. Seperti matahari yang terbit di sebelah Timur dan bersinar ke seluruh dunia, kita pun diajak untuk bersinar menerangi kehidupan orang-orang di sekitar kita dengan cara-cara sederhana. Langkah-langkah dan perbuatan kecil yang bermakna di mata Allah. Kita diajak untuk bertambah terang. Diajak untuk memiliki cahaya yang kemilau tetapi hangat, sehingga orang-orang tidak menjauhi kita, namun semakin dekat dengan kita dan semakin dekat dengan Allah tentunya.
Nah… begitulah kira-kira saya memaknai simbol-simbol Paskah yang ada di sekitar saya saat ini. Ga peduli dengan ajaran sesat ini itu, saya tetap memaknai Paskah sebagai kebangkitan Kristus yang mengajak kita untuk meretakkan dosa, semakin mendengarkan Tuhan, dan semakin bersinar. Selamat Paskah 2012! Tuhan Berkati! :D
(Paskah adalah suatu momen untuk berefleksi, sudah PAS KAH kita masuk ke kerajaan Allah? –Rangga Pranendra, 22 tahun, musisi)
12.05
Hari raya Paskah baru lewat seminggu yang lalu. Saya dan umat Katolik di seluruh dunia masih merasakan euphoria perayaan maha agung ini. Baru seminggu yang lalu, saya merasakan liburan yang sebenarnya bukan liburan, karena saya tetap datang ke kampus, sekedar latihan atau sekalian ikut ibadat dan misa. Saya juga ikut-ikutan kepo sama panitia Paskah. Tahun ini adalah tahun pertama saya tidak menjabat apapun dalam kepanitiaan Paskah. Biasanya, saya pasti berada di satu divisi, Liturgi. Selama tiga hari perayaan ini, saya mencoba mencari inspirasi untuk kembali menulis tentang masa Paskah, tapi saya ga berhasil menangkap ilham. Mungkin karena saya juga terlalu sibuk mengurus latihan VOX Alberti yang penuh darah selama persiapan Paskah :p
Tidak lama setelah hari Minggu berlalu, saya menemukan post unik dari seorang teman misdinar paroki tetangga. Kenapa saya bilang unik? Karena di post itu terdapat sebuah penjelasan singkat yang intinya memberitahukan bahwa tradisi telur, kelinci, dan ucapan “Happy Easter” sebenarnya merupakan ajaran sesat. Saya lupa mengingat secara detail dan secara pintar tidak meng-copy post yang menarik itu, karena saya berpikir bahwa si pengirim tidak akan menghapusnya. Pada intinya, post itu bercerita kalau telur dan kelinci itu ga ada hubungannya sama Paskah dan ucapan Happy Easter adalah sesat karena berkaitan dengan pemujaan Dewa zaman dahulu yang entah siapa namanya itu. Post ini menjadi semakin menarik, karena ada tanggapan sana-sini yang meminta penjelasan lebih lanjut, namun si empunya post bilang kalau dia ga ada info lagi karena cuma share dan copas dari orang lain. Saya awalnya ga peduli-peduli amat, sampai junior saya di Mistara mengirimkan sms, “Kak, udah baca wallnya **** yang ada di grup dekenat tentang ‘Happy Easter’? Emang itu bener ya? Setau aku telur itu malah lambang ‘terlahirnya kembali’… Hemm… Sapa tau lu tau kaks”
Saya memang ga tau banyak makna dari simbol-simbol Katolik dan urusan istilah-istilah bahasa itu. Saya akhirnya mencoba untuk menginterpretasikan barang-barang dan ucapan itu menurut versi saya sendiri. Ga usah terlalu dipercaya dan ga usah diperdebatkan juga. Toh ini versi saya, kalau ada di antara kamu yang ga setuju sama saya, ga masalah juga kok. Pertama, saya mau menginterpretasikan si telur.
Saya sependapat dengan junior saya yang bilang bahwa telur itu adalah lambang kehidupan baru. Telur adalah bentuk perlindungan pertama dari unggas-unggas dan beberapa hewan lainnya. Telur kecil itu berisi individu baru yang bisa menjadi apa saja. Paskah juga mengajak manusia menjadi baru. Bukan kembali menjadi seperti bayi baru lahir seperti yang dibayangkan oleh Nikodemus (bener ga sih?), tetapi menjadi individu yang imannya diperbaharui. Paskah membuat kita kembali menetas seperti anak ayam. Meretakkan cangkang dosa yang selama ini menghimpit dan membuat dunia kita jadi sempit. Segalanya diperbaharui dalam Paskah, termasuk janji baptis kita. Dalam misa malam Paskah juga biasanya dilaksanakan pembaptisan. Baptis adalah salah satu sakramen inisiasi yang membuat mereka yang dibaptis masuk dalam kehidupan yang baru. Kehidupan sebagai anak-anak Allah dalam Kerajaan Allah.
Kristus sendiri juga meretakkan kubur dan bangkit menjadi pribadi dalam wujud baru dengan porsi cinta dan kesucian yang sama. Cangkang telur adalah lambang perlindungan bagi individu yang di dalamnya. Cangkang menjadi zona nyaman bagi individu yang berlindung di baliknya. Ketika kita berani keluar dari cangkang ini, berarti kita keluar dari zona nyaman kita, zona yang kita jalani setiap harinya, zona yang mungkin berisi dosa-dosa dan kelemahan kita dalam dunia. Keluar dari zona nyaman ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Saat-saat seperti ini mengingatkan kita untuk berani keluar dari zona nyaman duniawi kita dan mencoba zona baru yang sesuai dengan rencana Allah. Adakah yang sudah berani menjadi individu baru di zona yang baru?
Simbol kedua adalah kelinci. Hewan lucu berkaki empat dan bertelinga panjang (dan kadang berperut buncit) ini juga seringkali muncul dalam ucapan Selamat Paskah dan dekorasi paskah. Saya juga ga ngerti sih kenapa harus kelinci… Hahaha… Mungkin rencananya seperti ini, kelinci adalah hewan bertelinga panjang. Telinga adalah alat pendengaran makhluk hidup. Telinga adalah saluran dimana Tuhan menyampaikan pesannya pada manusia. Lewat telinga, manusia mendengarkan sabda Tuhan sebelum meresapkannya dalam hati masing-masing dan akhirnya dilupakan atau dilakukan. Telinga kelinci yang panjang mungkin ingin mengingatkan kita bahwa kita sebagai ciptaan yang paling dikasihinya harus mau mendengar lebih banyak lagi… harus bisa lebih peka mendengar suara Tuhan yang tidak keluar dari mulut Tuhan secara langsung, tetapi melalui firman-firman Tuhan atau bahkan lewat kejadian-kejadian di sekitar kita. Sabda-sabda yang sudah masuk ke telinga ini bukan cuma minta didengar, tetapi juga minta dijawab dan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari. Munculnya kelinci dalam kartu-kartu Selamat paskah mungkin mau mengingatkan kita untuk semakin belajar mendengarkan sabda dan menjawab panggilan itu.
Nah… yang terakhir adalah perihal ucapan Happy Easter yang entah kenapa alasannya dibilang sesat. Ucapan seperti ini katanya berkaitan dengan peringatan dewa dewi apalah itu ga tau. Hmmm, perayaan Katolik sepertinya berkaitan sekali dengan tradisi-tradisi dari Yunani atau zaman dulu itu lah ya… Natal juga katanya bukan dirayakan pada tanggal 25 Desember, karena itu bukan tanggal kelahiran Yesus. Yah… apapun itu, toh umat Kristiani tidak pernah mau ribet untuk memindahkan hari Natal ke tanggal lain. Begitu juga dengan ucapan Paskah. Kita seakan sudah terbiasa menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris, Happy Easter, dan malas mengubahnya menjadi Happy Passover atau menggunakan bahasa Indonesia sendiri. Saya sendiri lebih senang memaknai ucapan ini dibandingkan Passover… btw, Passover itu artinya apa ya? Saya taunya Fly over nih…
Easter… saya memecah satu kata ini menjadi dua bagian, yaitu ‘East’ dan ‘er’. East diterjemahkan sebagai arah Timur dalam bahasa Indonesia. Saya menghubungkan timur ini dengan Matahari… matahari terbit di sebelah timur kan ya? Matahari adalah benda langit yang bercahaya… bersinar… dan memberikan kehidupan bagi orang-orang yang memilikinya. Imbuhan ‘er’ di belakangnya memberikan kesan ‘bertambah’. Kristus yang bangkit dilambangkan dengan cahaya yang menghalau kegelapan. Cahaya ini digambarkan dengan lilin saat perayaan Paskah. Tapi, kalau kita lihat lebih jauh lagi, Kristus yang bangkit, yang menjadi cahaya ini, dirayakan pada Minggu Paskah. Kristus diyakini bangkit pada pagi hari. Kehadiran Kristus yang menjadi matahari bagi dunia yang penuh dosa inilah yang dirayakan pada Paskah, menurut saya.
Dengan perayaan Paskah ini, umat Kristiani yang mengikut Kristus pun diajak menjadi matahari bagi orang-orang di sekitarnya. Seperti matahari yang terbit di sebelah Timur dan bersinar ke seluruh dunia, kita pun diajak untuk bersinar menerangi kehidupan orang-orang di sekitar kita dengan cara-cara sederhana. Langkah-langkah dan perbuatan kecil yang bermakna di mata Allah. Kita diajak untuk bertambah terang. Diajak untuk memiliki cahaya yang kemilau tetapi hangat, sehingga orang-orang tidak menjauhi kita, namun semakin dekat dengan kita dan semakin dekat dengan Allah tentunya.
Nah… begitulah kira-kira saya memaknai simbol-simbol Paskah yang ada di sekitar saya saat ini. Ga peduli dengan ajaran sesat ini itu, saya tetap memaknai Paskah sebagai kebangkitan Kristus yang mengajak kita untuk meretakkan dosa, semakin mendengarkan Tuhan, dan semakin bersinar. Selamat Paskah 2012! Tuhan Berkati! :D
(Paskah adalah suatu momen untuk berefleksi, sudah PAS KAH kita masuk ke kerajaan Allah? –Rangga Pranendra, 22 tahun, musisi)
MATI LAMPU! DA**Q!!!
Sabtu, 14 April 2012
23: 07
Well, Onya comes back! Saya kembali ingin berbagi dengan kalian semua, yang melewatkan sekian menit di hari ini untuk iseng membaca tulisan saya. Tulisan ini diinspirasi oleh sebuah tweet sederhana dari adik pacar saya “@ar*****ie Sometimes I miss the lights in house is just candle” *apabila ada bahasa Inggris yang salah, mohon dimaklumi* Tweet yang simple, tapi entah kenapa setelah membacanya, saya langsung pengen menulis sambil mengenang masa-masa mati lampu di rumah.
Akhir-akhir ini, Jakarta sering mati lampu mendadak. Kalau sudah begini, twitter saya akan berceloteh tentang keribetan manusia tanpa listrik dan cahaya, misalnya “Dafuq… gue lagi nugas dan tiba-tiba mati lampu” atau “Baru mau tidur, tapi mati lampu… jadi panas dan ga bisa tidur”. Kehadiran lampu dan cahaya yang selama ini kurang disyukuri manusia jadi begitu terangkat apabila ada cerita mati lampu dan tugas yang deadlinenya besok pagi. Banyak manusia yang ga menyadari bahwa mati lampu adalah salah satu masa paling asyik untuk diam… merenung… berpikir… dan galau (kalau mau).
Saya akan mengawali tulisan ini dengan nostalgia masa kanak-kanak saya dan mati lampu. Saya bukanlah orang yang terlalu takut akan gelap. Ketika saya masih anak-anak, dan rumah saya mendapat giliran pemadaman listrik, saya melakukan banyak hal bersama orangtua dan koko saya atau kadang bersama tetangga apabila listrik padam terlalu lama. Hal favorit yang saya lakukan biasanya menyalakan lilin atau senter. Kami sekeluarga biasanya berkumpul di satu kamar, bukan karena takut gelap, tapi karena kami ga ada kerjaan sehingga menghabiskan waktu bersama-sama sambil mengobrol. Papi dan koko saya biasanya akan bermain bayangan di tembok… Tentang kelinci, anjing, ular, dan burung yang bermain-main di tembok. Itu saja. Sudah. Tapi entah kenapa, selalu jadi hal yang menarik untuk disimak dan diingat.
Di kesempatan mati lampu yang lain, mami dan papi bercerita mengenai masa mudanya. Mereka berdua bercerita tentang masa kecilnya, kehidupan keluarga masing-masing, pengalaman di sekolah, kehidupan rohani mereka, pencapaian dalam hal akademis, tentang bagaimana mereka bertemu dan akhirnya menikah, tentang masa-masa di mana saya dan koko saya belum lahir. Semuanya selalu menarik dan seru. Mami segitu sukanya dan senang banget belajar Kimia dan Farmasi (ga turun sama sekali ke anaknya!). Papi yang dulu sempat kerja jadi sales. Cerita kalau papi dan mami jarang berduaan waktu pacaran karena sibuk sama kegiatan gereja. Kami tertawa-tawa bersama sampai akhirnya kami sadar bahwa kamar jadi gerah banget karena kurang oksigen.
Di kesempatan yang lain, saya sibuk menyalakan lilin dan mendekatkan buku pelajaran saya ke lilin itu karena besoknya ada ulangan. Zaman SD mah masih rajin banget-banget… Bukunya banyak dan harus dibaca satu-satu. Rajin banget masih bela-belain belajar padahal mati lampu… Sekarang mah boro-boro… Hahaha… Oh iya, kalo mati lampu, papi saya akan jadi orang paling heboh yang mengurus urusan perlilinan dan penerangan sementara. Entah apa aja yang dilakukannya, tapi tangan doi ga pernah bisa diem. Heran deh…
Mati lampu di masa kecil (sampaii sekarang sih) membuat saya sering mengamati langit ketika lampu sekitar padam. Saya selalu takut melihat langit ketika mati lampu. Kenapa? Karena langit jadi mendadak lebih terang daripada apapun di sekeliling saya. Langit mati lampu itu pelit bintang. Saya jarang banget liat bintang banyak kalo mati lampu… kan serem… >.< Kemarin saya juga mengobrol ringan sama pacar saya mengenai tweet tadi dan mati lampu. Ternyata, keluarga kami mempunyai tradisi yang sama saat mati lampu. Mengutip kata pacar “Mati lampu itu waktunya merenung… refleksi…” Saya sendiri sudah sangat jarang mengalami mati lampu belakangan ini, tapi saya jadi berpikir bahwa mati lampu ini kadang memang diperlukan oleh manusia-manusia yang senang menyibukkan diri seperti saya (dan mungkin kamu yang membaca). Mati lampu dan mati listrik membuat semua benda-benda elektronik kesayangan kita kehilangan daya. Kelamaan twitter.an, BBMan, FB.an, SMSan, membuat gadget-gadget canggih kita kehabisan baterainya dan kita jadi mati gaya. Di saat-saat ini, manusia jadi seperti ke zaman purbakala, ketika barang-barang canggih itu belum ada.
Mati lampu membuat seseorang mengetuk pintu kamar kos sebelahnya, yang selama ini hanya diajak ngobrol via BBM untuk kerjain tugas, untuk mengajak tidur bersama karena takut gelap. Mati lampu membuat seseorang bernyanyi-nyanyi sambil main gitar dan secara tidak langsung mengundang orang-orang di sekitarnya untuk bernyanyi bersama-sama, bukan lagi secara individual dengan earphone menempel cantik di telinga. Mati lampu membuat keluarga yang biasa hanya bisa berkumpul di meja makan dengan alasan kesibukan masing-masing, berkumpul di satu kamar dan bermain bersama. Lihat… Betapa mati lampu bisa kembali mendekatkan mereka yang jauh karena teknologi?
Mati lampu itu saatnya memandang lilin. Belajar dari lilin yang mau berkorban demi menyalakan sesamanya… Belajar dari lilin yang bekerja sama dengan sumbu untuk membuat hidup manusia semakin baik… Belajar dari lilin yang tidak pernah tahu kapan akan mati setelah berkorban… Di tengah hening dan cahaya remang-remang ini, manusia punya waktu untuk melihat dirinya sendiri. Punya waktu untuk berkaca pada bayangannya… Manusia jadi punya waktu untuk berefleksi. Saatnya merefleksi diri kita, apa yang sudah kita lakukan buat kita, buat keluarga kita, orang terdekat kita, buat dunia… Coba deh, kalo mati lampu, nyalakan lilin di tempat yang aman, terus kita tiduran… Refleksi… Mendamaikan diri sendiri yang sudah terlalu disibukkan dengan kerjaan ini itu… kesibukan sana sini… Mungkin lama-lama kita akan tidur… tapi di waktu-waktu sebelum tidur itu, akan ada perasaan tenang, ketika kita mampu mengatur nafas kita. Kita kembali memeriksa batin… menemukan diri sendiri… menemukan kebersamaan dengan keluarga yang selama ini hilang… menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan… Mati lampu tidak selalu jahat kan? Mungkin itu bagian dari rencana Tuhan biar kita ga lupa sama Dia dan diri kita sendiri…
Selamat mematikan lampu dan selamat menemukan diri sendiri dalam hening :)
23: 07
Well, Onya comes back! Saya kembali ingin berbagi dengan kalian semua, yang melewatkan sekian menit di hari ini untuk iseng membaca tulisan saya. Tulisan ini diinspirasi oleh sebuah tweet sederhana dari adik pacar saya “@ar*****ie Sometimes I miss the lights in house is just candle” *apabila ada bahasa Inggris yang salah, mohon dimaklumi* Tweet yang simple, tapi entah kenapa setelah membacanya, saya langsung pengen menulis sambil mengenang masa-masa mati lampu di rumah.
Akhir-akhir ini, Jakarta sering mati lampu mendadak. Kalau sudah begini, twitter saya akan berceloteh tentang keribetan manusia tanpa listrik dan cahaya, misalnya “Dafuq… gue lagi nugas dan tiba-tiba mati lampu” atau “Baru mau tidur, tapi mati lampu… jadi panas dan ga bisa tidur”. Kehadiran lampu dan cahaya yang selama ini kurang disyukuri manusia jadi begitu terangkat apabila ada cerita mati lampu dan tugas yang deadlinenya besok pagi. Banyak manusia yang ga menyadari bahwa mati lampu adalah salah satu masa paling asyik untuk diam… merenung… berpikir… dan galau (kalau mau).
Saya akan mengawali tulisan ini dengan nostalgia masa kanak-kanak saya dan mati lampu. Saya bukanlah orang yang terlalu takut akan gelap. Ketika saya masih anak-anak, dan rumah saya mendapat giliran pemadaman listrik, saya melakukan banyak hal bersama orangtua dan koko saya atau kadang bersama tetangga apabila listrik padam terlalu lama. Hal favorit yang saya lakukan biasanya menyalakan lilin atau senter. Kami sekeluarga biasanya berkumpul di satu kamar, bukan karena takut gelap, tapi karena kami ga ada kerjaan sehingga menghabiskan waktu bersama-sama sambil mengobrol. Papi dan koko saya biasanya akan bermain bayangan di tembok… Tentang kelinci, anjing, ular, dan burung yang bermain-main di tembok. Itu saja. Sudah. Tapi entah kenapa, selalu jadi hal yang menarik untuk disimak dan diingat.
Di kesempatan mati lampu yang lain, mami dan papi bercerita mengenai masa mudanya. Mereka berdua bercerita tentang masa kecilnya, kehidupan keluarga masing-masing, pengalaman di sekolah, kehidupan rohani mereka, pencapaian dalam hal akademis, tentang bagaimana mereka bertemu dan akhirnya menikah, tentang masa-masa di mana saya dan koko saya belum lahir. Semuanya selalu menarik dan seru. Mami segitu sukanya dan senang banget belajar Kimia dan Farmasi (ga turun sama sekali ke anaknya!). Papi yang dulu sempat kerja jadi sales. Cerita kalau papi dan mami jarang berduaan waktu pacaran karena sibuk sama kegiatan gereja. Kami tertawa-tawa bersama sampai akhirnya kami sadar bahwa kamar jadi gerah banget karena kurang oksigen.
Di kesempatan yang lain, saya sibuk menyalakan lilin dan mendekatkan buku pelajaran saya ke lilin itu karena besoknya ada ulangan. Zaman SD mah masih rajin banget-banget… Bukunya banyak dan harus dibaca satu-satu. Rajin banget masih bela-belain belajar padahal mati lampu… Sekarang mah boro-boro… Hahaha… Oh iya, kalo mati lampu, papi saya akan jadi orang paling heboh yang mengurus urusan perlilinan dan penerangan sementara. Entah apa aja yang dilakukannya, tapi tangan doi ga pernah bisa diem. Heran deh…
Mati lampu di masa kecil (sampaii sekarang sih) membuat saya sering mengamati langit ketika lampu sekitar padam. Saya selalu takut melihat langit ketika mati lampu. Kenapa? Karena langit jadi mendadak lebih terang daripada apapun di sekeliling saya. Langit mati lampu itu pelit bintang. Saya jarang banget liat bintang banyak kalo mati lampu… kan serem… >.< Kemarin saya juga mengobrol ringan sama pacar saya mengenai tweet tadi dan mati lampu. Ternyata, keluarga kami mempunyai tradisi yang sama saat mati lampu. Mengutip kata pacar “Mati lampu itu waktunya merenung… refleksi…” Saya sendiri sudah sangat jarang mengalami mati lampu belakangan ini, tapi saya jadi berpikir bahwa mati lampu ini kadang memang diperlukan oleh manusia-manusia yang senang menyibukkan diri seperti saya (dan mungkin kamu yang membaca). Mati lampu dan mati listrik membuat semua benda-benda elektronik kesayangan kita kehilangan daya. Kelamaan twitter.an, BBMan, FB.an, SMSan, membuat gadget-gadget canggih kita kehabisan baterainya dan kita jadi mati gaya. Di saat-saat ini, manusia jadi seperti ke zaman purbakala, ketika barang-barang canggih itu belum ada.
Mati lampu membuat seseorang mengetuk pintu kamar kos sebelahnya, yang selama ini hanya diajak ngobrol via BBM untuk kerjain tugas, untuk mengajak tidur bersama karena takut gelap. Mati lampu membuat seseorang bernyanyi-nyanyi sambil main gitar dan secara tidak langsung mengundang orang-orang di sekitarnya untuk bernyanyi bersama-sama, bukan lagi secara individual dengan earphone menempel cantik di telinga. Mati lampu membuat keluarga yang biasa hanya bisa berkumpul di meja makan dengan alasan kesibukan masing-masing, berkumpul di satu kamar dan bermain bersama. Lihat… Betapa mati lampu bisa kembali mendekatkan mereka yang jauh karena teknologi?
Mati lampu itu saatnya memandang lilin. Belajar dari lilin yang mau berkorban demi menyalakan sesamanya… Belajar dari lilin yang bekerja sama dengan sumbu untuk membuat hidup manusia semakin baik… Belajar dari lilin yang tidak pernah tahu kapan akan mati setelah berkorban… Di tengah hening dan cahaya remang-remang ini, manusia punya waktu untuk melihat dirinya sendiri. Punya waktu untuk berkaca pada bayangannya… Manusia jadi punya waktu untuk berefleksi. Saatnya merefleksi diri kita, apa yang sudah kita lakukan buat kita, buat keluarga kita, orang terdekat kita, buat dunia… Coba deh, kalo mati lampu, nyalakan lilin di tempat yang aman, terus kita tiduran… Refleksi… Mendamaikan diri sendiri yang sudah terlalu disibukkan dengan kerjaan ini itu… kesibukan sana sini… Mungkin lama-lama kita akan tidur… tapi di waktu-waktu sebelum tidur itu, akan ada perasaan tenang, ketika kita mampu mengatur nafas kita. Kita kembali memeriksa batin… menemukan diri sendiri… menemukan kebersamaan dengan keluarga yang selama ini hilang… menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan… Mati lampu tidak selalu jahat kan? Mungkin itu bagian dari rencana Tuhan biar kita ga lupa sama Dia dan diri kita sendiri…
Selamat mematikan lampu dan selamat menemukan diri sendiri dalam hening :)
Selasa, 03 April 2012
I’m Lucky I’m in Love with my (very) Best Friend
12 Maret 2012
02:10
Malam ini, saya kembali tidak bisa tidur… menyebalkan… karena seharusnya jam segini saya sudah bermain-main di alam mimpi dan kembali menyeimbangkan hidup saya yang sekarang timpang dengan kesibukan-kesibukan. Berhubung saya ga bisa tidur, saya akhirnya menghabiskan waktu untuk menulis dan me-review secara singkat hidup saya. Dua bulan ini tepatnya… Hahaha… Kenapa saya mau menulis hal ini? Karena saya belum cerita tentang saya yang ada di 2012 ini. Saya yang akhirnya kembali punya pacar, setelah sibuk berjibaku sama tugas dan ideology sendiri sepanjang semester lima. Alasan keduanya, saya biasanya punya insight yang muncul ketika menulis… Jadi, kenapa ga menulis aja…? Hohoho…
Manusia itu bernama Handy Chie Putra. Cowo yang entah kapan masuk ke dalam hidup saya. MIA 2010, adalah moment yang katanya mempertemukan kami berdua pertama kalinya, tapi saya.tidak.ingat.kalau.dia.ini.peserta… Hahaha… Saya juga ga pernah ingat kapan dia masuk dan menuh-menuhin bangku PAJ dengan badannya yang ampir sama kaya kingkong tapi albino (soalnya dia putih… bwahahaha). Yang saya ingat, saya ngecengin dia sama ‘keponakan’ saya di keluarga Liturgi, terus ga bisa jadian, terus galau, terus titik. Saya juga ga pernah ingat, siapa yang menginisiasi dia masuk KLAS dan kapan… Pokoknya dulu dia kepo, bisa kasih info, sotoy, dan terkadang alay… ya sudah… jadilah populasi kijang di KLAS nambah satu ekor… dan saya ga pernah ingat kapan saya mulai jatuh cinta sama dia… Saya memang pelupa tentang segala sesuatu tentang awal mula saya dan dia… tapi ya udah sih, namanya juga manusia… punya kekurangan lah #ngeles
Semuanya berjalan mulus… lancar… unyu… baik-baik saja… sampai 10 September 2011. Gak ada apa-apa juga sih hari ini… Hari ini adalah hari kedua MIA… semua panitia kerja pol-polan karena udah mau hari terakhir… semua cape… dan kami gila-gilaan di api unggun… Sebelum api unggun, saya dan Handy ga sengaja ketemu di lapangan buat cek terakhir api unggun (beneran loh… ga sengajaaa… sumpah). Sambil menunggu acara di atas selesai, saya akhirnya muter-muter lapangan dan ngeliat langit… Saya emang hobi banget liat langit… dan kebetulan langit cerah, bulan bersinar, dan ada bintang kecil unyu-unyu di langit yang biru. Karena cape liat langit sambil jalan-jalan n menengadah terus, duduklah saya. DUDUK. Bersandar sama tembok empuk yang kebetulan ikut… dan acara liat bintangnya berubah jadi kelitik-kelitikan sampe akhirnya saya jatuh terlentang menantang langit. Saya tertidur di rumput dan ga mau bangun untuk sementara waktu, karena mata saya melihat bulan dan langit malam itu yang cantik sekali. Kami berdua jadi terdiam, padahal tadinya berisiknya saingan sama mercon pas puasa. “Ngapain sih lo?” “Liat langit… Bagus deh… Jarang di Jakarta bisa liat begini…” Sejak saat itu (sampai sekarang), kami berdua masih sering melihat langit… mengecek keberadaan bulan dan bintang… :D
Seperti pernah saya tulis di tulisan pribadi saya, awalnya semuanya berjalan mulus kembali setelah peristiwa itu… Kami punya hidup masing-masing… gebetan masing-masing… kesibukan masing-masing… tapi yaah karena hidup itu lingkaran dan hidup bersama KLAS itu lingkaran setan, akhirnya kami bertemu lagi di KLAS. Denis yang sibuk mengejar cewe (ngejar siapa sih waktu itu? Lupa… ) membuat saya sama Handy mau ga mau jadi deket… Satu paduan suara… satu komunitas… satu PAJ… fixed lah ya… lingkaran setan maksimal… Buahahaha… Saya jadi sering ngobrol dan ketawa-ketawa sama dia. Jangan tanya ngobrolin dan ngetawain apa… Banyak banget… apa juga diobrolin n dibuat ketawa. Kami beresin partitur (baca: saya maksa dia nemenin saya beresin partitur), kami gigit-gigitan tanpa alasan yang jelas, kami ngobrol ngalor ngidul, kami perang dingin, kami pukul-pukulan, kami sms-an, dan tiba-tiba saya jadi sebel kalo dia ga ada. Saya jadi nyariin kalo dia ga muncul di YM atau gangguin saya disms pake gombalan noraknya. Berhubung saya lagi di semester neraka, saya mengabaikan perasaan ini… Walaupun tetap mengganggu Denis dan Kapten Jangkrik dengan sms “Gue galau. Sekian”.
Pergalauan ini berakhir di akhir Desember 2011. Perjuangan buat mencapai berakhirnya juga ga gampang… pake galau panjang lebar alas tinggi diameter dulu… intinya lama dan panjang… sampai akhirnya semua terungkap dan terbuka dengan pembicaraan ngalor ngidul yang bikin senyum-senyum norak sampe jam 3 pagi! Tidurlah kami sambil senyum-senyum di muka persis kaya anak SMP baru dapet sms balesan dari senior pujaannya. Perjuangannya belum selesai. Justru baru dimulai. Perjuangan merasakan jatuh cinta yang bentuknya bukan hati tapi kotak atau lingkaran atau korek api. Kami berdua belajar meyakinkan hati masing-masing… entah yakin untuk apa… mungkin hanya “Ya, saya yakin… kamu yang membuat saya jatuh lagi…”
Saya ga pernah menganggap pertanyaan tanggal 08 Januari 2012 itu beneran, karena saya sudah sering mendengar kata-kata “Lo mau ga jadi cewe gue…?” atau “Makanya jadi cewe gue” di BBM… Jadi, saya pikir Cuma bercanda… Hahaha… sampai akhirnya dia bilang “Eh, serius kali… nanya ini… beneran” dan saya malah salah tingkah. Awkward banget uwooii… Biasanya lo gigit-gigitan… tampar-tamparan… pukul-pukulan… kelitik-kelitikan sampe gila… terus sekarang ditembak… terorerooot… Saya jawab “ntar aja jawabannya…” sambil buka-buka web di laptop… main twitter… ngobrol-ngobrol… sampe ditanya lagi “Jadi mau apa ga…?” begitu seterusnya sampe tiga kali kayanya… Hahahaa… di pertanyaan terakhir, bukannya dijawab langsung, saya malah bilang “Lo ga berusaha nyari jawabannya di mana gitu… payah…”. Saya yang minta ditembaknya bukan via bbm, tapi justru saya yang jawab via twitter… ternyata ngomong langsung itu sulit ya… :p Saya salut kalau kamu berani menyatakan perasaannya secara langsung… :D
Saya memang belum lama menjalin hubungan yang orang bilang ‘pacaran’ sama Handy. Dua bulan juga barusan aja lewat… Hahaha… Tapi saya mau bilang, saya banyak belajar dan berkembang dari hubungan ini. Saya memang masih suka manja seperti dulu… Bukan tipikal orang yang gampang diomongin juga sama siapapun… lebih senang memendam perasaan sendiri dan mengeluarkan kebalikan sama apa yang ada di hati… dan hidupnya sangat ga teratur. Saya juga tipikal orang yang gila dengan kesibukan, karena hampir semua kegiatan yang bisa saya ikuti, akan saya ikuti. Tapi dua bulan ini, saya mencoba belajar juga akhirnya untuk lebih ga manja walaupun udah punya pacar (yang bisa dijadiin bodyguard kemana-mana… dan jadi bantal dimana-mana), saya melunakkan hati saya buat diomongin terutama berkaitan makan dan kesibukan, karena pacar bisa jutek mendadak kalo saya males makan, dan mau ga mau hidup lebih teratur… Punya jam makan… jadwal mandi malem… jadwal tidur… semuanya deh… karena terbawa kebiasaan pacar yang emang hidupnya teratur…
Kami juga belajar berkomunikasi dan membagi waktu, karena memang dua-duanya senang sibuk masing-masing. Jadwal kuliah juga ga punya hari libur yang sama. Akhirnya kami sepakat kalau Sabtu itu hari latihan VOX dan pacaran :D walaupun di hari-hari lain, kami juga punya waktu buat ngobrol, cuma ga pernah sepanjang hari Sabtu atau Minggu. Kami belajar berkomunikasi secara asertif kalo ada hal yang ga sreg, misalnya Handy ga suka saya yang terlalu sibuk dan mau ambil asdos ini itu, yaaa dia coba jelasin efek jangka panjangnya juga buat kuliah saya dan masalah kesehatan saya. Ngomongnya juga baik-baik. Ga boleh pake emosi atau kata-kata kasar :) Saya juga gitu, kalau ga suka Handy terlalu banyak main atau nonton, yaa bilang aja… Sesibuk dan secapek apapun hari itu, kami berusaha buat BBM atau SMS… ngobrol sedikit (walaupun kadang ditinggal tidur :p) Sesibuk apapun, kami masih ada waktu buat “Jangan lupa makan yaaa” atau sekedar “Hoooi jelek… I love you!” dan sesibuk apapun kami, hari itu pasti ada kejadian konyol yang bisa diceritakan atau dibagi :D Love is FUN!
Kami juga belajar buat saling mengerti… Jadi koperasi simpan pinjam… Ngerti kalo pasangan lagi kelas n sibuk ga mau diganggu… Ngerti kalo pasangan harus istirahat… Karena sepanjang semua berjalan, masih masuk akal tuh semua permintaannya. Kami juga mengerti bahwa masing-masing punya masa lalu yang kadang harus dibuka buat dijadikan pelajaran. Bukan buat digalauin.
Pacaran sama Handy itu ga berasa pacaran… Hahahaa… karena kami tetap teman baik yang jadi diri sendiri yang apa adanya di depan pasangan. Ga ada deh tuh cerita jaim… pake baju bagus kalo ketemu pacar… dandan yang cantik kalo ada janji. Ga adaaa! Hahahahaa… Kata Raditya Dika, pacar yang baik tuh kaya cermin, kita bisa jadi diri sendiri depan dia. Nah… itu dia… saya sama Handy juga berusaha buat tetap jadi diri sendiri di depan masing-masing. Ga ada cerita sok tajir mau makan di sini situ… Ga ada cerita jaga image dan ubah penampilan khusus buat pacar… Kalo pagi-pagi ketemu, tetep aja pake baju tidur, rambut ga disisir, muka bantal… Hahaha… Saya dan Handy itu masih seneng bergosip bertiga (atau sekarang berempat :p), masih sering gangguin orang galau, masih sering karaokean lagu galau tiba-tiba, masih suka berantem hal ga penting sampe diketawain orang (“Kenapa juga hantu bunuh hantu? Kan kaya jeruk makan jeruk”), masih suka kelitik2an… pokoknya partner in life, partner in crime abis deh kita!!! Bahahaha… But I really enjoy it… Tiap waktu yang saya habiskan buat ngobrol sama dia… buat jalan bareng… buat ribut-ribut dari hal penting sampe ga penting… ga bisa digantikan sama apapun… :D dan akhirnya, saya bisa memahami kenapa Jason Mraz sama Colbie bisa nyanyi “I’m lucky I’m in love with my best friend”
02:10
Malam ini, saya kembali tidak bisa tidur… menyebalkan… karena seharusnya jam segini saya sudah bermain-main di alam mimpi dan kembali menyeimbangkan hidup saya yang sekarang timpang dengan kesibukan-kesibukan. Berhubung saya ga bisa tidur, saya akhirnya menghabiskan waktu untuk menulis dan me-review secara singkat hidup saya. Dua bulan ini tepatnya… Hahaha… Kenapa saya mau menulis hal ini? Karena saya belum cerita tentang saya yang ada di 2012 ini. Saya yang akhirnya kembali punya pacar, setelah sibuk berjibaku sama tugas dan ideology sendiri sepanjang semester lima. Alasan keduanya, saya biasanya punya insight yang muncul ketika menulis… Jadi, kenapa ga menulis aja…? Hohoho…
Manusia itu bernama Handy Chie Putra. Cowo yang entah kapan masuk ke dalam hidup saya. MIA 2010, adalah moment yang katanya mempertemukan kami berdua pertama kalinya, tapi saya.tidak.ingat.kalau.dia.ini.peserta… Hahaha… Saya juga ga pernah ingat kapan dia masuk dan menuh-menuhin bangku PAJ dengan badannya yang ampir sama kaya kingkong tapi albino (soalnya dia putih… bwahahaha). Yang saya ingat, saya ngecengin dia sama ‘keponakan’ saya di keluarga Liturgi, terus ga bisa jadian, terus galau, terus titik. Saya juga ga pernah ingat, siapa yang menginisiasi dia masuk KLAS dan kapan… Pokoknya dulu dia kepo, bisa kasih info, sotoy, dan terkadang alay… ya sudah… jadilah populasi kijang di KLAS nambah satu ekor… dan saya ga pernah ingat kapan saya mulai jatuh cinta sama dia… Saya memang pelupa tentang segala sesuatu tentang awal mula saya dan dia… tapi ya udah sih, namanya juga manusia… punya kekurangan lah #ngeles
Semuanya berjalan mulus… lancar… unyu… baik-baik saja… sampai 10 September 2011. Gak ada apa-apa juga sih hari ini… Hari ini adalah hari kedua MIA… semua panitia kerja pol-polan karena udah mau hari terakhir… semua cape… dan kami gila-gilaan di api unggun… Sebelum api unggun, saya dan Handy ga sengaja ketemu di lapangan buat cek terakhir api unggun (beneran loh… ga sengajaaa… sumpah). Sambil menunggu acara di atas selesai, saya akhirnya muter-muter lapangan dan ngeliat langit… Saya emang hobi banget liat langit… dan kebetulan langit cerah, bulan bersinar, dan ada bintang kecil unyu-unyu di langit yang biru. Karena cape liat langit sambil jalan-jalan n menengadah terus, duduklah saya. DUDUK. Bersandar sama tembok empuk yang kebetulan ikut… dan acara liat bintangnya berubah jadi kelitik-kelitikan sampe akhirnya saya jatuh terlentang menantang langit. Saya tertidur di rumput dan ga mau bangun untuk sementara waktu, karena mata saya melihat bulan dan langit malam itu yang cantik sekali. Kami berdua jadi terdiam, padahal tadinya berisiknya saingan sama mercon pas puasa. “Ngapain sih lo?” “Liat langit… Bagus deh… Jarang di Jakarta bisa liat begini…” Sejak saat itu (sampai sekarang), kami berdua masih sering melihat langit… mengecek keberadaan bulan dan bintang… :D
Seperti pernah saya tulis di tulisan pribadi saya, awalnya semuanya berjalan mulus kembali setelah peristiwa itu… Kami punya hidup masing-masing… gebetan masing-masing… kesibukan masing-masing… tapi yaah karena hidup itu lingkaran dan hidup bersama KLAS itu lingkaran setan, akhirnya kami bertemu lagi di KLAS. Denis yang sibuk mengejar cewe (ngejar siapa sih waktu itu? Lupa… ) membuat saya sama Handy mau ga mau jadi deket… Satu paduan suara… satu komunitas… satu PAJ… fixed lah ya… lingkaran setan maksimal… Buahahaha… Saya jadi sering ngobrol dan ketawa-ketawa sama dia. Jangan tanya ngobrolin dan ngetawain apa… Banyak banget… apa juga diobrolin n dibuat ketawa. Kami beresin partitur (baca: saya maksa dia nemenin saya beresin partitur), kami gigit-gigitan tanpa alasan yang jelas, kami ngobrol ngalor ngidul, kami perang dingin, kami pukul-pukulan, kami sms-an, dan tiba-tiba saya jadi sebel kalo dia ga ada. Saya jadi nyariin kalo dia ga muncul di YM atau gangguin saya disms pake gombalan noraknya. Berhubung saya lagi di semester neraka, saya mengabaikan perasaan ini… Walaupun tetap mengganggu Denis dan Kapten Jangkrik dengan sms “Gue galau. Sekian”.
Pergalauan ini berakhir di akhir Desember 2011. Perjuangan buat mencapai berakhirnya juga ga gampang… pake galau panjang lebar alas tinggi diameter dulu… intinya lama dan panjang… sampai akhirnya semua terungkap dan terbuka dengan pembicaraan ngalor ngidul yang bikin senyum-senyum norak sampe jam 3 pagi! Tidurlah kami sambil senyum-senyum di muka persis kaya anak SMP baru dapet sms balesan dari senior pujaannya. Perjuangannya belum selesai. Justru baru dimulai. Perjuangan merasakan jatuh cinta yang bentuknya bukan hati tapi kotak atau lingkaran atau korek api. Kami berdua belajar meyakinkan hati masing-masing… entah yakin untuk apa… mungkin hanya “Ya, saya yakin… kamu yang membuat saya jatuh lagi…”
Saya ga pernah menganggap pertanyaan tanggal 08 Januari 2012 itu beneran, karena saya sudah sering mendengar kata-kata “Lo mau ga jadi cewe gue…?” atau “Makanya jadi cewe gue” di BBM… Jadi, saya pikir Cuma bercanda… Hahaha… sampai akhirnya dia bilang “Eh, serius kali… nanya ini… beneran” dan saya malah salah tingkah. Awkward banget uwooii… Biasanya lo gigit-gigitan… tampar-tamparan… pukul-pukulan… kelitik-kelitikan sampe gila… terus sekarang ditembak… terorerooot… Saya jawab “ntar aja jawabannya…” sambil buka-buka web di laptop… main twitter… ngobrol-ngobrol… sampe ditanya lagi “Jadi mau apa ga…?” begitu seterusnya sampe tiga kali kayanya… Hahahaa… di pertanyaan terakhir, bukannya dijawab langsung, saya malah bilang “Lo ga berusaha nyari jawabannya di mana gitu… payah…”. Saya yang minta ditembaknya bukan via bbm, tapi justru saya yang jawab via twitter… ternyata ngomong langsung itu sulit ya… :p Saya salut kalau kamu berani menyatakan perasaannya secara langsung… :D
Saya memang belum lama menjalin hubungan yang orang bilang ‘pacaran’ sama Handy. Dua bulan juga barusan aja lewat… Hahaha… Tapi saya mau bilang, saya banyak belajar dan berkembang dari hubungan ini. Saya memang masih suka manja seperti dulu… Bukan tipikal orang yang gampang diomongin juga sama siapapun… lebih senang memendam perasaan sendiri dan mengeluarkan kebalikan sama apa yang ada di hati… dan hidupnya sangat ga teratur. Saya juga tipikal orang yang gila dengan kesibukan, karena hampir semua kegiatan yang bisa saya ikuti, akan saya ikuti. Tapi dua bulan ini, saya mencoba belajar juga akhirnya untuk lebih ga manja walaupun udah punya pacar (yang bisa dijadiin bodyguard kemana-mana… dan jadi bantal dimana-mana), saya melunakkan hati saya buat diomongin terutama berkaitan makan dan kesibukan, karena pacar bisa jutek mendadak kalo saya males makan, dan mau ga mau hidup lebih teratur… Punya jam makan… jadwal mandi malem… jadwal tidur… semuanya deh… karena terbawa kebiasaan pacar yang emang hidupnya teratur…
Kami juga belajar berkomunikasi dan membagi waktu, karena memang dua-duanya senang sibuk masing-masing. Jadwal kuliah juga ga punya hari libur yang sama. Akhirnya kami sepakat kalau Sabtu itu hari latihan VOX dan pacaran :D walaupun di hari-hari lain, kami juga punya waktu buat ngobrol, cuma ga pernah sepanjang hari Sabtu atau Minggu. Kami belajar berkomunikasi secara asertif kalo ada hal yang ga sreg, misalnya Handy ga suka saya yang terlalu sibuk dan mau ambil asdos ini itu, yaaa dia coba jelasin efek jangka panjangnya juga buat kuliah saya dan masalah kesehatan saya. Ngomongnya juga baik-baik. Ga boleh pake emosi atau kata-kata kasar :) Saya juga gitu, kalau ga suka Handy terlalu banyak main atau nonton, yaa bilang aja… Sesibuk dan secapek apapun hari itu, kami berusaha buat BBM atau SMS… ngobrol sedikit (walaupun kadang ditinggal tidur :p) Sesibuk apapun, kami masih ada waktu buat “Jangan lupa makan yaaa” atau sekedar “Hoooi jelek… I love you!” dan sesibuk apapun kami, hari itu pasti ada kejadian konyol yang bisa diceritakan atau dibagi :D Love is FUN!
Kami juga belajar buat saling mengerti… Jadi koperasi simpan pinjam… Ngerti kalo pasangan lagi kelas n sibuk ga mau diganggu… Ngerti kalo pasangan harus istirahat… Karena sepanjang semua berjalan, masih masuk akal tuh semua permintaannya. Kami juga mengerti bahwa masing-masing punya masa lalu yang kadang harus dibuka buat dijadikan pelajaran. Bukan buat digalauin.
Pacaran sama Handy itu ga berasa pacaran… Hahahaa… karena kami tetap teman baik yang jadi diri sendiri yang apa adanya di depan pasangan. Ga ada deh tuh cerita jaim… pake baju bagus kalo ketemu pacar… dandan yang cantik kalo ada janji. Ga adaaa! Hahahahaa… Kata Raditya Dika, pacar yang baik tuh kaya cermin, kita bisa jadi diri sendiri depan dia. Nah… itu dia… saya sama Handy juga berusaha buat tetap jadi diri sendiri di depan masing-masing. Ga ada cerita sok tajir mau makan di sini situ… Ga ada cerita jaga image dan ubah penampilan khusus buat pacar… Kalo pagi-pagi ketemu, tetep aja pake baju tidur, rambut ga disisir, muka bantal… Hahaha… Saya dan Handy itu masih seneng bergosip bertiga (atau sekarang berempat :p), masih sering gangguin orang galau, masih sering karaokean lagu galau tiba-tiba, masih suka berantem hal ga penting sampe diketawain orang (“Kenapa juga hantu bunuh hantu? Kan kaya jeruk makan jeruk”), masih suka kelitik2an… pokoknya partner in life, partner in crime abis deh kita!!! Bahahaha… But I really enjoy it… Tiap waktu yang saya habiskan buat ngobrol sama dia… buat jalan bareng… buat ribut-ribut dari hal penting sampe ga penting… ga bisa digantikan sama apapun… :D dan akhirnya, saya bisa memahami kenapa Jason Mraz sama Colbie bisa nyanyi “I’m lucky I’m in love with my best friend”
Jumat, 24 Februari 2012
Realisasi Pancasila abad 21
Dua bulan ini, saya menghabiskan waktu setiap Selasa dan Jumat, mulai jam 2 siang sampai 100 menit berikutnya di BKS 107. Bukan tanpa maksud tentu saja. Saya kembali mengulang materi Pancasila yang saya yakini sudah khatam karena bergulat dengan mata pelajaran Kewarganegaraan selama 12 tahun masa sekolah saya. Namun, semakin saya dewasa, saya belajar bahwa prinsip-prinsip Pancasila yang selama ini diagung-agungkan masyarakat Indonesia sudah mulai dilupakan dan melenceng jauh. Dan sebenarnya perlukah Pancasila berubah mengikuti masyarakat? Pancasila memang sudah cukup uzur… seumur dengan bangsa Indonesia yang sudah 66 tahun… Usianya ini membuat Pancasila dipertanyakan… masih relevankah dengan keadaan Indonesia sekarang? Pancasila dulunya dipercaya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Pancasila dulunya dibentuk di tengah perdebatan antar pucuk pimpinan Indonesia, namun sekarang pancasila justru menjadi sumber perdebatan untuk sebagian masyarakat Indonesia. Pancasila justru tenggelam dalam carut marut kehidupan bangsa Indonesia, padahal seharusnya Pancasila mampu jadi sekoci bagi kerusakan moral bangsa. Well, saya akan membahas Pancasila dan realisasinya satu per satu dari sudut pandang saya… Sekali lagi, kalau ada yang tidak setuju, saya tidak akan mengajak debat kok… Ini hanya opini :D
Sila pertama… “KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Buat saya, sila ini sudah dilupakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hmmm… Sila ini mengingatkan bahwa Tuhan itu satu… Esa… Para pemimpin di Indonesia rupanya sudah menyadari sedari dulu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis… yang punya segudang perbedaan… dari sudut pandang, suku, sampai agama. Pemikiran ini yang membuat mereka akhirnya membuat satu pegangan dasar… “Tuhan itu esa… satu… bagaimanapun kamu beribadah… apapun agama kamu… semuanya akan sampai pada satu Tuhan…”. Sayangnya, di Indonesia, hal seperti ini seperti dilupakan. Mereka seakan membuat sila pertama ini menjadi alasan mereka untuk memasukkan orang lain ke agama tertentu dan menganggap agama lain itu adalah murtad. Cukup banyak kasus-kasus agama di Indonesia yang mencuat… seperti kasus GKI Yasmin dan kasus-kasus lain yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah. Orang-orang ribut ‘mempertobatkan’ orang lain agar masuk satu agama. Seperti inikah fungsi sila pertama di Pancasila sekarang? Seperti inikah masyarakat Indonesia memandang Pancasila?
Berlanjut ke sila kedua… “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB” Yap… katanya prinsip kemanusiaan yang adil ini dipegang dan dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia. Anggota DPR/MPR itu juga masyarakat Indonesia kan ya? Kalo iya, mengapa sampai sekarang mereka masih saja ribut masalah kenyamanan tempat rapat mereka, sementara di luar sana ada beribu masyarakat Indonesia yang belum bisa makan sekali sehari? Anggota DPR/MPR itu sama-sama mempelajari Pancasila seperti saya, kan? Dan di DPR ada burung garuda besar yang mengingatkan mereka akan Pancasila, kan? Lalu di mana letak hati nurani mereka… di mana letak keberadaban mereka…? Di mana letak kemanusiaan mereka?
Sila ketiga berbunyi “PERSATUAN INDONESIA”. Saya memandang sila ketiga ini sebagai harapan dari para pemimpin bangsa pada umumnya. Mereka berharap bahwa Indonesia yang punya puluhan ribu pulau, beratus-ratus suku, bermacam-macam bahasa daerah, beragam agama, berbeda sudut pandang bisa saling menerima tanpa harus menimbulkan perdebatan berarti. Tapi sekarang, kita semua bisa melihat bahwa beberapa masyarakat Indonesia terganggu dengan adanya perbedaan. Mereka mengharapkan semua sama… Tapi darimana Indonesia bisa dibilang indah kalau semua halnya sama? Bukankah pelangi justru terlihat lebih indah karena ada penggabungan warna-warna? Bukankah lukisan lebih artistic karena ada beberapa warna dan bentuk yang mau saling mengalah agar kesatuan holistic mereka tetap cantik dipandang mata?
“KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN” menjadi kalimat yang dipilih menjadi sila keempat dalam Pancasila. Well, saya sebenarnya tidak terlalu mampu membahas materi-materi yang berkaitan dengan hukum dan sejenisnya. Buat saya, urusan politik ini bukan bidang saya, tapi saya akan berusaha untuk membahas masalah demokrasi di Indonesia… berkaitan dengan permusyawaratan perwakilan ini… Demokrasi sekarang seringkali diplesetkan jadi democrazy. Yaaa… bagaimana tidak… prinsip utama bahwa wakil-wakil rakyat yang seharusnya benar-benar menjadi perwakilan rakyat seakan melupakan bahwa mereka dulunya juga orang biasa yang dipilih oleh rakyat. Seperti Malin Kundang lupa dengan ibunya, seperti itulah para wakil rakyat mulai lupa dengan para pemilihnya. Mereka tidak peduli dengan naiknya BBM, toh uang mereka tetap cukup untuk membeli BBM dan makan mewah 3 kali sehari. Banyak yang mulai tidak percaya dengan kepemimpinan pemimpinnya… tapi, apakah mereka sendiri mampu untuk mengurus negeri yang jumlah rakyatnya sudah lebih dari 200 juta ini? Saya pikir belum. Kata-kata kebijaksanan di sila ini rupanya sering dilupakan oleh pemimpin di Indonesia. Pemimpin yang saya maksudkan di sini bukan hanya pemimpin Negara, tetapi juga pemimpin dalam lingkup yang lebih kecil. Pemimpin kelas, kelompok, organisasi, kepala departemen, mereka semua adalah pemimpin kan? Kebijaksanaan ini seakan dilupakan. Mereka lupa berkaca pada Salomo yang justru meminta kebijaksanaan dibandingkan umur panjang dan kekayaan. Bijak itu penting bagi para pemimpin… dan bijak itu dilupakan… Miris memang…
Sila kelima… “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”. Lagi-lagi adil dibahas di sini. Mari kita berkaca kepada Indonesia yang mengungkapkan dua kali kata “adil” di Pancasilanya. Anak kecil yang mencuri sandal diberi hukuman sama beratnya dengan koruptor yang mencuri uang Negara bermilyar-milyar rupiah. Pejabat Negara masih bisa punya kolam bola untuk anaknya yang mengunjunginya sedangkan narapidana lain harus memikirkan tempat mereka buang hajat. Anak-anak HIV AIDS ditolak di sekolah karena takut menular. Keturunan Tionghoa kesulitan masuk sekolah negeri dan mengurus ini itu yang berkaitan dengan pemerintahan. Pembangunan rumah ibadah dipersulit, tidak diberi IMB, dan kemudian dituntut untuk dirubuhkan. Alam Indonesia Timur yang kaya raya dirampok terus menerus oleh sesama rakyat Indonesia tanpa diberikan timbal balik yang sesuai. Itulah Indonesia. Dengan dua kata adil dalam rumusan pancasila… Adil bukan hanya masalah hukum… tapi masalah penerimaan hak dan pelaksanaan kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak peduli suku, agama, tempat tinggal, dan lain-lain.
Yah… begitulah saya ingin melihat ideologi Pancasila dengan realitas yang ada di Indonesia sekarang. Pancasila rupanya lupa untuk menjadi sekoci. Burung Garudanya rupanya tidak lagi gagah berdiri merangkul kelima lambang Pancasila. Masyarakat Indonesia rupanya lupa dengan prinsip-prinsip yang seharusnya masih mengalir dalam darahnya. Sampai dengan saat ini, saya mempertanyakan kembali, apakah pelajaran Kewarganegaraan yang diterima oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia ketika sekolah masih berguna? Kapitalisme dan globalisasi sekarang rupanya lebih kuat berakar dalam diri masyarakat Indonesia dibandingkan Pancasila. Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk membendung arus kekuatan globalisasi dan tetap bertahan dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepertinya lebih senang dianggap orang modern dibanding dengan orang Indonesia asli. Jadi, apakah Pancasila masih perlu? Atau harus dilakukan revisi kembali? Mari berkaca dalam diri kita masing-masing.
Sila pertama… “KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Buat saya, sila ini sudah dilupakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Hmmm… Sila ini mengingatkan bahwa Tuhan itu satu… Esa… Para pemimpin di Indonesia rupanya sudah menyadari sedari dulu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis… yang punya segudang perbedaan… dari sudut pandang, suku, sampai agama. Pemikiran ini yang membuat mereka akhirnya membuat satu pegangan dasar… “Tuhan itu esa… satu… bagaimanapun kamu beribadah… apapun agama kamu… semuanya akan sampai pada satu Tuhan…”. Sayangnya, di Indonesia, hal seperti ini seperti dilupakan. Mereka seakan membuat sila pertama ini menjadi alasan mereka untuk memasukkan orang lain ke agama tertentu dan menganggap agama lain itu adalah murtad. Cukup banyak kasus-kasus agama di Indonesia yang mencuat… seperti kasus GKI Yasmin dan kasus-kasus lain yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah. Orang-orang ribut ‘mempertobatkan’ orang lain agar masuk satu agama. Seperti inikah fungsi sila pertama di Pancasila sekarang? Seperti inikah masyarakat Indonesia memandang Pancasila?
Berlanjut ke sila kedua… “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB” Yap… katanya prinsip kemanusiaan yang adil ini dipegang dan dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia. Anggota DPR/MPR itu juga masyarakat Indonesia kan ya? Kalo iya, mengapa sampai sekarang mereka masih saja ribut masalah kenyamanan tempat rapat mereka, sementara di luar sana ada beribu masyarakat Indonesia yang belum bisa makan sekali sehari? Anggota DPR/MPR itu sama-sama mempelajari Pancasila seperti saya, kan? Dan di DPR ada burung garuda besar yang mengingatkan mereka akan Pancasila, kan? Lalu di mana letak hati nurani mereka… di mana letak keberadaban mereka…? Di mana letak kemanusiaan mereka?
Sila ketiga berbunyi “PERSATUAN INDONESIA”. Saya memandang sila ketiga ini sebagai harapan dari para pemimpin bangsa pada umumnya. Mereka berharap bahwa Indonesia yang punya puluhan ribu pulau, beratus-ratus suku, bermacam-macam bahasa daerah, beragam agama, berbeda sudut pandang bisa saling menerima tanpa harus menimbulkan perdebatan berarti. Tapi sekarang, kita semua bisa melihat bahwa beberapa masyarakat Indonesia terganggu dengan adanya perbedaan. Mereka mengharapkan semua sama… Tapi darimana Indonesia bisa dibilang indah kalau semua halnya sama? Bukankah pelangi justru terlihat lebih indah karena ada penggabungan warna-warna? Bukankah lukisan lebih artistic karena ada beberapa warna dan bentuk yang mau saling mengalah agar kesatuan holistic mereka tetap cantik dipandang mata?
“KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN” menjadi kalimat yang dipilih menjadi sila keempat dalam Pancasila. Well, saya sebenarnya tidak terlalu mampu membahas materi-materi yang berkaitan dengan hukum dan sejenisnya. Buat saya, urusan politik ini bukan bidang saya, tapi saya akan berusaha untuk membahas masalah demokrasi di Indonesia… berkaitan dengan permusyawaratan perwakilan ini… Demokrasi sekarang seringkali diplesetkan jadi democrazy. Yaaa… bagaimana tidak… prinsip utama bahwa wakil-wakil rakyat yang seharusnya benar-benar menjadi perwakilan rakyat seakan melupakan bahwa mereka dulunya juga orang biasa yang dipilih oleh rakyat. Seperti Malin Kundang lupa dengan ibunya, seperti itulah para wakil rakyat mulai lupa dengan para pemilihnya. Mereka tidak peduli dengan naiknya BBM, toh uang mereka tetap cukup untuk membeli BBM dan makan mewah 3 kali sehari. Banyak yang mulai tidak percaya dengan kepemimpinan pemimpinnya… tapi, apakah mereka sendiri mampu untuk mengurus negeri yang jumlah rakyatnya sudah lebih dari 200 juta ini? Saya pikir belum. Kata-kata kebijaksanan di sila ini rupanya sering dilupakan oleh pemimpin di Indonesia. Pemimpin yang saya maksudkan di sini bukan hanya pemimpin Negara, tetapi juga pemimpin dalam lingkup yang lebih kecil. Pemimpin kelas, kelompok, organisasi, kepala departemen, mereka semua adalah pemimpin kan? Kebijaksanaan ini seakan dilupakan. Mereka lupa berkaca pada Salomo yang justru meminta kebijaksanaan dibandingkan umur panjang dan kekayaan. Bijak itu penting bagi para pemimpin… dan bijak itu dilupakan… Miris memang…
Sila kelima… “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”. Lagi-lagi adil dibahas di sini. Mari kita berkaca kepada Indonesia yang mengungkapkan dua kali kata “adil” di Pancasilanya. Anak kecil yang mencuri sandal diberi hukuman sama beratnya dengan koruptor yang mencuri uang Negara bermilyar-milyar rupiah. Pejabat Negara masih bisa punya kolam bola untuk anaknya yang mengunjunginya sedangkan narapidana lain harus memikirkan tempat mereka buang hajat. Anak-anak HIV AIDS ditolak di sekolah karena takut menular. Keturunan Tionghoa kesulitan masuk sekolah negeri dan mengurus ini itu yang berkaitan dengan pemerintahan. Pembangunan rumah ibadah dipersulit, tidak diberi IMB, dan kemudian dituntut untuk dirubuhkan. Alam Indonesia Timur yang kaya raya dirampok terus menerus oleh sesama rakyat Indonesia tanpa diberikan timbal balik yang sesuai. Itulah Indonesia. Dengan dua kata adil dalam rumusan pancasila… Adil bukan hanya masalah hukum… tapi masalah penerimaan hak dan pelaksanaan kewajiban bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak peduli suku, agama, tempat tinggal, dan lain-lain.
Yah… begitulah saya ingin melihat ideologi Pancasila dengan realitas yang ada di Indonesia sekarang. Pancasila rupanya lupa untuk menjadi sekoci. Burung Garudanya rupanya tidak lagi gagah berdiri merangkul kelima lambang Pancasila. Masyarakat Indonesia rupanya lupa dengan prinsip-prinsip yang seharusnya masih mengalir dalam darahnya. Sampai dengan saat ini, saya mempertanyakan kembali, apakah pelajaran Kewarganegaraan yang diterima oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia ketika sekolah masih berguna? Kapitalisme dan globalisasi sekarang rupanya lebih kuat berakar dalam diri masyarakat Indonesia dibandingkan Pancasila. Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk membendung arus kekuatan globalisasi dan tetap bertahan dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepertinya lebih senang dianggap orang modern dibanding dengan orang Indonesia asli. Jadi, apakah Pancasila masih perlu? Atau harus dilakukan revisi kembali? Mari berkaca dalam diri kita masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)